Isu Bioetika Tentang Kloning Manusia

ISU BIOETIKA TENTANG KLONING MANUSIA
SebuahTinjauan Etis

Oleh: Alif Lukmanul Hakim

Teknologi kedokteran tak disangkal lagi melaju pesat, hingga para pasien yang semula tanpa harapan, kini dapat ditolong dengan sangat memuaskan. Tidak ketinggalan teknologi transplantasi pun makin berkembang sehingga penderita penyakit jantung, ginjal, dan lain-lain dapat bernafas lega. Masalah baru muncul, karena pasokan dan peminatnya sungguh tidak seimbang, sehingga teknologi kloning diraa dapat menjawab permasalahan itu. Namun, muncul pula problem moral atau etis setelahnya.

Sekadar Pengantar
Salah satu fiksi ilmiah yang menjadi kenyataan dalam bidang teknologi kedokteran adalah soal kloning. Sejak keberhasilan kloning mamalia dewasa (domba Dolly) diumumkan tanggal 23 Februari 1997 yang lalu, laju perkembangan sejarah medis berubah arah. Sel somatis dewasa yang tadinya dipikir tidak mungkin menjadi sebuah mahluk hidup utuh, ternyata dengan teknik terbaru dapat dibuat menjadi mahluk utuh. Banyak pengharapan disematkan pada kepada penemuan baru tersebut untuk semakin menyejahterakan umat manusia dengan memproduksi kebutuhan pangan dan obat-obatan secara lebih memadai, untuk mencegah penyakit, dan memperpanjang harapan hidup manusia. Akan tetapi, teknologi ini menimbulkan permasalahan besar manakala manusia menjadi objek teknologi itu. Dengan teknik kloning manusia merasa mampu menciptakan kehidupan baru dalam laboratorium kehidupannya.

Masalah baru yang juga muncul adalah ketika orang tidak berpegang pada asas yang sama untuk menilai kejadian yang sama. Orang dapat menjadi bingung karena tidak tahu persis mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Perlu dipikirkan bersama kriteria mana yang akan dipergunakan untuk mengatur kehidupan bersama umat manusia. Yang jelas, yang mungkin secara teknologis tidak selalu boleh dibuat dan benar secara etis. Pertanyaan-pertanyaan etis yang mendasar sekitar kloning manusia tentu saja taka dapat dibiarkan berlalu begitu saja, misalnya mengenai martabat manusia, mengenai kebebasannya, mengenai status hukumnya, mengenai hubungan kekeluargaan, dan tentu saja mengenai nasib masa depan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian kita dapat memahami permasalahan kloning manusia dan menempatkan diri kita pada posisi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etis sehingga kita dapat mengambil sikap yang sepantasnya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudaya.

Fiksi Ilmiah yang (hampir) menjadi kenyataan
Pada tahun 1932, Aldous Huxley menulis sebuah buku fiksi ilmiah dengan judul Brave New World yang menggambarkan semua proses reproduksi manusia dijalankan dalam sebuah laboratorium besar di mana masing-masing bayi diklon dari seorang induk. Dari satu induk master ini, lalu dibuat berbagai macam tipe kasta manusia pekerja, yang bekerja sesuai bidang-bidang pekerjaannya. Caranya adalah dengan menetop pertumbuhan normal embrio itu yang dia sebut sebagai proses Bokanovsky, lalu embrio itu pertama-tama dipecah dengan sinar X menjadi delapan dan kemudian masing-masing dipecah menjadi dua belas, sampai mencapai 96 sel yang berasal dari satu embrio (Kusmaryanto, 2001: xiii). Lalu masing-masing sel dimasukkan ke dalam bnotol yang berfungsi sebagi rahim dan dihubungkan dengan tabung oksigen, yang menjadi penentu nasib dan intelligent embrio tersebut.Akhirnya, muncul beberapa macam kasta, mulai dari Epsilon (kasta terendah) dan tidak punya otak serta mengerjakan pekerjaan kasar. Di atasnya ada kasta Delta, sampai kasta yang lebih baik dan tinggi lagi setelahnya yakni Gamma, Betta, dan Alpha (Ibid, hlm xiv).

Produk-produk dalam tulisan Aldous Huxley tersebut dibuat untuk tujuan stabilitas sosial, karena masing kasta bekerja sesuai dan sama persis seperti sesamanya, dengan mesin yang sama, denga cara berpikir yang sama dengan keadaan yang sama dan dengan nasib yang sama. Ada tiga kata kunci yang muncul, yakni: komunitas, identitas, dan stabilitas. Pada waktu buku Huxley tersebut ditulis, masalah ini memang masih merupakan fiksi ilmiah daripada kenyataan yang sudah terjadi. Huxley, mungkin, memprediksi bahaya dari boteknologi bagi masyarakat luas, terutama masalah yang saat ini dikenal dan disebut dengan kloning. Dewasa ini, muncul kekhawatiran, dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat, bukannya tidak mungkin bahwa di masa mendatang orang dapat memproduksi orang dengan kesamaan identitas biologis.

Selintas tentang Kloning
Kloning berasala dari kata Klon (Yunani) yang berarti: tunas. Dari bahasa Yunani, kemudian masuk ke bahasa Inggris menjadi Clone (kata kerja: mengklon). Kata kloning selama ini sudah dipergunakan dalam banyak bidang yang secara umum dipergunakan untuk menunjukkan cara reproduksi aseksual (reproduksi tanpa hubungan seks), misalnya cara menanam singkong dengan setek (menyetek), atau cara reproduksi sel dengan membelah diri. Selain itu kata kloning juga dipergunakan untuk menunjukkan rekayasa genetika, ada juga yang menggunakannya dalam proses yang disebut dengan ”twinning” (kembar), yakni bilamana sebuah sel telur yang dibuahi opleh sebuah sela sperma dan dalam perkembangannya memecah diri menjadi dua embrio atau lebih.

Dalam bioetika istilah kloning dipergunakan secara umum untuk menunjukkan segala macam prosedur yang menghasilkan replika genetik yang sama persis dari induk biologis, termasuk DNA sequence, sel atau organisme. Oleh karena organisme dibuat dari satu sel dan dengan demikian mendapatkan faktor-faktor keturunan yang sama persis dengan induk biologisnya.Ada tiga macam cara guna mendapatkan replika genetik yang sama persis (kloning): pertama berasal dari embrio yang biasa, yakni hasil pembuahan sel telur dengan sperma. Pada salah satu tahap perkembangannya, yakni sebelum embrio itu tinggal di dalam dinding rahim, embrio tersebut berada dalam tahap yang disebut totipotenti, yakni sampai dengan tiga hari sesudah pembuahan dan embrio itu terdiri dari 2-8 sel. Yang selanjutnya akan berkembang menjadi seorang individu (embryo splitting). Mereka akan memiliki kesamaan genetis dengan induknya, sebab kesemuanya mendapat faktor keturunan dari ayah dan ibunya.

Embryo splitting ini pengembangannya dilakukan bersamaan dengan program ”pembuahan artifisial” atau banyak dikenal istilah bayi tabung dengan tujuan utama, yakni menyediakan sebanyak mungkin embrio untuk ditanam di dalam rahim sehingga dengan demikian si perempuan tidak harus menjalani seluruh proses perawatan untuk mendapatkan sel telur manakala embrio yang sudah ditanam gagal berkembang di dalam rahim. Melalui teknik seperti ini biaya pengadaan embrio dapat diminimalisasi hingga 90%. Tujuan yang kedua adalah untuk memperoleh dua atau lebih embrio yang kembar identik agar salah satunya dapat dipakai untuk penyelidikan kemungkinan penyimpangan genetis dan memperbaikinya pada embrio yang lainnya. Bila kita memperhatikan secara lebih seksama, proses embryo splitting ini sebenarnya juga terjadi secara natural dalam kasus bayi kembar identik melalui pembuahan n dan proses reproduksi normal.

Ada cara lain untuk memperoleh replika genetika yang sama atau persis, yakni dengan ”Recombinant DNA Technology” atau juga disebut dengan ”gene cloning”. Cara ini dibuat pertama-tama dengan menggabungkan gen yang akan diklon dengan sebuah vektor. Organisme yang biasanya digunakan untuk mengklon DNA manusia ialah bakteri Escherrichia Coli (E. Coli), yakni bakteri yang ada di dalam sistem pencernaan manusia. Teknik recombinant DNA ini telah lama digunakan guna menghasilkan banyak sekali bahan farmasi kedokteran.

Manfaat Kloning
Ada beberapa manfaat kloning bagi dunia bioteknologi, yakni:
1. Memproduksi organ tubuh untuk keperluan transplantasi
Permasalahan suplai organ yang kurang untuk transplantasi menjadi sangat mendesak untuk diselesaikan pada masa sekarang ini. Kekurangan organ transplantasi menjadi perhatian serius para ahli. Misalnya, jenis penyakit leukimia tertentu yang hanya dapat disembuhkan secara total dengan cangkok sumsum tulang belakang. Kloning, karenanya menjadi sumber alternatif yang cukup memungkinkan untuk produksi sekaligus suplai organ tubuh.
2. Menghindarkan atau menolak penyakit
Terdapat banyak sekali penyakit keturunan yang diturunkan dari orang tua ke anak yang diakibatkan oleh tidak normalnya gen yang dimiliki oleh orang tuanya. Baik yang terkandung di dalam nukleus (inti sel) maupun diluarnya, misalnya mitokondria – struktur-struktur kecil yang berfungsi sangat krusial di luar nukleus. Problem penyakit keturunan akibat gen yag tidak normal ini dapat dipecahkan dengan praktek kloning. Melalui cara membuang mitokondria dari sel telur yang mengandung abnormalitas gen tersebut dan memasukkannya nukleusnya ke dalam sel telur yang sehat, mitokondrianya dikembangkan didalamnya sebelum akhirnya diimplantasikan ke dalam rahim.
3. Menciptakan manusia unggul
Tujuan ini lebih didasarkan pada keinginan atau impian untuk memperoleh ras/manusia unggul. Contoh keinginan untuk mengklon Einstein. Meskipun demikian, hingga saat ini banyak para ahli sangat meragukan efektivitas dari dari metode ini, seandainya Einstein dapat diklon, apakah klonnya dapat memiliki kejeniusan layaknya Einstein? Sebab, hingga saat ini otak tidak dapat diklon. Terlebih, pengaruh lingkungan, pendidikan, gizi dan sebagainya, sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan manusia.
4. Seleksi jenis kelamin
5. Memecahkan masalah reproduksI (tidak dapat memiliki keturunan)
6. Menyediakan bahan riset
7. Immortalitas (ingin tetap abadi)
8. Bisnis para ahli bioteknologi

Problem Etis Kloning
1. Manusia adalah manusia (memiliki hak hidup tanpa proses artifisial)
Dalam satu dasawarsa ini, banyak sekali perdebatan tentang kapan sebuah embrio dapat dikatakan sebagai manusia dan mendapatkan perlindungan hukum dan moral. Beberapa berpendapat bahwa manusia itu dibedakan dengan ciptaan lain karena otaknya, maka sebuah embrio dapat diklasifikasikan ke dalam golongan manusia dan oleh karenanya emndapatkan perlindungan hukum dan moral ketika telah terbentuk jaringan pada otaknya tersebut (Kusmaryanto, 2001: 33) Sebagian lain berpendapat bahwa embrio baru dmemperoleh perlindungan hukum dan moral ketika telah menjadi individu manusia yang sempurna. Berdasarkan pada pengertian individu dari bahasa latin: in + dividere (membagi), yang berarti tidak dapat dibagi lagi ke dalam bagian-bagian lebih kecil. Kemanusiaan manusia bukanlah sesuatu yang ditambahkan dari luar, melainkan sebagai sesuatu yang intrinsik, yang ada bersama adanya manusia. Ia ada dan hilang bersama dengan ada dan hilangnya (matinya) manusia. Singkat kata: Anak domba adalah anak domba dan anak manusia adalah anak manusia. Tanpa merujuk terlebih dahulu kepada ajaran suatu agama tertentu pun, kita telah mengetahui bahwa sel telur yang sudah dibuahi adalah manusia utuh, yang telah ada informasi dan aspek-aspek genetisnya dan tinggal memerlukan waktu untuk proses perkembangan lebih lanjut.
2. Martabat kehidupan manusia
Apa konsekuensi dari hak hidup sebagai hak mendasar bagi manusia? Dalam kloning, kita berhadapan dengan embrio yang juga merupakan ”manusia” sehingga ia tidak dapat dikorbankan dengan dalih apa pun tanpa persetujuan dari orang yang mempunyai hidup itu, yakni tanpa izin dari si embrio itu sendiri.
3. Persinggungan dengan masalah teknik (teknologi)
Problematika teknik yang selalu berhubungan dengan harkat dan martabat manusia adalah: tidak semua teknik yang mungkin selalu valid secara moral.Jangan sampai teknik (teknologi) yang keberadaannya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia justru merusaknya. Salah satu keberatan terhadap kloning dalam hal ini adalah masalah teknik. Sampai saat ini, teknik yang dipakai sangat tidak aman untuk manusia dan sangat tidak efektif. Terdapat banyak kemungknan kegagalan dalam proses kloning, seperti kasus yang terjadi pada kloning domba Dolly. Dengan kata lain dapat dikatakan kloning adalah tidak etis karena hasil yang akan dicapai melaluinya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kerusakan yang akan dihasilkan oleh teknik kloning tersebut.
4. Risiko kesehatan
Karena teknik (teknologinya) yang belum aman, maka akan sangat berimplikasi terhadap kesehatan olah orang yang lahir melalui praktek kloning ini. Kesalahan fatal yang dapat diakibatkan oleh kloning dapat mengakibatkan cacat atau penyakit keturunan seumur hidup. Tidak sebanding dengan upaya untuk menghindari penyakit dengan melakukan proses kloning tersebut.
5. Hak manusia untuk lahir secara natural
6. Identitas individu dan keunikannya
7. Kebebasan manusia vis a vis kesalahannya
Manusia yang diklon adalah manusia yang tidak memiliki kebebasan secara utuh, dalam arti kebebasan bertindak menurut pertimbangan akal budi dan kehendaknya. Manusia hasil klon tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Karena ia bertindak tidak atas kehendaknya sendiri, melainkan ia dipakas untuk bertindak demikian.
8. Masalah ketidakadilan sosial

Penutup
Sebagai manusia kita harus memiliki kemmapuan untuk ”mengelola” teknologi agar mampu memanusiakan manusia dan bukan malah mendehumnisasi manusia. Teknologi juga pada dasarnya bukan monster yang harus dihindari karena melaluinya manusia dapat mencapi kemajuan dan prestasi dalam kehidupannya. Yang harus kita lakukan terhadap teknologi adalah menjaga agar teknologi itu tetap berada dalam kendali manusia. Kita harus dapat mengendalikannya agar kita tidak sampai diperbudak oleh dan menjadi hamba dari teknologi. Oleh karena itu diperlukan perangkat-perangkat nilai yang berdasarkan harkat dan martabat manusia untuk mengevaluasi perkembangan teknologi agar tidak menghancurkan kehidupan manusia. Last but not least, sangatlah signifikan peran manusia untuk menguasai dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi agar senantiasa melaju dalam jalur lintasan yang seharusnya, yakni dengan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan secara berimbang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semuanya tidak sesederhana yang kita bayangkan bukan?

DAFTAR PUSTAKA

Kusmaryanto, C. B., 2001, Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: PT Grasindo.
Jacob, T., tanpa tahun, Manusia, Ilmu, dan Teknologi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Mangunwijaya, Y. B., 1985, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Shannon, Thomas A., 1995, Pengantar Bioetika, terj. Kees Bertens, Jakarta: Gramedia.
Supardan, 1991, Ilmu, Teknologi, dan Etika, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Skeptisisme, Subjektivisme dan Relativisme

SKEPTISISME, SUBJEKTIVISME DAN RELATIVISME
”Sebuah Catatan Kecil”
Oleh : Alif Lukmanul Hakim, S. Fil

Fakta tentang adanya kekeliruan yang tidak hanya menimpa mereka yang awam, tetapi juga para pakar dalam bidangnya, sungguh merupakan hal yang amat mengusik pikiran dan menimbulkan teka-teki. Kalau para pakar dalam bidangnya saja dapat keliru, bukankah sudah sewajarnya kalau setiap klaim kebenaran itu selalu pantas diragukan? Benarkah bahwa kebenaran kepengetahuan itu memang bersifat subjektif sebagaimana dianut oleh aliran subjektivisme? Kalau keterlibatan subjek penahu tidak terhindarkan dalam kegiatan manusia mengetahui, bukankah kebenaran manusia itu selalu bersifat relatif? (Sudarminta, 2002 : 46).

I. Skeptisisme

Problem pengetahuan itu telah melahirkan banyak sekali aliran yang mengemukakan pendapat dan ajarannya mengenai pengetahuan, kebenaran dan kepastian. Pertumbuhan epistemologi dibentuk oleh terjadinya banyak konflik dan benturan teoretikal mengenai hal-hal tersebut (Pranarka, 1987 : 97). Selain itu, sudah menjadi keyakinan kita bersama, bahwa salah satu topik kajian epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan yang dimiliki manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh J. Sudarminta di atas, bahwa salah satu alasan utama yang telah mengilhami para filsuf dalam menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia adalah fakta adanya kekeliruan. Adanya fakta ini – masih menurut J. Sudarminta – memiliki ambiguitas, yakni di satu sisi keberadaannya menjadi sesuatu yang meresahkan, di sisi lain menimbulkan teka-teki. Meresahkan, karena apakah kita masih dapat keliru setelah dengan sangat teliti mengerjakan sesuatu hal? Apalagi para peneliti, yang nota bene telah melakukan pekerjaannya dengan sangat teliti dan hati-hati, pun masih dapat melakukan kekeliruan? Hal lainmuncul dari problematika ini adalah kenyataan bahwa mereka yang disebut ”pakar” pun seringkali tidak bersepakat dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah serta yang betul atau keliru. (Sudarminta, 2002 : 46)

Skeptisisme merupakan suatu bentuk aliran yang perlu untuk kenal dan diperhatikan secara seksama, karena skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran itu, atau sekurang-kurangya skeptisisme menyangsikan secara mendasar kemampuan pikiran manusia untuk memperoleh kepastian dan kebenaran pengetahuan. Meragukan klaim kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti bersikap skeptis. Istilah skeptisisme berasal dari kata Yunani skeptomai yang secara harfiah berarti ”saya pikirkan dengan saksama” atau saya lihat dengan teliti”. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni ”saya meragukan”. (Sudarminta, 2002 : 47). Secara etimologis, skeptisisme berasal dari kata bahasa Yunani, skeptomai, artinya memperhatikan dengan cermat, meneliti. Para skeptis pada awalnya adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan penelitian terhadapnya.

Skeptisisme sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Seringkali banyak kepercayaan, yang dianggap benar, kemudian ternyata salah. Apakah yang menjadikan kepercayaan itu benar atau salah? Apakah kita dapat merasa pasti bahwa kita talah mengungkapkan kebenaran? Apakah akal manusia dapat mengungkapkan atau menemukan pengetahuan yang benar? (Titus, et. al., 1984 : 231).

Skeptisisme dapat juga diartikan sebagai pernyataan ragu-ragu atau pengingkatan. Dalam arti sempit skeptisisme adalah pengingkaran tentang kemungkinan mengetahui, sedankan dalam arti luas adalah sikap menunda pertimbangan sampai analisis yang kritis selesai dan bukti bukti yang mungkin diperoleh sudah terdapat (Ibid., hlm. 251).

Macam-macam Skpetisisme, diantaranya adalah skeptisisme mutlak atau skeptisisme universal dan skeptisisme nisbi atau skeptisisme partikular. Skeptisisme mutlak atau universal secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar pembenaran. Jenis skeptisisme yang mengingkari sama sekali kemampuan manusia untuk tahu dan meragukan semua jenis pengetahuan macam ini dalam prakteknya jarang diikuti orang, sebab dalam kenyataannya mustahil untuk dihayati. Bahkan, kaum skeptik di zaman Yunani kuno di atas yang kadang disebut sebagai penganut skeptisisme mutlak, rupanya masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami dari lingkup hal yang diragukannya. Skeptisisme mutlak dalam prakteknya jarang diikuti karena memang suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan fakta yang eviden (langsung tampak jelas dengan sendirinya). Mengapa secara eksistensial bersifat kontradiktif? Karena, seperti sudah ditunjukkan oleh Socrates dalam wawancara polemisnya dengan kaum sofis, seorang skeptisis secara implisit (dalam praktek) menegaskan kebenaran dari apa yang secara eksplisit (dalam teori) diingkarinya. Sedangkan skeptisisme nisbi atau partikular tidak meragukan segalanya secara menyeluruh. Varian ini hanya meragukan kemampuan manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptisisme nisbi ini, walaupun tidak bersifat menggugurkan diri sendiri (self-defeating) sebagaimana skeptisisme mutlak, namun biasanya dianut karena salah paham tentang ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia dan kebenarannya.

Tiga Ujian tentang Kebenaran
Semua bukti harus dimulai dengan asumsi atau postulat yakni ide-ide atau fakta yang sudah diangap benar, dalam kacamatan sains, filsafat, dan agama. Selain itu ada terdapat tiga batu uji yang palin utama tentang kebenaran, yaitu Teori korespondensi, Teori koherensi, dan teori pragmatis. Teori korespondensi adalah ujian kebenaran yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Teori ini mengatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antafra pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri. Teori koherensi atrau konsistensi adalah ujian kebenaran yang pada umumnya diterima oleh kaum idealis. Suatu pertimbangan itu benar jika ia konsisten dengan pertimbangan yang lain yanhg telah diterima kebenarannya. Sedangkan teori pragmatis meyakini bahwa ujian kebenaran adalah manfaat, kemungkinan dilakukan, dan akibat-akibat yang memuaskan. Tak ada kebenaran yang statis atu mutlak. Suatu teori adalah benar jika ia berfungsi dalam praktek.

II. Subjektivisme
Banyak filsuf sesudah Descartes mengandaikan – dalam pemikiran-pemikiran mereka- bahwa satu-satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri da n kegiatan kita yang kita sadari. Paling tidak, hal itulah yang secara langsung dapat kita ketahui. Sedangkan pengetahuan tentang ”yang bukan aku” atau segala sesuatu di luar diri sendiri, pantas diragukan kepastian kebenarannya. Telah menjadi suatu ironi, ketika usaha keras Descartes untuk menolak dan membantai skeptisisme malah mengakibatkan pembelokan ke arah subjektivisme dalam filsafat. Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui dengan perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran kita terhadapnya. Realitas terdiri atas kesadaran serta keadaan kesadaran tersebut, walaupun tidak harus kesadaran kita dan keadaan akal kita (Titus, et. al. 1984: 218). Untuk menjelaskannya, cobalah kita jadikan mimpi dan halusinasi sebagai contoh. Dimanakah benda-benda yang kita lihat dalam mimpi itu berada?di dunia luar kita, atau berada dalam pengalaman pribadi kita yang subjektif?Apakah watak mimpi itu?Karena sebagian mimpi itu nampak seolah-olah nyata dan benar-benar terjadi. Contoh lain halusinasi. Nah, ketika kita menerima subjektivitas pengalaman-pengalaman seperti mimpi, halusinasi dan khayalan, kita telah melangkah ke arah subjektivisme. Subjektivisme dapat dikatakan juga sebagai egocentric predicament (pemikiran yang didasarkan atas pengalaman diri sendiri-Ralph Barton Perry) Selain itu coba kita bicarakan pula solipsisme(solus; sendiri, ipse; diri : merupakan reductio ad absordum dari subjektivisme, yakni akibat terakhir yang tidak masuk akal.

Empat aturan pokok Filsafat Descartes
Descartes membuat semacam aturan (rule) pokok yang harus ditaati dalam metodenya, berdasarkan apa yang saya sarikan dari Frederick Copleston, A History of Philosophy Volume III, New York: Doubleday, 1993, page. 293. yaitu:
1. Intuisi dan evidensi
2. Perincian/pelarutan
3. Pendeduksian
4. Penginduksian
Aturan yang pertama, intuisi dan evidensi, ia menyampaikan berbagai argumentasi, yakni
a. Tidak mau menerima begitu saja apa yang dianggap benar
b. Berusaha menghindari ketergesa-gesaan atau praduga
c. Hanya apa yang tersajikan secara jelas dan bernas dalam pikiran sajalah yang dapat diterima, karena tidak ada keraguan lagi (clear and distinct)
d. Hal di atas hanya dapat dilakukan melalui intuisi: langsung, simpel, self-evident
e. Itulah pengertian mutlak menurut Descartes ( Kriterium definitif) bagi segala hal
f. Pengertian yang jelas dan bernas/terpilah-pilah (clara et distincta;clear and distinct)
Aturan yanhg kedua, perincian dan pelarutan, yakni
a. Membagi-bagi persoalan yang diteliti menjadi bagian-bagian sebanyak mungkin
b. Pengertian yang baru harus didasarkan pada pengertian yang telah lebih dahulu diketahui secara clear and distinct
c. Jadi, harus ada pertautan antara pengertian yang baru dan pengertian yang lebih dulu
d. Intinya, pengertian-pengertian tersebut harus berjalin-kelindan
Aturan yang ketiga, pendeduksian, demi keruntutan berpikirnya Descartes memulai gerak laju pikirnya dari hal-hal sederhana dan mudah menuju hal-hal yang lebih kompleks dan relatif. Dan dari yang simpel dan absolut ke yang makin kompleks. Jadi, bertahap dan berangsur-angsur (Umum ke khusus). Ini bukan semata-mata urutan langkah-langkah metafisik (ordo essendi), melainkan semata-mata urutan metodologis (ordo cognoscendi)
Aturan yang keempat, penginduksian atau enumerasi, yakni
a. Descartes tidak puas dengan Aturan I, II, III, melainkan malah mengontrolnya dengan aturan yang keempat :
b. Yakni dengan mengadakan pembilangan/penyebutan (enumeration)pda setiap hal secara komprehensif dan meninjau kembali secara umum, sehingga muncul keyakinan bahwa tidak ada sesuatu hal yang terlewatkan.
c. Langkah ini menjadi ”aspek induktif” metode Descartes, dan menjadi semacam ”verifikasi” yaitu pemeriksaan terkahir apakah pengetahuan yang clear and distinct telah diperoleh.
Ternyata, pandangan subjektivisme – terutama pasca Descartes — menelurkan berbagai akibat cukup signifikan bagi dialektika selanjutnya.
Beberapa asumsi paradigma Cartesian-Newtonian
Ada 6 macam asumsi paradigma Cartesian-Newtonian yang dapat dilihat, yakni:
1. Subjektivisme-Antroposentristik
Dalam hal ini, manusia dipandang sebagai pusat dunia. Descartes melalui pernyataanya cogito ergo sum, mencetuskan kesadaran subjek yang terarah pada dirinya sendiri, dan ini adalah basis ontologis terhadap eksistensi realitas eksternal di luar diri si subjek. Selain itu, subjektivisme ini juga tampak pada pandangan Francis Bacon mengenai dominasi manusia terhadap alam. Letak subjektivisme Newton ada pada ambisi manusia untuk menjelaskan seluruh fenomena alam raya melalui mekanika yang dirumuskan dalam formula matematika.
2. Dualisme
Pandangan mengenai dualisme ini tampak pada pemikiran Descartes. Dalam hal ini, realitas dibagi menjadi subjek dan objek. Subjek ditempatkan sebagai yang superiortas atas objek. Dengan ini, manusia (subjek) dapat memahami dan mengupas realitas yang terbebas dari konstruksi mental manusia. Subjek pun dapat mengukur objek tanpa mempengaruhi dan tanpa dipengaruhi oleh objek. Paham dualisme ini kemudian mempunyai konsekuensi alamiah dimana seolah-olah “menghidupkan” subjek dan “mematikan” objek. Hal didasarkan pada pemahaman bahwa subjek itu hidup dan sadar, sedangkan objek itu berada secara diametral dengan subjek, sehingga objek haruslah mati dan tidak berkesadaran.
3. Mekanistik-deterministik
Alam raya dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan statis. Malahan, segala sesuatu yang di luar kesadaran subjek lalu dianggap sebagai mesin yang bekerja menurut hukum matematika yang kuantitatif, termasuk tubuh manusia.
Dalam pandangan mekanistik ini, realitas dianggap dapat dipahami dengan menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Hasil dari penyelidikan terhadap bagian-bagian yang kecil itu lalu digeneralisir untuk keseluruhan. Dengan demikian, keseluruhan itu berarti sama atau identik dengan penjumlahan atas bagian-bagiannya.
Pandangan yang deterministik juga tampak pada sikap dimana alam sepenuhnya itu dapat dijelaskan, diramal, dan dikontrol berdasarkan hukum-hukum yang deterministic (pasti) sedemikan rupa sehingga memperoleh kepastian yang setara dengan kepastian matematis. Dengan kata lain, masa depan suatu system, pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat terhadap kondisi system itu sekarang. Prinsip kausalitas pada dasarnya merupakan prinsip metafisis tentang hukum-hukum wujud. Determinisme ini juga didukung oleh Laplace. Ia mengatakan bahwa jika kita mengetahui posisi dan kecepatan setiap partikel di alam semesta, kita akan dapat/sanggup memprediksi semua kejadian pada masa depan.
4. Reduksionis
Dalam hal ini, alam semesta hanya dipandang sebagai mesin yang mati, tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis. Paradigma ini memandang alam raya ( termasuk di dalamnya realitas keseluruhan) tersusun/terbangun dari balok-balok bangunan dasar materi yang terdiri dari atom-atom. Perbedaan antara materi yang satu dengan lainnya hanyalah soal beda kuantitas dan bobot. Selain itu, pandangan reduksionis ini berasumsi bahwa perilaku semua entitas ditentukan sepenuhnya oleh perilaku komponen-komponen terkecilnya.
Pada jaman phytagoras maupun Plato, matematika itu mempunyai symbol kualitatif. Namun pada masa modern ini, matematika hanya dibatasi pada soal numeric-kuantitatif, unsure-sunsur simbolik ditiadakan.
5. Instrumentalisme
Focus pertanyaan di sini adalah menjawab soal ‘bagaimana’ dan bukan “mengapa”. Newton bersikukuh dengan teori gravitasi karena ia sudah dapat merumuskannya secara matematis meskipun ia tidak tahu mengapa dan apa penyebab gravitasi itu. Yang lebih penting menurutnya adalah dapat mengukurnya, mengobservasinya, membuat prediksi-prediksi berdasarkan konsep itu, daripada soal menjelaskan gravitasi.
Modus berpikir yang instrumentalistik ini tampak pada kecondongan bahwa kebenaran suatu pengetahuan atau sains itu diukur dari sejauh mana hal itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan material dan praktis. Semuanya diarahkan pada penguasaan dan dominasi subjek manusia terhadap alam.
6. Materialisme-saintisme
Saintisme adalah pandangan yang menempatkan metode ilmiah eksperimental sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal sehingga segala pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi oleh metode tersebut dianggap tidak bermakna. Pada Descartes, Tuhan itu bersifat instrumentalistik karena sebagai penjamin kesahihan pengetahuan subjek terhadap realitas eksternal. Pada Newton, Tuhan hanya diperlukan pada saat awal pencitpaan. Tuhan menciptakan partikel-partikel benda, kekuatan antar partikel, hukum gerak dasar, dan sesudah tercipta lalu alam ini terus bergerak seperti sebuah mesin ayng diatur oleh hukum-hukum deterministic.
Bagi kaum materialis, pada prinsipnya setiap fenomena mental manusia dapat ditinjau dengan menggunakan hukum-hukum fisikal dan bahan-bahan mentah yang sama, yang mampu menjelaskan fotosintesis, nutrisi, dan pertumbuhan.

III. Relativisme
Relativisme epistemologis merupakan suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Sebaliknya, paham ini mengajarkan bahwa kebenaran yang ada dan yang dapat diketahui oleh manusia adalah kebenaran yang bersifat relatif. Relatif terhadap subjek yang bersangkutan, terhadap masyarakat dan budaya tertentu, terhadap paradigma yang dipakai, dan sebaginya (Sudarminta, 2002: 55). Relativisme terkait dengan kemajemukan budaya dan kemajemukan pandangan hidup dan berdasar pada kekhasan dan perbedaan yang terdapat dalam masyarakat. Ada beberapa macam relativisme, yakni :
a. Relativisme Subjektif, Jenis yang pertama ini praktis sama dengan subjektivisme.
b. Relativisme Budaya, tidak ada kebenaran objektif dan universal, karena kebenaran pengetahuan manusia selalu relatif dan tidak terlepas terhadap kebudayaan tempat pengetahuan itu berasal atau dikembangkan. Pengetahuan, dalam perspektif relativisme budaya ini, berarti selalu bersifat lokal (local knowledge) Penentuan benar dan salah terhadap pengetahuan yang berasal dari suatu konteks sosial dan budaya tertentu dilakukan melalui upaya kontekstualisasi dan yolok ukurnya ditentukan berdasar kesepakatan sosial dalam masyarakat.
c. Relativisme kontekstual, relativisme ini mendasari relativisme budaya. Menurut kaum relativisme kontekstual benar dan salah itu tidak ada ukuran objektif dan universal, melainkan relatif dan bergantung kepada bingkai konseptual (conceptual framework) yang dipergunakan.

Kesimpulan
(1) Kepastian mutlak tentang kebenaran seluruh pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah mahluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu diragukan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
(2) Subjek berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia selalu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disangkal
(3) Pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Maka, pelbagai bentuk relativisme epistemologis, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.

Daftar Pustaka

Copleston, Frederick., 1993. A History of Philosophy Volume III, New York: Doubleday.
Sudarminta, J., 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Pranarka, A.M.W., 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Proklamasi CSIS.
Titus, et. al., 1984. Persoalan-persoalan Filsafat. Terj. H.M. Rasjidi. Jakarta : Bulan Bintang.

Sketsa Pemikiran Pendidikan Rabindranath Tagore

SKETSA PEMIKIRAN PENDIDIKAN RABINDRANATH TAGORE
Oleh: Alif Lukmanul Hakim, S. Fil

Sekadar Pengantar
Di salah satu sudut Surakarta, ada sebuah jalan bernama Rabindranath Tagore. Tapi sayangnya, penulisan nama pada jalan tersebut menunjukkan kesalahan besar. Tertulis Jalan Rabrin Dranath Tagore, dengan tambahan huruf R pada dan pemenggalan nama antara Rabrin dan Dranath. Fenomena kecil itu menunjukkan korelasi besar. Pertama, betapa pamongpraja yang menulis nama jalan tersebut tidak mengetahui sejarah dan abai pada detil-detil pentingnya. Kedua, betapa besar pengaruh Rabindranath Tagore sehingga namanya dipakai sebagai salah satu nama jalan di kota Surakarta.
Biasanya, nama-nama jalan besar di kota besar, menggunakan nama pahlawan lokal atau nasional. Tapi, untuk jalan yang satu itu, nama Rabindranath Tagore justru dipilih untuk diabadikan sebagai nama jalan. Apa yang membuat namanya sampai mendunia? Dan mengapa penting, nama Tagore diabadikan sedemikian rupa?
Rabindranath Tagore lahir di Bengali pada 7 Mei 1861. “Tagore” adalah sebutan internasional dari kata Thakur. Jadi, ketika seorang penonton film India menyebut nama “Tuan Thakur,” sesungguhnya nama itu mendunia berkat sumbangan Tagore pada manusia. Salah satu sumbangannya adalah ide dan inspirasi pendidikan yang diabadikan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam sekolah Taman Siswa. Ide dasar Taman Siswa sesungguhnya diilhami oleh pusat pendidikan yang di dalamnya Tagore banyak berperan, Santhiniketan, India. Tagore sendiri pernah melawat ke Indonesia, tepatnya ke Surakarta, dan berkawan baik dengan Ki Hadjar Dewantara. Mungkin peristiwa itu yang menjadi salah satu alasan adanya Jalan Rabindranath Tagore di Solo.
Tagore adalah orang Asia pertama yang menerima anugerah hadiah Nobel Sastra dari Akademi Swedia. Pada 1913, saat hadiah itu diberikan, ia tak bisa datang, dan hanya berkirim telegram singkat yang dibacakan di depan khalayak yang begitu penasaran pada dirinya. “Sanjungan saya pada Akademi Swedia yang penuh apresiasi dan pemahaman yang telah membawa kedekatan atas jarak yang terbentang. Dan telah menjadikan seorang asing (seperti saya) sebagai saudara.” (Lihat, http://www.wikipedia.com)
Begitu susah menyebut identitas Tagore dalam satu kata atau satu definisi saja. Ia seorang brahma, tapi ia juga penyair. Ia seorang filsuf, sekaligus dramawan tradisional yang penuh inspirasi dan kebijakan. Ia seorang musikus dan sastrawan Bengali yang sangat besar. Di India dan Bangladesh, bagi masyarakat Hindu, namanya sudah menjadi seperti nama nabi. Itu semua karena kearifan mendalam yang terdapat di berbagai karya sastranya. Salah satu yang sangat berpengaruh adalah Gitanyali, yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam banyak versi (Purwantari, 2006: 10).
Ia adalah anak bungsu dari 14 bersaudara. Ayahnya, Debendranath Tagore adalah pemimpin sekte Hindu yang sangat besar dan disegani di Bengali. Saat usianya 11 tahun, sang ayah menyelenggarakan Upayanam, sebuah upacara yang menandakan seorang laki-laki memasuki usia Brahmacari atau masa menuntut ilmu. Setelah itu, bersama sang ayah, Tagore berkeliling India.
Dimensi Ontologis dan Epistemologis Pemikiran Tagore
”Hidup di dunia hanya sekali, cinta sejati hanya sekali, karena mati pun hanya sekali” (kutipan dari salah satu karya Rabindranath Tagore). Ia mengedepankan bahwa individu harus bersatu dengan alam. Tagore berkata; orang banyak berkonsentrasi belajar dari buku dan melupakan utk belajar dari alam bebas yg sebenarnya lebih kaya, alam terkembang jadi guru (Alam sebagai realitas utama – kosmologis atau Tuhan Imanen didalamnya). Hampir sama dengan Gandhi, Tagore meyakini bahwa kebenaran harus digali dan bersumber pada subjek atau pribadi yang otonom. Pembentukan karakter individu yang bebas dan mandiri harus dibentuk melalui sistem pendidikan yang berbasis pada kondisi riil masyarakat dan berbasis pada alam.
Titik Pijak Konsep Pendidikan Tagore
Mereka mengunjungi Santhiniketan, terus ke Amritsar sebelum akhirnya sampai ke Dalhousie di kaki Gunung Himalaya. Perjalanan pada jalan cerita tokoh-tokoh ternama, Seperti Che Guavera atau Mohandas Gandhi, menjadi sangat penting dan menentukan jalan hidup mereka. Perjalanan itu tak saja membuka mata dan pengetahuan, tapi juga pemahaman yang mendalam tentang arti dunia.
Berkelana mempertemukan Rabindranath Tagore dengan Mahatma Gandhi. Keduanya bersahabat menentang British Raj, dan saling bantu membangun Gerakan Kemerdekaan India. Tagore dan Gandhi adalah dua pemimpin besar India yang pemikirannya berpengaruh melebihi batas-batas teritorial sebuah negara. Banyak para intelektual membandingkan dua pemikiran tersebut. Salah satunya adalah Jawaharlal Nehru yang menulis dari dalam penjara Inggris pada 1941 (dalam buku Bulan Sabit; Rabindranath Tagore):
“Gandhi and Tagore. Two types entirely different from each other, and yet both of them typical of India, both in the long line of India’s great men … It is not so much because of any single virtue but because of the tout ensemble, that I felt that among the world’s great men today Gandhi and Tagore were supreme as human beings. What good fortune for me to have come into close contact with them.”
Kakeknya, Dwarkanath Tagore, adalah seorang ilmuwan terpandang yang menguasai bahasa Arab, juga Parsi. Kombinasi itu pula yang menyumbang kearifan pada Rabindranath muda. Pengetahuan Sansekerta digabung dengan pemahaman Islam yang ditularkan oleh sang kakek, ditambah juga dengan literatur Persia yang kaya filsafat, membuat pemikirannya begitu mendalam dan berpengaruh.
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi yang juga dari India, pernah memberikan komentar tentang itu. “Pemahaman Rabindranath atas Sanskrit, Hindu Kuno, Islam dan Persia, membuatnya terdorong untuk melahirkan, atau setidaknya menghasilkan sintesis ajaran agama dari agama-agama yang berbeda dari seluruh dunia,” katanya.
Dalam buku-bukunya, yang kurang lebih 200 judul, memang kental terasa suasana yang menjembatani nilai-nilai antaragama di dunia. Terlebih lagi usahanya menciptakan garis penghubung antara Barat dan Timur. Kemanusiaan, bisa jadi adalah “agama” yang dijunjung tinggi oleh Tagore dalam hidupnya. Tak peduli Barat atau Timur, kemana pun wajah dihadapkan, kemanusiaan harus dijunjung luhur.
Seketika membuat saya teringat pada sebuah buku kuno yang ditulis oleh Rabindranath Tagore yang diterjemahkan oleh Mr. Mohammad Yamin, berjudul Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga. Ketika pertama kali diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K Djakarta 1955, harganya hanya Rp. 16,- saja. Tapi isinya sungguh luar biasa. Tokoh-tokoh dalam novel itu bernama Nikhil, Bimala dan Sandip, sebuah cerita tentang pencarian arti cinta.
Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shanti Niketan, sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’. Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial secara keseluruhan, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh rakyat India yang ‘tak beradab’ (Badru, 2003: 35).
Tagore memulai kegiatannya dalam situasi itu. Baginya rakyat tak punya pilihan lain kecuali mengembalikan kepribadian rakyat India pada akar tradisinya sendiri. Ia membangun proses pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi yang bertolak dari pengalaman para siswa. Sementara dalam pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek dari para guru dan pengambil keputusan, di Shanti Niketan anak-anak diberi keleluasaan mengembangkan diri dan berlaku sebagai subyek pendidikan.
Pendidikan Sebagai Gerakan: Kesamaan India – Indonesia Masa Kolonial
Di Indonesia, pendidikan sejak awal dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah timbul kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa kolonial, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat untuk melawan. Sejak akhir abad ke-19 berdiri sekolah-sekolah particulier (swasta) yang diselenggarakan oleh rakyat, karena sistem pendidikan kolonial hanya memberi kesempatan kepada mereka yang mampu dan ‘berguna’.Secara umum penguasa kolonial tak peduli pada nasib pendidikan bumiputra. Para pejabatnya lebih sibuk menyebar intel untuk meredam gerakan nasionalis ketimbang menyalurkan dana untuk pendidikan. Sekolah-sekolah particulier pada awalnya dibiarkan berkembang bebas, dan dipandang sebelah mata saja.
Adalah van der Meulen, direktur pendidikan pemerintah kolonial yang pertama memberi perhatian serius. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Fock, ia menguraikan bahaya dari sekolah particulier yang menyebar nilai-nilai anti-kolonial. Maksudnya tidak lain dari sekolah-sekolah yang dibuka oleh Sarekat Islam pimpinan Tan Malaka dan sekolah-sekolah Tionghoa yang sedang gandrung menyebarkan nilai-nilai gerakan pembebasan di Tiongkok. Sebagai reaksi pada tahun 1921 pemerintah mengumumkan Ordonansi No. 134 yang juga dikenal dengan sebutan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie). Dalam keputusan itu pemerintah mewajibkan setiap guru untuk melapor dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya (Rickleffs, 1994: 20).
Lima tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Ordonansi No. 260 yang memerintahkan guru-guru menutup semua ‘sekolah liar’ karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Semua sekolah yang berhaluan nasionalis menjadi sasaran, dan penindasan pun semakin hebat setelah terjadinya pemberontakan rakyat di Jawa dan Sumatera pada tahun 1926-27. Tidak banyak sekolah yang bisa bertahan, dan salah satunya adalah perguruan Taman Siswa, yang didirikan 1922 di Yogyakarta. Sementara kaum terpelajar menjadi sasaran represi dan sekolah-sekolah ditutup, Taman Siswa terus bergerak dan tumbuh menjadi lembaga pendidikan terpenting dalam perjuangan nasionalis. Pimpinannya seorang priyayi, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat – kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara – dikenal sebagai tokoh nasionalis yang tajam (Ibid, hlmn 21).
Menjadi bagian dari pergerakan adalah kunci keberhasilan Taman Siswa. Sementara guru-guru bumiputra yang mengajar di sekolah kolonial menolak dan bahkan mengecamnya, di banyak tempat rakyat justru meminta sekolah itu didirikan. Di tengah represi dan pengawasan intel kolonial, Taman Siswa menggelar konperensi besar pertama tahun 1923. Agenda utamanya adalah menetapkan prinsip dasar dan perluasan organisasi. Perguruan yang semula hanya membuka Kindergarten dan sekolah guru itu pun mulai nampak sebagai sebuah gerak kebudayaan yang merambah di berbagai daerah.
Konsep Pendidikannya
Tagore mendirikan sekolah yg khas, dg metode yg mencerahkan dan memberikan kemandirian pada murid 2 nya. dikenal dg nama Shanti Niketan — kini menjadi universitas besar di India dengan nama Visva Barathi University) yg artinya tempat tinggal yg damai, sebuah sekolah yg khas dg budaya lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat umum saat itu,berbeda dg sekolah2 yg didirikan oleh penjajah Inggris.
Konsep Sekolah Shanti Niketan Tagore cukup sederhana, belajar dg duduk di atas rumput dinaungi pohon yg rindang , tapi pelajaran nya sangat bermakna dan membekas di murid2 nya (saat ini telah diikuti oleh konsep sekolah alam yang kini telah ada di beberapa kota di Indonesia: ciganjur jkt, parung bogor, bandung dan surabaya).
Kurikulum sederhana: diajarkan hal-hal atau keahlian yg sesuai dg keperluan dan kondisi penduduk lokal setempat, dikembangkan berdasar kearifan lokal (local genius), bersahabat dg alam, ketrampilan praktis dll, sehingga mereka yg lulus dari sekolah tsb, benar2 bisa memanfaatkan ilmunya pada kehidupan sehari hari masyarakat setempat (Problem Possing education kalau kita merujuk Paulo Freire). Tagore ingin mengubah Sistem pendidikan kolonial: karena anak rakyat tanah jajahan menjadi ‘manusia beradab’ sesuai ukuran penguasa kolonial. Sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’.
Tagore gusar melihat sekolah kolonial menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial secara keseluruhan, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh rakyat India yang ‘tak beradab’.
Tagore memulai kegiatannya dalam situasi itu. Baginya rakyat tak punya pilihan lain kecuali mengembalikan kepribadian rakyat India pada akar tradisinya sendiri. Ia membangun proses pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi yang bertolak dari pengalaman para siswa. Sementara dalam pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek dari para guru dan pengambil keputusan, di Shanti Niketan anak-anak diberi keleluasaan mengembangkan diri dan berlaku sebagai subyek pendidikan.
Menjadi bagian dari pergerakan adalah kunci keberhasilan Taman Siswa. Sementara guru-guru bumiputra yang mengajar di sekolah kolonial menolak dan bahkan mengecamnya, di banyak tempat rakyat justru meminta sekolah itu didirikan. Di tengah represi dan pengawasan intel kolonial, Taman Siswa menggelar konferensi besar pertama tahun 1923. Agenda utamanya adalah menetapkan prinsip dasar dan perluasan organisasi. Perguruan yang semula hanya membuka Kindergarten dan sekolah guru itu pun mulai nampak sebagai sebuah gerak kebudayaan yang merambah di berbagai daerah (mirip dengan Shanti Niketan Tagore). Shantiniketan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam sistem pelaksanaan pendidikan di Pondok Gontor selain Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir, Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Alighar di India.
Penutup
Bagi Tagore:
1. pendidikan adalah sebuah proses membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakikat dan pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi)
2. Pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada.
3. pendidikan hadap-masalah, merupakan salah satu alternatif agar peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya. Peserta didik akan selalu dibenturkan dengan problem-problem kongkret dan aktual yang ada, untuk selanjutnya berupaya menganalisis menggunakan pisau analisis atau sudut pandang yang sesuai guna ditemukannya pemecahan yang komprehensif.
4. Konsep Pendidikan Tagore ingin memberikan peserta didik bekal untuk memahami kehidupan dan bukan hanya pendidikan yang berorientasi bagi pemenuhan bekal “penghidupan” an sich.
Daftar Pustaka
Badru, Ahmad., 2003, Telaah Kritis Rabindranath Tagore, Penerbit Pedati: Pasuruan
Tanpa Pengarang, 2002, Bulan Sabit: Rabindranath Tagore, Bentang Pustaka: Yogyakarta.
Purwantari, B.j., 2006, Penulis India Menjadikan Dunia Manusiawi, artikel dalam KOMPAS: Jakarta.
Ricklefs, M. C., 1994, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada Press: UGM Yogyakarta.
http://www.wikipedia.com.Rabindranath.

Filsafat Bugis-Makasar Tentang Gaukang dan Kalompowang

FILSAFAT BUGIS-MAKASAR TENTANG GAUKANG DAN KALOMPOWANG
(Pengaruhnya sebagai Sumber Kekuasaan dalam Masyarakat)
Suatu Tinjauan Metafisis
oleh: Alif Lukmanul Hakim, S. Fil

I. Pendahuluan

Hubungan patron-klien di kawasan Sulawesi Selatan sebenarnya bukan merupakan gejala yang baru. Berdasarkan informasi pegawai pemerintah kolonial Belanda, P. J. Kooreman, yang telah melihat adanya gejala tersebut pada akhir abad ke-19, walaupun ia belum menyebutnya sebagai gejala patronase. Rupanya relasi patron-klien ini telah mampu bertahan di Sulawesi Selatan dalam rentang waktu yang cukup lama, dengan berbagai perubahan sosial dan politik yang melingkupinya (Sri Ahimsa Putra, 2007: 13). Hubungan patron-klien ini sangat mencolok dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya di daerah pertanian saja, tetapi juga merasuki bidang kehidupan yang lain dalam masyarakat Sulawesi Selatan, seperti nelayan dan pertambakan.
Pada orang bugis, hubungan patron-klien dapat kita temukan pada hubungan yang terjadi antara seseorang yang disebut ajjoareng dengan joa. Ajjoareng adalah seseorang yang menjadi panutan, bisa seorang punggawa, aru, karaeng maupun pemuka masyarakat lainnya. Seangkan joa adalah para pengikutnya yang berasal dari golongan maradeka (orang merdeka). (Ibid, 2007: 12-13). Sedangkan dalam masyarakat Makasar ajjoareng atau para patron tersebut adalah para karaeng dan anakaraeng, dan joa-joanya disebut ana’-ana’ atau taunna (orang-orangnya). Orang Sulawesi Selatan sendiri menyebut hubungan antara karaeng dengan taunna sebagai minawang (mengikuti), yang maksudnya ikatan antar mereka sukarela sifatnya dan dapat diputuskan setiap saat (Kooreman, dalam Sri Ahimsa Putra, 2007: 13).
Bidang politik, sosial dan ekonomi, tentunya, bagi Masyarkat Bugis-Makasar sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Berbicara mengenai sistem politik dan hubungan kekuasaan (patron-klien) di Sulawesi Selatan tidak akan terlepas dengan pembicaraan tentang gambaran idaman masyarakat di sana tentang pemerintahan dan kekuasaan. Sedangkan perhatian tentang bidang sosial dan ekonomi, lebih fokus pada pelapisan sosial, sistem pengabdian, ekonomi mikro masyarakat. Penjelasan tentang pelapisan sosial masyarakat Bugis-Makasar senantiasa dikaitkan dengan adanya anggapan ditengah-tengah masyarakat akan kehadiran dan eksistensi manusia yang turun ke dunia (To Manurung), personifikasi atau gambaran luar biasa yang disematkan kepada tokoh yang memerintah, mengatur, menertibkan dan mewujudkan perdamaian. Terciptanya pelapisan sosial atau stratifikasi sosial yang demikian, yang acapkali dipertautkan dengan kehadiran manusia dewa (To Manurung), telah menghadirkan adanya pemisahan yang tegas dan aturan yang ketat dalam pengaturan hubungan sosial dan pada akhirnya memunculkan hubungan patron-klien di masyarakat Sulawesi Selatan.

II. Definisi Filsafat
Setiap orang – kelompok orang, komunitas, dan lain-lain — memiliki filsafat walaupun mungkin ia tidak sadar akan itu (even if you think you don’t already have a philosophy, you actually do!). Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sebagaimana yang biasa dilakukan manusia (actus homini). Kebijaksanaan tidakklah dapat dicapai dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah tertentu, khusus, istimewa. Definisi Filsafat menurut Titus, Nolan & Smith dalam buku Living Issues in Philosophy (Persoalan-persoalan Filsafat) adalah kata Filosofi diambil dari perkataan Yunani: Philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi kata tersebut berarti: Cinta kepada kebijaksanaan). Ada sedikitnya lima definisi umum menurut Titus, dkk yakni sebagai berikut:
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut merupakan arti yang informal tentang filsafat, misalnya kata-kata ”mempunyai filsafat”. Biasanya kalau seseorang berkata: ”Filsafat saya adalah…..”. ia – sebenarnya tengah menunjukkan sikapnya yang informal terhadap apa yang sedang ia bicarakan. Ataupun sama halnya dengan, ketika seseorang mengalami suatu pengalaman atau kepercayaan luar biasa, kita sering bertanya-tanya: Bagaimana pengaruh hal tersebut kepadanya? Bagaimana cara ia menghadapinya?
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal dari ”berfilsafat”. Dua arti filsafat, ”memiliki dan melakukan”, tidak dapat dipisahkan sepenuhnya satu sama lain; oleh karena jika kita tidak memiliki pengertian filsafat dalam arti yang formal dan personal, kita tidak akan dapat melakukan filsafat dalam arti kritik dan reflektif. Diperlukan secara mutlak disini, kehadiran suatu metode dalam berfilsafat.
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Melalui definisi ini, dapat dipahami bahwa filsafat berusaha untuk membawa hasil penyelidikan manusia – keagamaan, sejarah dan keilmuan – kepada suatu pandangan yang terpadu sehingga dapat memberi pengetahuan dan pandangan yang komprehensif bagi kehidupan manusia.
4. Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5. Filsafat adalah sekumpulan problematika yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat.
Definisi pertama, kedua, dan ketiga saya rasa cukup mewakili untuk menjadi pisau analisa dalam menganalisa Filsafat Bugis-Makasar tentang Kalompowan (Sumber kekuasaan).

III. Filsafat Bugis-Makasar tentang Gaukang atau Kalompowang
Penduduk Sulawesi Selatan sendiri berpendapat bahwa karaeng-karaeng mereka adalah orang-orang yang memiliki ornament atau pusaka. Oleh karena itu dapatlah dimengerti kiranya bila seorang kepala kampung, misalnya kepala kampung Tonrowa dikenal juga sebagai karaeng Tonrowa, karena memiliki pusaka tersebut. Orang Bugis dan Makasar menyebut pusaka ini sebagai kalompowang, arajang atau gaukang. Antara kalompowang dan arajang tidak ada bedanya, semuanya sama-sama berarti kebesaran, sedang perbedaannya dengan gaukang juga tidak ada. Istilah gaukang lebih menunjuk pada benda serta hasil perbuatan (gau = berbuat), sedang kata arajang atau kalompowang lebih berhubungan dengan jabatan tertentu, dan benda-benda tersebut menjadi penanda yang perlu bagi jabatan tersebut (Sri Ahimsa Putra, 2007: 107). Kalompowang atau Gaukang, dengan kata lain, sesungguhnya adalah benda-benda tanda kebesaran dari suatu kesatuan pemerintahan atau kerajaan. Keseluruhan benda-benda tersebut sebenarnya terdiri dari sebuah benda yang disebut Gaukang dan benda-benda lainnnya yang disebut kalompowang. Pada dasarnya benda-benda yang disebut kalompowang tersebut adalah benda-benda yang diberikan kepada Gaukang sebagai tanda kebesarannya, baik berupa pusaka, senjata, perhiasan dan sebagainya. Dengan demikian maka pusat (sentrum) dari keseluruhan benda-benda tanda kebesaran tersebut terletak pada Gaukang.
Masalah berikutnya terkait dengan peran dan fungsi gaukang – secara metafisis — dalam keseharian hidup masyarakat. Faktanya gaukang ini memegang peranan yang sangat signifikan, sebab selain dia yang memerintah, gaukang ini pulalah yang juga dianggap membawa keberuntungan atau pun juga malapetaka. Bilamana ada salah seorang anggota keluarga sakit, kepala keluarga ini akan mendatangi gaukang, untuk memohon kesembuhan keluarganya, tentunya dengan syarat yang telah dijanjikan kepada gaukang.
Penemuan gaukang bukan hanya menunjukkan awal terbentuknya pemukiman dan pusat pemukiman masyarakat, tetapi juga merupakan awal dari pembentukan kepemimpinan dalam masyarakat, sebagai satu kesatuan. Penemu gaukang diposisikan sebagai pemimpin dari kelompok masyarakat tersebut, baik sebagai pemimpin spiritual/keagamaan ataupun sebagai pemimpin keduniawian. Hubungan antara gaukang dan penemunya sebagai pemimpin kelompok masyarakat yang pada akhirnya menciptakan ketergantungan proses dan suksesi kepemimpinan pada gaukang. Ketergantungan inilah yang menciptakan atau memunculkan jabatan kepemimpinan dalam masyarakat menjadi jabatan yang sifatnya warisan atau turun-temurun, dimana keturunan langsung dari penemu gaukanglah yang boleh dan dapat dipilih menjadi pemimpin.
Sedangkan kalompowang hanya boleh disimpan, dijaga, dirawat dan dipegang oleh penguasa. Dalam setiap upacara pelantikan atau pengukuhan pemimpin atau penguasa baru benda-benda tersebut dikeluarkan, dan digunakan sebagai simbolisasi pengesahan pengangkatan pemimpin baru.

IV. Kesimpulan
Dari berbagai contoh mengenai gaukang dan kalompowang dan peristiwa yang berhubungan dengannya, kita melihat bahwa gaukang dan kalompowang ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting karena dia menguasai dan turut menentukan hidup matinya manusia, menetukan kesejahteraan, kesehatan serta kemakmuran dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Dengan meminjam kekuasaan gaukang dan atau kalompowang yang begitu superior, seorang Aru atau Karaeng secara otomatis memiliki kekuasaan yang besar pula. Aru atau Karaeng sebagai perantara dari gaukang dan atau kalompowang – yang secara metafisis berfungsi sebagai wakil dari ultimate reality atau supreme being dalam kepercayaan masyarakat Bugis-Makasar – mempunyai kedudukan yang sangat signifikan dalam masyarakat. Itulah sebabnya setiap orang yang dipandang dapat melaksanakan pemerintahan dan berkuasa adalah mereka yang menyimpan, menjaga, mengurus dan memegang gaukang dan kalompowang. Dia merupakan khalifah (wakil) gaukang dan atau kalompowang, yang karena itu sangat menentukan terpeliharanya harmoni keteraturan (order) dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makasar. Jika kesimpulan ini dapat diterima, maka dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Bugis-Makasar tanpa adanya gaukang dan kalompowang tidak akan da kekuasaan atau dengan kata lain, tidak ada kekuasaan tanpa gaukang dan kalompowang.