Berharap Pada Darah (Pe)Muda

Pemuda dan Keutuhan NKRI
Pilihan ‘Indonesia’ sebagai tanah tumpah darah kita yang menyatukan segala entitas yang tumbuh di atasnya merupakan pilihan yang benar dan strategis. Ketika muncul upaya disintegratif dan gerakan separatisme di beberapa wilayah NKRI sesungguhnya adalah karena persoalan warisan distribusi pembangunan yang tidak merata. Lantas, dimana posisi dan peran pemuda dalam konteks kekinian Indonesia yang carut-marut seperti ini? Dalam sejarah Indonesia, dari awal masa perjuangan sampai memperoleh kemerdekaan, pemuda memiliki peranan luar biasa sebagai avant garde (ujung tombak) perubahan. Tonggak kebangkitan lahirnya kesadaran “berbangsa”, dimulai sejak pemuda bersepakat melaunching kebangkitan nasinonal 20 Mei 1908 dan “komunike politik kebangsaan” 28 Oktober 1928. “Satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa”.
Berbagai hal menyangkut perubahan, selalu dikaitkan peranan pemuda. Sejarah membuktikan itu. Di berbagai belahan dunia, perubahan sosial-politik menempatkan pemuda di garda depan. Peranannya menyeluruh, tak hanya mata air, tapi juga hulu, hilir sampai muara, bahkan pemuda sebagai air atau sumber energi perubahan. Tak tanggung-tanggung pemimpin besar seperti Bung Karno (Presiden RI Pertama) mengungkapkan kata-kata pengobar semangat “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia.” Dalam pikirannya, pemuda digambarkan sosok unggul, pilihan, bergairah, bergelegak dan bergelora secara fisik, psikis, intelektual, serta yang terpenting sikapnya. Pemuda sosok superior, progresif, revolusioner dengan api berkobar-kobar, dan bara spirit yang menyala-nyala.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang ketika itu. Peran tersebut juga tetap disandang oleh pemuda Indonesia hingga kini; selain sebagai pengontrol independen terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan penguasa, pemuda Indonesia juga secara aktif melakukan kritik, hingga mengganti pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berpihak ke masyarakat. Peran yang disandang pemuda Indonesia sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen kontrol social (Agent of Social Control) hingga saat ini masih sangat efektif dalam memosisikan peran pemuda Indonesia.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial dan bermain dalam gerakan kultural, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini. Peranan pemuda dalam kegiatan sosial dan kultural itu sangat dibutuhkan untuk mengisi pembangunan dengan menciptakan kewirausahaan dalam pembangunan dan meningkatkan pengetahuan tentang ilmu dan teknologi serta menumbuh-kembangkan jiwa kepeloporan, daya pikir, inovasi, kreativitas dan kewirausahaan pemuda dalam rangka mempersiapkan pemimpin masa depan berkualitas”.

Melanjutkan Indonesia
Jadi, membangun Indonesia dimulai dengan transformasi kepemimpinan. Tak ada transformasi kepemimpinan kecuali mempersiapkan kepemimpinan generasi pemuda; dan tak ada transformasi kepemimpinan pemuda kecuali dengan perubahan radikal, komprehensif dan mendasar mengenai kebebasan berpikir, peran dan partisipasi aktif bagi pemuda terbuka lebar.
Pemuda harus mampu bersinergi dengan seluruh elemen lain untuk mempertahankan dan ”Melanjutkan INDONESIA! Dengan apa kita bersinergi dan bersatu padu Melanjutkan INDONESIA? Ya, dengan kebersamaan dan Pancasila! Ya, Pancasila yang dipahami secara kultural dan tak lagi menjadikannya sebagai alat kekuasaan semata. Tentu saja dengan membuat penafsiran baru yang lebih kontekstual akan semakin memberikan nuansa pemikiran yang dapat mempersatukan dalam perbedaan dan membedakan dalam konteks kebersamaan. Kita telah diingatkan oleh Bung Karno wahai Pemuda! Indonesia akan kembali menjadi bangsa terhormat, atau bahkan menjadi kuli yang terhina di rumah sendiri (Dan Sejarah akan menulis di sana, di antara benua Asia dan Benua Australia, di antara lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula-mula mentjoba untuk hidup kembali sebagai sebuah bangsa, akhirnja kembali mendjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa, kembali mendjadi een natie van koelis, en een koelie onder de naties – Sukarno, ”Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun-tahun nyrempet bahaya), 17 Agustus 1964). Mari Pemuda Indonesia, bangkit dan bersatulah dengan semangat Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 pada 20 Mei 2013 ini. Hidup Pemuda Indonesia.

VISI KEBANGSAAN GERAKAN PEMUDA

VISI KEBANGSAAN GERAKAN PEMUDA

Oleh: Alif Lukmanul Hakim, M. Phil

Pemuda atau generasi muda merupakan istilah yang populis dan melekat nilai tinggi didalamnya. Hal ini karena keduanya mempunyai makna yang bersifat ideologis, sosiologis dan kultural. Munculnya adagium “Pemuda harapan bangsa”, “Pemuda pemilik masa depan” atau “Pemuda sebagai calon pemimpin bangsa” yang sering dilekatkan pada istilah di atas semakin menunjukkan, betapa besarnya nilai yang terkandung di dalamnya. Kehadiran generasi muda mempunyai arti dan makna tersendiri di mata masyarakat. Karena itu keberadaannya mempunyai gaung yang cukup besar dan apresiasi yang cukup memadai, sehingga di manana pun ia berada selalu mendapatkan ruang untuk berekspresi. Besarnya antusiasme mayarakat menerima keberadaan generasi muda setidaknya di latarbelekangi oleh beberapa hal.

Pertama, pemuda mempunyai makna dan nilai yang strategis serta signifikan dalam menentukan masa depan bangsa. Kedua, eksistensi pemuda selalu menjadi simbol progressivitas, pelopor, dan penentu arah dinamika suatu bangsa. Ketiga, pemuda merupakan prototipe ideal sebagai generasi penerus. Karena ia masih mempunyai semangat, keteguhan cita-cita, ketegasan sikap, visi yang konsisten dan jelas. Sebagaimana dikatakan oleh Taufik Abdullah (1974), kehadiran generasi muda bukan semata-mata gejala demografis, tetapi juga sosiologis dan historis. Ia memandang  generasi muda tidak hanya mengisi sebuah episode generasi baru dalam sebuah komunitas masyarakat, tetapi merupakan subjek potensial bagi sebuah perubahan pada komunitas itu sendiri.

Nation-State

Berbagai hal menyangkut perubahan, selalu dikaitkan peranan pemuda. Sejarah membuktikan itu. Di berbagai belahan dunia, perubahan sosial-politik menempatkan pemuda di garda depan. Peranannya menyeluruh, tak hanya mata air, tapi juga hulu, hilir sampai muara, bahkan pemuda sebagai air atau sumber energi perubahan. Tak tanggung-tanggung pemimpin besar seperti Bung Karno (Presiden RI Pertama) mengungkapkan kata-kata pengobar semangat “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia.” Dalam pikirannya, pemuda digambarkan sosok unggul, pilihan, bergairah, bergelegak dan bergelora secara fisik, psikis, intelektual, serta yang terpenting sikapnya. Pemuda sosok superior, progresif, revolusioner dengan api berkobar-kobar, dan bara spirit yang menyala-nyala.

Perkembangan sejarah pembentukan bangsa Indonesia secara prosesual tidak terlepas dari peran perjuangan gerakan kaurn muda. Hal ini terbukti dengan terbentuknya kelompok-kelompok sosial lokal dan regional seperti Budi Utorno, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Moloeks Verbond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, Kaum Muda Betawi dan Pemuda Indonesia.  Meskipun pada awalnya kelompok-kelompok tersebut terbentuk berdasarkan kepentingan lokal, namun dalam perkembangannya lokalisme dan regionalisme berkembang menjadi satu kesatuan sebagaimana yang digambarkan dalam organisasi sosial yang menggunakan nama Pemuda Indonesia.

Mereka membangun fondasi perkumpulan sosial untuk merespon penderitaan akibat tekanan sosial, politik, dan ekonomi kolonial. Apa yang inereka lakukan telah memperkuat solidaritas untuk membangun kolektivitas sosial yang lebih besar. Kolektivitas sosial yang merupakan manifestasi integrasi antaretnik tersebut telah menciptakan kekuatan sosial-politik gerakan kaum muda sebagaimana yang digambarkan dalam Sumpah Pemuda (1928).

Sebagai sebuah identitas nasional, Sumpah Pemuda yang dihasilkan melalui Kongres Pemuda ke-2 di Jakarta pada tanggal 26-28 Oktober 1928 telah membangkitkan semangat kesadaran kolektif nasional. Tali pengikat yang kuat dalam merealisasikan nasionalisme Indonesia tercermin dalam tri tunggalnya Sumpah Pemuda yang mempunyai makna pengertian wilayah, bangsa dan bahasa sebagai alat komunikasi yang homogen (Suhartono 1989).

Dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda sebagai identitas nasional, sesungguhnya membuktikan keberadaan organisasi kepemudaan pada waktu itu mempunyai visi kebangsaan yang jelas. Meskipun mereka terdiri dari kultur yang heterogen dari berbagai suku, bahasa dan agama, namun perbedaan tersebut tidak mengarah pada perpecahan dalam menentukan orientasi baik pada wilayah program maupun corak gerakan. Komitmen kebersamaan dalarn menjaga visi kebangsaan inilah yang menjadi energi dalam melakukan counter ideologi untuk melawan order kolonial menuju order kebebasan, kemandirian dan kedaulatan yang sering juga kita sebut sebagai kemerdekaan.

Konsistensi Visi

Kokohnya konsistensi visi kebangsaan tersebut perlu direnungkan oleh kaum muda masa kini dalam merumuskan berbagai pola dan corak gerakannya. Melalui momentum peringatan hari Sumpah Pemuda, kita patut melakukan otokritik terhadap kiprah sebagai generasi penerus bangsa dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan ide dan gagasannya.

Sebagai entitas kaum muda kita juga dituntut mempunyai keberanian untuk melakukan instrospeksi dan evaluasi kritis terhadap visi dan corak gerakan yang selama ini kita banggakan dan yakini akan kebenarannya. Dalam konteks ini generasi muda dituntut kejujuran dan kearifannya untuk melihat dan sekaligus mengakui keberhasilan yang telah dicapai oleh generasi pendahulu. Dalam hal pergerakan, rnereka mempunyai beberapa keunggulan komparatif.

Pertama, adanya konsistensi visi untuk menumbuhkan kesadaran kolektif bangsa atau nasionalisme sebagai langkah awal menuju order kemerdekaan. Mereka dipersatukan oleh adanya kepedulian, keprihatinan, dan nasib yang sama,( meskipun dengan perspektif yang beragam,) terhadap kondisi sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan budaya yang berada dalam lingkungan serta kultur kolonialisrne.

Kedua, pola gerakan yang mereka tempuh berdasarkan pada pijakan rasionalitas dan bukan emosionalitas semata, sehingga aktivitas yang dilakukannya tidak bersifat sesaat dan terpecah-pecah, melainkan bersifat menyeluruh serta berdimensi jangka panjang.

Ketiga, pembacaan terhadap realitas empiris yang menjadi fenomena kebangsaan sangat diperhitungkan. Maka tidak mengherankan jika mereka dapat merekam kebutuhan dasar masyarakat yang kemudian diaplikasikan dalam gerakan.

Nilai historis tersebut sudah semestinya dijadikan pijakan dalam melakukan refleksi terhadap realitas objektif organisasi kepemudaan yang sedang menunjukkan surutnya vitalitalitas dan keringnya spirit dalam melakukan transformasi secara menyeluruh. Baik dalam ranah kemasyarakatan, kebangsaan maupun kemahasiswaan.

Secara fenomenologis, eksistensi gerakan organisasi kepemudaan menunjukkan gejala adanya perpecahan, pengentalan identitas kelompok masing-masing dan bersifat primordial. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, adanya kecenderungan bahwa bangunan interaksi sosial-politik terpola berdasarkan pada moment, bukan karena perjumpaan dan persamaan visi yang lebili mendasar. Kondisi ini akan menyeret pada fenomena gerakan yang bersifat sesaat dan terpecah-pecah.

Kedua, adanya kecenderungan pragmatis dalam merumuskan visi dan orientasi gerakan di kalangan aktivis organisasi kepemudaan. Kecenderungan ini menyebabkan terkikisnya sikap independen dan terkuburnya konsistensi sikap serta keringnya komitmen, sehingga tidak dapat membaca realitas objektif secara kritis. Kenyataan ini akhirnya melahirkan kondisi gerakan kepemudaan yang terasing dari nilai-nilai luhur sejarah. Hal ini diperparah lagi dengan adanya kecenderungan menonjolkan kepentingan kelompoknya masing-masing, sehingga gerakan kepemudaan seolah tidak mempunyai visi yang dapat mempertemukan berbagai kelompok dan kepentingan yang ada.

Dalam kondisi yang demikian, wajar jika gerakan kaum muda saat ini tidak mampu secara optimal dan menyeluruh dalam menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai historis pergerakan nasional pada akhir abad XIX hingga pungkasan abad XX. Transformasi nilai historis ini menjadi sebuah keharusan bagi generasi penerus jika enggan dicap sebagai generasi yang acuh tak acuh terhadap masa depan bangsa. Sejarah dan dinamika politik bangsa ini menunjukan, pemuda dengan segenap kemampuannya telah memberikan peran dan partisipasinya, baik pada saat perjuangan merebut kemerdekaan pada masa penjajahan maupun dalain proses pembentukan karakter bangsa untuk menuju negara yang berdaulat, dan demokratis.

Meskipun demikian, tidak berhenti hanya karena kemerdekaan “fisik” telah tercapai, melainkan memerlukan kontinuitas untuk mengawal jalannya reformasi, memberdayakan masyarakat, mengatasi krisis multidimensi serta membangun kemandirian bangsa. Mengingat misi yang begitu besar, maka penting artinya bagi organisasi kepemudaan untuk memperkokoh visi kebangsaannya dalam kerangka menyemai energi kolektif gerakan kaum muda untuk mempererat tali persatuan dan kesatuan bangsa. Karenanya, perbedaan prinsip, corak gerakan dan kepentingan kelompok tidaklah cukup untuk dijadikan alasan pembenar bagi tercerai- berainya organisasi kepemudaan. Lantas dimana dan seperti apa kiranya peran kita sebagai pemuda, baik yang aktif di organ ekstra kampus maupun intra kampus dan di dalam masyarakat?