Makna Agama Ditinjau dari Definisi Agama

MAKNA AGAMA DITINJAU DARI DEFINISI AGAMA
Agama Sebagai Fitrah Manusia

Oleh : Alif Lukmanul Hakim

Agama dan Fitrah Manusia : Sebuah Pengantar

Seperti anggapan beberapa ahli sejarah agama, bahwa agama telah ada dan sama tuanya dengan umur masyarakat manusia di dunia ini, dari sejak masyarakt primitif sampai masyarakat modern. Dengan semakin banyaknya kunci-kunci pengetahuan modern, yang dapat membuka pintu-pintu tertutup masa lampau, maka semakin banyak kita dapat mempelajari – bahkan tentang agama-agama purba – dalam masyarakat manusia di muka bumi ini. Semakin banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa semua masyarakat pada zaman lampau telah memiliki satu hal yang sama yaitu beberapa bentuk agama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah agama adalah sejarah usaha manusia untuk memurnikan dan memperdalam pengertian tentang Tuhan (agama).
Bentangan pandangan kesejarahan di atas sudah tentu benar bilamana dikorelasikan serta direlevansikan dengan pengertia “agama” dalam ruang lingkup yang lebih luas, tetapi dalam ruang lingkup yang lebih sempit, maka masih diperlukan analisis yang lain, karena – dalam pengertian atau ruang lingkupnya yang sempit – agama diartikan sebagai “wahyu dari Allah (Tuhan) an sich. Akan tetapi hampira sebagian besar agama sepakat dan berpendapat bahwa masyarakt manusia mulai timbul sejak turunnya Adam dan Hawa dari Surga ke dunia, maka berarti masyarakat pertama (Adam dan Hawa beserta anak-anaknya) telah beragama dengan tuntunan kewahyuan dari Allah (Tuhan).(H.M. Arifin, 1987: 7).
Dalam perkembangannya, agama selalu ada bersama-sama dengan masyarakat. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya — sepanjang rentang kesejarahan manusia – manusia senantiasa beragama, karena manusia adalah manusia yang memiliki “fitrah beragama” yang oelh C.G. Jung di sebut Natuliter Religiosa (bakat beragama) itu. Dalam konteks Filsafat dan Teologi ada yang memandang manusia sebagai “homo divinans” (mahluk ber-Tuhan) atau “homo religios” (mahluk beragama) karena di dalam kehidupan psikologisnya memiliki suatu bakat alam atau instink agama. Instink agama termasuk ke dalam instink pokok manusia. Atau dengan kata lain beragama termasuk salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, yakni kebutuhan biologis, kebutuhan spiritual, dan kebutuhan sosial.

Untuk Siapa Kita Beragama

Salah satu pertanyaan paling fundamental ketika kita memperbincangkan masalah agama dan keberagamaan sesungguhnya adalah : untuk siapa kita beragama? Ini kelihatannya merupakan permasalahan sepele tetapi sebenarnya memiliki dua implikasi sekaligus, yakni teologis dan sosiologis.(Umaruddin Masdar, 2001: 135). Munculnya permasalahan atau paling tidak gejala sektarianisme dan sikap tidak menghargai toleransi dalam beragama berpangkal dari ketidakmampuan dan ketidakseriusan dalam merumuskan jawaban atas dua pertanyaan di atas tadi.
Oleh karena itu kita harus menghindari dua tipikal keberagamaan yang dapat menyebabkan ketidakrukunan atau tiadanya toleransi akan pluralitas dalam beragama yang sangat tidak sesuai dengan fitrah agama itu sendiri. Kita harus menghindari eksklusivitas atau elitisme dalam beragama. Merasa diri paling benar dalam beragama (truth claim) harus kita buang jauh-jauh
Penutup
Agama sebagai fitrah manusia memiliki dua cakupan penting, yaitu 1) agama adalah untuk diri kita (manusia) sendiri dan 2) agama adalah untuk kemanusiaan (as humanity). Dua cakupan ini mengandung arti bahwa agama bukan untuk agama itu sendiri! Mengapa? Karena keberagamaan – seperti yang telah dikemukakan di awal – merupakan suatu konstruksi sosial, artinya selalu berada bersama-sama denga adanya masyarakat. Beragama (keberagamaan) – yang merupakan fitrah manusia – merupakan proses dialog yang panjang dalam kehidupan dalam memahami teks-teks agama untuk kemudian diyakini dan diamalkan. Fastabiqul Khairaat.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M. 1987. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar.Jakarta: Golden Terayon Press.
Dhavamony, Mariasusai.1998. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Masdar, Umaruddin. 2001. Agama Orang Biasa. Yogyakarta: KliK.
Rasjidi, H.M., 1983. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Tinggalkan komentar