ISU BIOETIKA TENTANG KLONING MANUSIA
SebuahTinjauan Etis
Oleh: Alif Lukmanul Hakim
Teknologi kedokteran tak disangkal lagi melaju pesat, hingga para pasien yang semula tanpa harapan, kini dapat ditolong dengan sangat memuaskan. Tidak ketinggalan teknologi transplantasi pun makin berkembang sehingga penderita penyakit jantung, ginjal, dan lain-lain dapat bernafas lega. Masalah baru muncul, karena pasokan dan peminatnya sungguh tidak seimbang, sehingga teknologi kloning diraa dapat menjawab permasalahan itu. Namun, muncul pula problem moral atau etis setelahnya.
Sekadar Pengantar
Salah satu fiksi ilmiah yang menjadi kenyataan dalam bidang teknologi kedokteran adalah soal kloning. Sejak keberhasilan kloning mamalia dewasa (domba Dolly) diumumkan tanggal 23 Februari 1997 yang lalu, laju perkembangan sejarah medis berubah arah. Sel somatis dewasa yang tadinya dipikir tidak mungkin menjadi sebuah mahluk hidup utuh, ternyata dengan teknik terbaru dapat dibuat menjadi mahluk utuh. Banyak pengharapan disematkan pada kepada penemuan baru tersebut untuk semakin menyejahterakan umat manusia dengan memproduksi kebutuhan pangan dan obat-obatan secara lebih memadai, untuk mencegah penyakit, dan memperpanjang harapan hidup manusia. Akan tetapi, teknologi ini menimbulkan permasalahan besar manakala manusia menjadi objek teknologi itu. Dengan teknik kloning manusia merasa mampu menciptakan kehidupan baru dalam laboratorium kehidupannya.
Masalah baru yang juga muncul adalah ketika orang tidak berpegang pada asas yang sama untuk menilai kejadian yang sama. Orang dapat menjadi bingung karena tidak tahu persis mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Perlu dipikirkan bersama kriteria mana yang akan dipergunakan untuk mengatur kehidupan bersama umat manusia. Yang jelas, yang mungkin secara teknologis tidak selalu boleh dibuat dan benar secara etis. Pertanyaan-pertanyaan etis yang mendasar sekitar kloning manusia tentu saja taka dapat dibiarkan berlalu begitu saja, misalnya mengenai martabat manusia, mengenai kebebasannya, mengenai status hukumnya, mengenai hubungan kekeluargaan, dan tentu saja mengenai nasib masa depan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian kita dapat memahami permasalahan kloning manusia dan menempatkan diri kita pada posisi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etis sehingga kita dapat mengambil sikap yang sepantasnya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudaya.
Fiksi Ilmiah yang (hampir) menjadi kenyataan
Pada tahun 1932, Aldous Huxley menulis sebuah buku fiksi ilmiah dengan judul Brave New World yang menggambarkan semua proses reproduksi manusia dijalankan dalam sebuah laboratorium besar di mana masing-masing bayi diklon dari seorang induk. Dari satu induk master ini, lalu dibuat berbagai macam tipe kasta manusia pekerja, yang bekerja sesuai bidang-bidang pekerjaannya. Caranya adalah dengan menetop pertumbuhan normal embrio itu yang dia sebut sebagai proses Bokanovsky, lalu embrio itu pertama-tama dipecah dengan sinar X menjadi delapan dan kemudian masing-masing dipecah menjadi dua belas, sampai mencapai 96 sel yang berasal dari satu embrio (Kusmaryanto, 2001: xiii). Lalu masing-masing sel dimasukkan ke dalam bnotol yang berfungsi sebagi rahim dan dihubungkan dengan tabung oksigen, yang menjadi penentu nasib dan intelligent embrio tersebut.Akhirnya, muncul beberapa macam kasta, mulai dari Epsilon (kasta terendah) dan tidak punya otak serta mengerjakan pekerjaan kasar. Di atasnya ada kasta Delta, sampai kasta yang lebih baik dan tinggi lagi setelahnya yakni Gamma, Betta, dan Alpha (Ibid, hlm xiv).
Produk-produk dalam tulisan Aldous Huxley tersebut dibuat untuk tujuan stabilitas sosial, karena masing kasta bekerja sesuai dan sama persis seperti sesamanya, dengan mesin yang sama, denga cara berpikir yang sama dengan keadaan yang sama dan dengan nasib yang sama. Ada tiga kata kunci yang muncul, yakni: komunitas, identitas, dan stabilitas. Pada waktu buku Huxley tersebut ditulis, masalah ini memang masih merupakan fiksi ilmiah daripada kenyataan yang sudah terjadi. Huxley, mungkin, memprediksi bahaya dari boteknologi bagi masyarakat luas, terutama masalah yang saat ini dikenal dan disebut dengan kloning. Dewasa ini, muncul kekhawatiran, dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat, bukannya tidak mungkin bahwa di masa mendatang orang dapat memproduksi orang dengan kesamaan identitas biologis.
Selintas tentang Kloning
Kloning berasala dari kata Klon (Yunani) yang berarti: tunas. Dari bahasa Yunani, kemudian masuk ke bahasa Inggris menjadi Clone (kata kerja: mengklon). Kata kloning selama ini sudah dipergunakan dalam banyak bidang yang secara umum dipergunakan untuk menunjukkan cara reproduksi aseksual (reproduksi tanpa hubungan seks), misalnya cara menanam singkong dengan setek (menyetek), atau cara reproduksi sel dengan membelah diri. Selain itu kata kloning juga dipergunakan untuk menunjukkan rekayasa genetika, ada juga yang menggunakannya dalam proses yang disebut dengan ”twinning” (kembar), yakni bilamana sebuah sel telur yang dibuahi opleh sebuah sela sperma dan dalam perkembangannya memecah diri menjadi dua embrio atau lebih.
Dalam bioetika istilah kloning dipergunakan secara umum untuk menunjukkan segala macam prosedur yang menghasilkan replika genetik yang sama persis dari induk biologis, termasuk DNA sequence, sel atau organisme. Oleh karena organisme dibuat dari satu sel dan dengan demikian mendapatkan faktor-faktor keturunan yang sama persis dengan induk biologisnya.Ada tiga macam cara guna mendapatkan replika genetik yang sama persis (kloning): pertama berasal dari embrio yang biasa, yakni hasil pembuahan sel telur dengan sperma. Pada salah satu tahap perkembangannya, yakni sebelum embrio itu tinggal di dalam dinding rahim, embrio tersebut berada dalam tahap yang disebut totipotenti, yakni sampai dengan tiga hari sesudah pembuahan dan embrio itu terdiri dari 2-8 sel. Yang selanjutnya akan berkembang menjadi seorang individu (embryo splitting). Mereka akan memiliki kesamaan genetis dengan induknya, sebab kesemuanya mendapat faktor keturunan dari ayah dan ibunya.
Embryo splitting ini pengembangannya dilakukan bersamaan dengan program ”pembuahan artifisial” atau banyak dikenal istilah bayi tabung dengan tujuan utama, yakni menyediakan sebanyak mungkin embrio untuk ditanam di dalam rahim sehingga dengan demikian si perempuan tidak harus menjalani seluruh proses perawatan untuk mendapatkan sel telur manakala embrio yang sudah ditanam gagal berkembang di dalam rahim. Melalui teknik seperti ini biaya pengadaan embrio dapat diminimalisasi hingga 90%. Tujuan yang kedua adalah untuk memperoleh dua atau lebih embrio yang kembar identik agar salah satunya dapat dipakai untuk penyelidikan kemungkinan penyimpangan genetis dan memperbaikinya pada embrio yang lainnya. Bila kita memperhatikan secara lebih seksama, proses embryo splitting ini sebenarnya juga terjadi secara natural dalam kasus bayi kembar identik melalui pembuahan n dan proses reproduksi normal.
Ada cara lain untuk memperoleh replika genetika yang sama atau persis, yakni dengan ”Recombinant DNA Technology” atau juga disebut dengan ”gene cloning”. Cara ini dibuat pertama-tama dengan menggabungkan gen yang akan diklon dengan sebuah vektor. Organisme yang biasanya digunakan untuk mengklon DNA manusia ialah bakteri Escherrichia Coli (E. Coli), yakni bakteri yang ada di dalam sistem pencernaan manusia. Teknik recombinant DNA ini telah lama digunakan guna menghasilkan banyak sekali bahan farmasi kedokteran.
Manfaat Kloning
Ada beberapa manfaat kloning bagi dunia bioteknologi, yakni:
1. Memproduksi organ tubuh untuk keperluan transplantasi
Permasalahan suplai organ yang kurang untuk transplantasi menjadi sangat mendesak untuk diselesaikan pada masa sekarang ini. Kekurangan organ transplantasi menjadi perhatian serius para ahli. Misalnya, jenis penyakit leukimia tertentu yang hanya dapat disembuhkan secara total dengan cangkok sumsum tulang belakang. Kloning, karenanya menjadi sumber alternatif yang cukup memungkinkan untuk produksi sekaligus suplai organ tubuh.
2. Menghindarkan atau menolak penyakit
Terdapat banyak sekali penyakit keturunan yang diturunkan dari orang tua ke anak yang diakibatkan oleh tidak normalnya gen yang dimiliki oleh orang tuanya. Baik yang terkandung di dalam nukleus (inti sel) maupun diluarnya, misalnya mitokondria – struktur-struktur kecil yang berfungsi sangat krusial di luar nukleus. Problem penyakit keturunan akibat gen yag tidak normal ini dapat dipecahkan dengan praktek kloning. Melalui cara membuang mitokondria dari sel telur yang mengandung abnormalitas gen tersebut dan memasukkannya nukleusnya ke dalam sel telur yang sehat, mitokondrianya dikembangkan didalamnya sebelum akhirnya diimplantasikan ke dalam rahim.
3. Menciptakan manusia unggul
Tujuan ini lebih didasarkan pada keinginan atau impian untuk memperoleh ras/manusia unggul. Contoh keinginan untuk mengklon Einstein. Meskipun demikian, hingga saat ini banyak para ahli sangat meragukan efektivitas dari dari metode ini, seandainya Einstein dapat diklon, apakah klonnya dapat memiliki kejeniusan layaknya Einstein? Sebab, hingga saat ini otak tidak dapat diklon. Terlebih, pengaruh lingkungan, pendidikan, gizi dan sebagainya, sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan manusia.
4. Seleksi jenis kelamin
5. Memecahkan masalah reproduksI (tidak dapat memiliki keturunan)
6. Menyediakan bahan riset
7. Immortalitas (ingin tetap abadi)
8. Bisnis para ahli bioteknologi
Problem Etis Kloning
1. Manusia adalah manusia (memiliki hak hidup tanpa proses artifisial)
Dalam satu dasawarsa ini, banyak sekali perdebatan tentang kapan sebuah embrio dapat dikatakan sebagai manusia dan mendapatkan perlindungan hukum dan moral. Beberapa berpendapat bahwa manusia itu dibedakan dengan ciptaan lain karena otaknya, maka sebuah embrio dapat diklasifikasikan ke dalam golongan manusia dan oleh karenanya emndapatkan perlindungan hukum dan moral ketika telah terbentuk jaringan pada otaknya tersebut (Kusmaryanto, 2001: 33) Sebagian lain berpendapat bahwa embrio baru dmemperoleh perlindungan hukum dan moral ketika telah menjadi individu manusia yang sempurna. Berdasarkan pada pengertian individu dari bahasa latin: in + dividere (membagi), yang berarti tidak dapat dibagi lagi ke dalam bagian-bagian lebih kecil. Kemanusiaan manusia bukanlah sesuatu yang ditambahkan dari luar, melainkan sebagai sesuatu yang intrinsik, yang ada bersama adanya manusia. Ia ada dan hilang bersama dengan ada dan hilangnya (matinya) manusia. Singkat kata: Anak domba adalah anak domba dan anak manusia adalah anak manusia. Tanpa merujuk terlebih dahulu kepada ajaran suatu agama tertentu pun, kita telah mengetahui bahwa sel telur yang sudah dibuahi adalah manusia utuh, yang telah ada informasi dan aspek-aspek genetisnya dan tinggal memerlukan waktu untuk proses perkembangan lebih lanjut.
2. Martabat kehidupan manusia
Apa konsekuensi dari hak hidup sebagai hak mendasar bagi manusia? Dalam kloning, kita berhadapan dengan embrio yang juga merupakan ”manusia” sehingga ia tidak dapat dikorbankan dengan dalih apa pun tanpa persetujuan dari orang yang mempunyai hidup itu, yakni tanpa izin dari si embrio itu sendiri.
3. Persinggungan dengan masalah teknik (teknologi)
Problematika teknik yang selalu berhubungan dengan harkat dan martabat manusia adalah: tidak semua teknik yang mungkin selalu valid secara moral.Jangan sampai teknik (teknologi) yang keberadaannya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia justru merusaknya. Salah satu keberatan terhadap kloning dalam hal ini adalah masalah teknik. Sampai saat ini, teknik yang dipakai sangat tidak aman untuk manusia dan sangat tidak efektif. Terdapat banyak kemungknan kegagalan dalam proses kloning, seperti kasus yang terjadi pada kloning domba Dolly. Dengan kata lain dapat dikatakan kloning adalah tidak etis karena hasil yang akan dicapai melaluinya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kerusakan yang akan dihasilkan oleh teknik kloning tersebut.
4. Risiko kesehatan
Karena teknik (teknologinya) yang belum aman, maka akan sangat berimplikasi terhadap kesehatan olah orang yang lahir melalui praktek kloning ini. Kesalahan fatal yang dapat diakibatkan oleh kloning dapat mengakibatkan cacat atau penyakit keturunan seumur hidup. Tidak sebanding dengan upaya untuk menghindari penyakit dengan melakukan proses kloning tersebut.
5. Hak manusia untuk lahir secara natural
6. Identitas individu dan keunikannya
7. Kebebasan manusia vis a vis kesalahannya
Manusia yang diklon adalah manusia yang tidak memiliki kebebasan secara utuh, dalam arti kebebasan bertindak menurut pertimbangan akal budi dan kehendaknya. Manusia hasil klon tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Karena ia bertindak tidak atas kehendaknya sendiri, melainkan ia dipakas untuk bertindak demikian.
8. Masalah ketidakadilan sosial
Penutup
Sebagai manusia kita harus memiliki kemmapuan untuk ”mengelola” teknologi agar mampu memanusiakan manusia dan bukan malah mendehumnisasi manusia. Teknologi juga pada dasarnya bukan monster yang harus dihindari karena melaluinya manusia dapat mencapi kemajuan dan prestasi dalam kehidupannya. Yang harus kita lakukan terhadap teknologi adalah menjaga agar teknologi itu tetap berada dalam kendali manusia. Kita harus dapat mengendalikannya agar kita tidak sampai diperbudak oleh dan menjadi hamba dari teknologi. Oleh karena itu diperlukan perangkat-perangkat nilai yang berdasarkan harkat dan martabat manusia untuk mengevaluasi perkembangan teknologi agar tidak menghancurkan kehidupan manusia. Last but not least, sangatlah signifikan peran manusia untuk menguasai dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi agar senantiasa melaju dalam jalur lintasan yang seharusnya, yakni dengan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan secara berimbang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semuanya tidak sesederhana yang kita bayangkan bukan?
DAFTAR PUSTAKA
Kusmaryanto, C. B., 2001, Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: PT Grasindo.
Jacob, T., tanpa tahun, Manusia, Ilmu, dan Teknologi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Mangunwijaya, Y. B., 1985, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Shannon, Thomas A., 1995, Pengantar Bioetika, terj. Kees Bertens, Jakarta: Gramedia.
Supardan, 1991, Ilmu, Teknologi, dan Etika, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.