Kewarganegaraan itu Indah

Selama ini, Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebelah mata, sebagai mata pelajaran / mata kuliah yang kaku. Banyak diantara siswa maupun mahasiswa yang masih meremehkan pentingnya belajar pendidikan tersebut. Padahal ketika kita mau melihat jauh lebih dalam, pendidikan ini memiliki keindahan tersendiri.  Indah? Yah. dan siapa bilang orang informatika tidak ada hubungannya dengan matakuliah ini, atau tidak butuh makuliah ini?

Menurut saya, orang informatika itu, mesti memiliki cara berpikir seperti seorang pemikir. Ada masalah, dianalisis, kemudian temukan solusinya dengan algoritma terbaik. Ada ide, dipikirkan ,dikembangkan, dan divisualisasikan. Sama halnya pun dengan pendidikan kewarganegaraan, yang selama ini rata-rata pelajar/mahasiswa menganggap bahwa matakuliah ini isinya hanya menghafal pasal-pasal dan ayat-ayat saja, ternyata pendidikan ini menyuguhkan wawasan permasalahan bangsa, di mana masalah-masalah tersebut merupakan kenyataan yang mesti kita temukan bersama solusinya.

Banyak yang saya dapatkan selama satu semester ini,  diajar dan dibimbing oleh Pak Alif. Yang terpenting, saya mendapat wawasan dan perspektif baru, terutama untuk memetakan serta menjelaskan isu-isu maupun masalah-masalah bangsa di berbagai bidang. Cara beliau mengajar sangat berbeda dengan kebanyakan guru-guru yang saya amati selama ini. Indahnya, materi dikemas dengan begitu segar dan menarik, sehingga memacu dan mengembangkan daya pikir serta rasa ingin tahu mahasiswa. Alhasil, konsep-konsep /materi terkonstruksi dengan lebih mudah oleh otak saya.

Indahnya pendidikan kewarganegaraan ini, terletak pada permainan logikanya (Ternyata belajar kewarganegaraan juga butuh logika). Ketika ada suatu kasus, kita mesti berpatokan pada aturan yang ada.  Ketika kita melihat aturan yang ada, kita mesti berpatokan pada aturan-aturan yang di atasnya lagi, sampai pada aturan tertinggi, Pembukaan UUD 1945. Ternyata, setelah dipelajari bersama, begitu banyak penyimpangan yang terjadi, melanggar hukum yang ada. Bahkan, hukum yang ada melanggar hukum yang ada di atasnya. Hak-hak warga negara yang mestinya terpenuhi, tidak dilaksanakan dengan baik oleh negara. Begitupun, kewajiban yang mestinya dilaksanakan oleh warga negara, tidak dilakukan dengan benar.Tetapi, berpikir dan belajar kewarganegaraan bukan hanya sekedar permainan logika. Rasa dan emosi juga sangat diperlukan, untuk mengembangkan sisi kemanusiaan. Ketidakadilan dan penindasan menjadi kata kunci untuk mempelajari kasus-kasus dan masalah-masalah yang ada.  Intinya, kita mesti tahu, bahwa negeri ini memiliki banyak masalah yang parah. Dan kita, sebagai warga negara, mesti mulai peduli untuk mengenal dunia sekitar, berpikir untuk mempelajari dan menganalisis masalah, serta bertindak untuk menemukan solusi, dan menyelasikannya.

Negeri ini memang penuh dengan masalah. Bukanlah hal yang mudah untuk memperbaiki sistem dan budaya yang bobrok. Belum lagi menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang serakah. Lalu bagaimana solusinya? Akankah ada harapan untuk keadilan? Berharap saja tidak cukup. Mulai sekarang, kita mesti adil. Kita mesti adil sejak dalam pikiran, kemudian tindakan dan perbuatan. Mau jadi apakah kita, kaum tertindas atau penindas? Yang jelas, masih ada kekuatan untuk mengubah segalanya. Dan itu adalah kita, kita generasi muda. Dan inilah pendidikan kewarganegaraan yang diharapkan dan dicita-citakan, yaitu pendidikan yang mampu menyuguhkan permasalahan bangsa melalui berbagai perspektif. Pendidikan yang mampu memacu jiwa generasi muda.

Hugo Probo Gumelar (Informatika Atmajaya Yogyakarta/2012)

REFLEKSI PERKULIAHAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TAHUN 2013

Bagi sebagian siswa, dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, bahkan bagi seorang mahasiswa seperti saya, Pendidikan Kewarganegaraan sering dianggap sebagai sebuah matapelajaran atau pun mata kuliah yang kurang menarik. Kebanyakan orang menganggap bahwa Pendidikan Kewarganegaraan selalu berorientasi kepada Undang-Undang Dasar 1945 dengan seluruh pasal dan ayat-ayatnya yang terlihat begitu rumit.

Adanya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan membuat siswa sedikit banyak menjadi tahu aturan-aturan di negeri ini. Sayangnya pembelajaran yang dilakukan di kelas terlalu monoton. Hal ini menjadikan siswa gampang bosan dan cenderung tidak peduli. Berbagai pasal dan ayat, peraturan-peraturan di negeri ini menambah rasa bosan yang ada. Pembelajaran di kelas hanya memperkenalkan peraturan-peraturan yang ada.

Terkait dengan seluruh pasal dan ayat-ayat di atas, Gurulah yang memberikan, sedangkan siswa harus menghapalkannya. Selanjutnya ujian pun datang dan hal yang ditanyakan adalah seputar ayat-ayat tersebut. Sistem pembelajaran ini dirasa tidak efektif dan efisien. Jika seseorang hafal pasal-pasal dan ayat-ayat, belum tentu dia mengerti maksud dari ayat dan pasal tersebut. Jika hanya berorientasi pada ayat dan aturan tanpa membicarakan aplikasinya, seorang siswa tentu akan kebingungan dan akhinya menjadi acuh tak acuh.

Pendidikan Kewarganegaraan memang beroriantasi kepada UUD 1945 dan juga Pancasila. Hal ini terjadi karena UUD 1945 merupakan dasar Negara Indonesia, sedangkan Pancasila merupakan sebuah Ideologi yang seharusnya menuntun Bangsa Indonesia ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun kapankah hal ini pernah di bahas? Sejak 11 tahun yang lalu, segala hal yang dibahas hanyalah konten ataupun isi dari UUD 1945 dan Pancasila. Semua hal yang dibahas adalah kebaikan bagi bangsa ini. Segala yang diperbincangkan adalah mengenai jika semua yang kita miliki, jika semua yang menjadi dasar di Negara ini dilaksanakan dengan baik.

Mata saya mulai terbuka lebar ketika mengikuti mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan mengikuti mata kuliah ini saya merasa bahwa selama ini saya buta. Saya tidak pernah mendalami aplikasi dari seluruh ayat dan pasal yang ada. Pendidikan Kewarganegaraan menjadikan seseorang yang mempelajarinya memiliki pemikiran kritis dan memiliki kepedulian yang lebih, hal ini baru saya rasakan di bangku perkuliahan.

Model pembelajaran yang berbeda, melihat setiap aplikasi kebijakan-kebijakan pemerintah dan dampaknya bagi Bangsa Indonesia, hal ini membuat Pendidikan Kewarganegaraan menjadi sebuah mata kuliah yang amat sangat menarik. Kita dibawa menelusuri setiap perjalanan Bangsa ini. Kita diajak untuk turut mengambil bagian, diajak untuk berpikir. Pendidikan Kewarganegaraan dengan model pembelajaran seperti ini secara tidak langsung membuat siswa menjadi memilikrkan keadaan bangsanya.

Siswa mau tidak mau harus berpikir, hal ini terjadi karena masa depan Bangsa ini adalah masa depannya. Mengetahui berbagai masalah dan tantangan yang ada, hal ini membuat siswa mau tidak mau berpikir keras dan berjuang demi memperbaiki kehidupan Bangsa ini. Paling tidak berjuang untuk memperbaiki diri terlebih dahulu hingga nantinya juga memberi dampak positif terhadap negeri ini.
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan kewarganegaraan yang saya ikuti di tahun ini sungguh berbeda dan memberikan dampak bagi diri saya sendiri. Dampak-dampak tersebut antara lain membuat saya lebih mempedulikan keadaan di sekitar saya. Memperhatikan kinerja pemerintah di daerah dan juga memperhatikan kinerja saya di perkuliahan. Saya harus merubah diri apabila saya ingin merubah bangsa ini.

Dahulu saya tidak terlalu suka mengikuti berita yang berhubungan dengan pemerintahan dan perpolitikan yang bagi saya terasa begitu menjemukan, dan tidak terlalu penting. Namun cara pandang saya telah diubahkan seratus delapan puluh derajat. Kini saya mengerti betapa pentingnya peran masyarakat, peran kita dalam kehidupan Bangsa Indonesia ini. Kita bertindak sebagai pengawas, kita bertindak sebagai pemikir, pencetus ide, dan kita bertindak sebagai penggerak bangsa ini.

Masyarakat, generasi muda yang memiliki sikap apatis tidak akan membuat Bangsa Indonesia maju. Sikap apatis dan acuh tak acuh berarti melakukan bunuh diri secara perlahan. Pendidikan Kewarganegaraan yang sedang saya ikuti ini dapat dianalogikan sebagai seorang Dokter yang berusaha menyembuhkan pasiennya. Pendidikan Kewarganegaraan berusaha memberikan pengertian (layaknya obat) kepada siapa saja yang mengikutinya sehingga tercipta sebuah pola pikir yang baru.

Pola pikir yang baru dan benar pada setiap pribadi generasi muda atau masyarakat dapat membuat sebuah gebrakan dan perubahan besar. Pendidikan Kewarganegaraan adalah salah satu alat untuk terjadinya sebuah Reformasi, sehingga Negara Indonesia tidak terus-menerus berada pada masa transisi seperti sekarang ini.

Sebuah Reformasi harus diwujudnyatakan. Indonesia memiliki alat yang kuat. Saat ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mengoptimalkan alat yang dimiliki tersebut. Tidak setiap pengampu Pendidikan Kewarganegaraan dapat mengerahkan seluruh daya dan tenaga yang dimiliki alat itu. Saya beruntung karena di tahun ini saya berhasil memperoleh sebuah penggunaan alat secara maksimal meskipun di tahun sebelum-sebelumnya tidak.

Sebagai Refleksi Perkuliahan, saya merasakan perkuliahan ini menyenangkan dan membuka mata saya mengenai keadaan Indonesia. Seharusnya seperti itulah Perkuliahan maupun Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang ada. Seperti Kuliah yang diampu oleh Pak Alif Lukmanul Hakim, S. Fil., M.Phil ini.

Debora 120707083
Teknik Informatika Universitas Atmajaya Yogyakarta
Kelas D

Pendidikan Kewarganegaraan: Pembelajaran yang Membebaskan Pemikiran

Pendidikan Kewarganegaraan, salah satu mata pelajaran yang telah diajarkan sejak tingkat pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan ternyata masih berlanjut hingga kini di tingkat Perguruan Tinggi. Dimana Pendidikan Kewarganegaraan menjadi salah satu Mata Kuliah Umum (MKU) di Universitas Negeri Yogyakarta, Perguruan Tinggi Negeri yang saat ini menjadi tempat saya menuntut dan mengembangkan ilmu di Jurusan Pendidikan Fisika. Meski sudah tidak asing lagi dalam kehidupan para pencari ilmu, nampaknya mengenai pengertian kewarganegaraan itu sendiri masih simpang- siur dan belum tentu dipahami oleh semua generasi penerus bangsa diberbagai jenjang pendidikan.

Pendidikan Kewarganegaraan dan Fisika? Mungkin tidak ada keterkaitan antara dua bidang ilmu tersebut. Namun, untuk menjadi manusia yang bermartabat, yang mencintai bangsa dan negaranya, dimana seharusnya mengetahui keadaan negeri sendiri, dan mampu mempertahankan segala yang ada didalamnya, Pendidikan Kewarganegaraan menjadi penting untuk dipelajari. Dan mungkin alasan inilah yang menjadikan Pendidikan Kewarganegaraan sudah mulai diajarkan sejak dini, hingga di tingkat Perguruan Tinggi.

Bapak Alif Lukmanul Hakim, S. Fil, M.Phil., salah satu dosen Pendidikan Kewarganegaraan di Program Studi Pendidikan Fisika merupakan dosen yang mungkin bisa dikatakan limited. Dalam arti lain masih jarang dosen yang seperti beliau, yang dengan energik dan humoris menyampaikan materi perkuliahan sehingga tidak membosankan. Pandangan mengenai isi materi yang begitu banyak dengan pengampu materi yang monoton, menjadi lenyap seketika setelah beliau memulai perkuliahan pertama kali di awal semester pertama dan berlanjut hingga semester kedua ini, meski dengan mata kuliah yang berbeda (Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan).

Pak Alif, begitu sapaan akrabnya, menjadikan perkuliahan yang aktif, demokratis, dinamis, dan tanpa diskriminatif sebagai salah satu media penyaluran ilmu pengetahuan yang efektif bagi generasi muda (baca: Mahasiswa) yang tentunya masih memerlukan banyak pengetahuan dan tuntunan dalam menjalankan fungsinya, bagi diri sendiri, masyarakat, nusa- bangsa dan negara. Mengingat saat ini, bumi pertiwi Indonesia sedang tidak baik- baik saja. Banyak permasalahan didalamnya yang mungkin belum terfikirkan dan belum diketahui bagaimana penyelesaiannya. Sehingga pemikiran yang positif dalam upaya pembangunan bangsa menjadi sangat diperlukan untuk menciptakan keadaan Indonesia seperti yang diamanatkan dalam Undang- Undang Dasar 1945.

Indonesia yang begitu luasnya, yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 nampaknya masih belum sadar betul berkaitan dengan masalah yang paling pokok, yaitu mengenai kewarganegaraan. Karena berdirinya suatu negara, tidak lepas dari adanya bangsa yang menetap dan tinggal didalamnya. Dalam perkembangannya saat ini menunjukkan bahwa generasi muda memerlukan suatu pemikiran baru mengenai negaranya. Bahkan banyak diantara mereka tidak mengenal bangsanya sendiri, sehingga banyak budaya yang ada diklaim oleh negara lain. Dari sinilah urgensi Pendidikan Kewarganegaraan menjadi penting untuk diperhatikan.

Tak berhenti sampai disini saja, Pendidikan Kewarganegaraan yang dibawakan oleh Pak Alif selalu membuka pemikiran mengenai kejadian terkini yang mendera Indonesia. Korupsi yang kini berkembang dimana- mana, demokrasi yang mulai luntur dari ciri khas bangsa, ketahanan nasional yang mulai goyah, pengaruh budaya asing yang semakin menjamur dikalangan masyarakat, dan Sumber Daya Alam yang hampir semua dikuasai oleh pihak asing membuat warga negara perlu adanya suatu pencerahan dalam membuka pikiran menuju kesadaran diri yang sesungguhnya.

Selama dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, hak dan kewajiban sebagai mahasiswa terjamin keberadaannya, tidak ada diskriminasi dan selalu demokratis dalam setiap pembagian tugas. Inilah yang menjadikan mahasiswanya menjadi bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya, saling menghargai dan merasa saling memiliki satu sama lain. Tak hanya itu saja, kedekatan Pak Alif dengan mahasiswa menciptakan suasana keakraban dalam perkuliahan. Sehingga mahasiswa dapat dengan leluasa dan tanpa rasa takut akan ancaman, mengeluarkan pendapat dan pemikirannya secara bebas tentang negeri ini melalui diskusi yang tidak saling menjatuhkan.

Seperti yang diketahui, bahwa Indonesia dengan segala kekayaan yang ada didalamnya menjadi tanggung jawab generasi muda dan seluruh warga negara dalam keberlangsungannya. Bagaimana menjadikan Indonesia menjadi mandiri, sehingga tercipta ketahanan nasional, dan pengetahuan tentang wawasan nusantara bangsa Indonesia. Karena sesungguhnya bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai negaranya sendiri, maka sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik terlebih dahulu negara kita (baca: Indonesia) ini, baru kemudian menemukan strategi dalam pelaksanaan kenegaraan.

Apa yang terjadi pada bumi pertiwi sekerang ini? Kebiajakan yang kurang berpihak pada rakyat menjadikan jurang pemisah yang begitu dalam antara rakyat dan pemerintah. Lalu, bagaimana seharusnya negara ini dijalankan? Tentunya dengan demokrasi yang berimbang, merata dan tidak memihak. Tak berhenti disini saja, kita perlu mengetahui identitas negara kita ini, identitas nasional Indonesia. Dengan demikian akan tercipta integrasi nasional yang baik dalam pelaksanaan kehidupan.

Itu semua memerlukan adanya ilmu khusus yang tidak hanya sekedar memberikan pengertian secara teoritis, namun juga dalam praktik nyata. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan ini, bukan tidak mungkin negara kita akan berubah menjadi lebih baik lagi, menjadi negara maju seperti yang diidam- idamkan sejak dahulu kala, dan menjadi negara yang kuat dengan segala aspek kekuatan dan kekayaan yang ada didalamnya.

Selama satu semester bersama Pak Alif saling bertukar pikiran dan informasi mengenai Kewarganegaraan. Dengan penyampaian yang bervariasi, menghasilkan terbukanya pemikiran diri, menuju masyarakat sejati yang mencintai budayanya sendiri. Metode penyampaian yang tidak monoton dengan adanya pembagian tugas kelompok presetasi, memberikan pembelajaran bahwa generasi muda harus berani menunjukkan dirinya, seberapapun ilmu yang dimilikinya pasti akan memberikan konstribusi bagi yang lainnya. Gambaran keadaan Indonesia terkini, menyadarkan diri bahwa negara ini sedang tidak baik- baik saja. Bahkan terkadang perbedaan menjadi masalah besar dalam kehidupan. Disinilah diajarkan bagaimana mempersatukan perbedaan dan membedakan dalam kebersamaan. Karena tiap pribadi itu unik, dan pasti mempunyai pemikiran yang beragam.

Masalah kewarganegaraan satu persatu mulai dibuka. Politik, ekonomi, sosial dan budaya tak lepas dari bagian penting untuk didiskusikan. Dengan observasi lapangan secara langsung, membuka pemikiran diri mengenai keadaan yang sebenarnya tejadi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah. Jadilah masyarakat madani yang peduli dengan nasib bangsa sendiri, menjunjung tinggi HAM, melaksanakan praktik demokrasi dengan baik dan tetap berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945.

Terimakasih untuk Pak Alif dan teman- teman seperjuangan Prodi Pendidikan Fisika A 2012. Tak terasa satu semester telah berakhir. Dengan ilmu Pendidikan Kewarganegraan ini, semoga mengantarkan kita mewujudkan cita- cita bangsa untuk semakin maju. Yakinlah, sesuatu itu mustahil atau tidaknya tergantung pada usaha yang kita lakukan, sesuai dengan hukum ketiga Newton, yang menyatakan bahwa FAKSI = FREAKSI. Saatnya aksi nyata untuk kebangkitan Indonesia. Semangat! Generasi Muda Indonesia, BISA!

 

Iva Nandya Atika (12302241035)

Satu Semester Kewarganegaraan

Bismillah.

Ketika saya menulis ini, Ringroad Utara masih gerimis. Teringat akan diskusi dengan teman-teman pengajar Rumah Inspirasi Bangsa Minggu malam lalu, Mas Thoyyib dan Mas Satria. Kedua teman pengajarku itu yang kagum atas tulisan yang ku terbitkan di facebook satu minggu lalu dan menyatakan bahwa mereka tak bisa menulis sepertiku, menulis cerita. Kebetulan keduanya terjun dalam bidang poltik kampus dan Mas Satria memang seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gadjah Mada. Dunia mereka adalah dunia artikel, sementara aku hanya bisa menulis cerita seperti yang sedang ku tuliskan. Untuk dosenku, Pak Alif Lukmanul Hakim, tulisan ini ku persembahkan.

Kamis, 14 Februari 2013 merupakan pertemuan pertama kami mulai kuliah di semester dua dengan Bapak Alif, dosen yang semester sebelumnya mengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila. Beliau yang selalu semangat dalam mengajar, menyajikan fakta sehingga kami mulai terbuka dengan dunia yang kini kami pijaki, khususnya lagi bumi yang jadi pertiwi kami, Indonesia. Kala itu pertemuan kedua kami, setelah minggu sebelumnya kami mengobrol biasa. Seperti semester lalu, beliau langsung memberi kami tugas makalah. Berbeda dengan semester lalu, jika dahulu kami membahas Pancasila, nilai-nilai, permasalahan yang berkaitan dengan Pancasila, semester ini kami banyak membahas aturan-aturan di negara kami dengan tujuan agar kami dapat membuka pikiran tentang kenyataan bangsa ini. Topik yang menjadi tugas presentasi makalah kami sekaligus menjadi materi kuliah kami di semester dua adalah sebagai berikut :
1. Urgensi atau pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan
2. Hak dan kewajiban warga negara
3. Wawasan nusantara
4. Ketahanan nasional
5. Hak asasi manusia
6. Demokrasi
7. Otonomi daerah
8. Konstitusi dan amandemen UUD 1945
9. Identitas nasional dan pancasila
10. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai proses integrasi.
Kamis satu minggu selanjutnya, tepatnya tanggal 21 Februari 2013, kami mulai presentasi dengan topik urgensi Pendidikan Kewarganegaraan yang dibawakan oleh Pak Alif. Yang ada di catatan saya terkait topik ini adalah UU No.20 tahun 2003. Pada waktu itu dijelaskan bahwa mata kuliah ini dilaksanakan dengan tujuan agar mahasiswa mengerti tentang peraturan-peraturan yang berlaku di negara kita serta agar lebih peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di negara kita.

Selanjutnya, yaitu pada Kamis, 28 Februari 2013, presentasi disampaikan oleh Tyas, Ari, dan Navis tentang wawasan nusantara. Namun dalam catatan saya tertanggal 28 Februari 2013, tertulis “Civil Society atau Masyarakat Madani”. Saya lupa bagaimana ini disampaikan, yang jelas saya dapat ilmu baru tentang :
1. Apa yang dimaksud masyarakat madani
2. Masyarakat difungsikan sebagai kontrol pemerintah
3. Yang melaksanakan pemerintahan atau negara ada di pusat dan daerah
4. Pemerintah memiliki tugas yaitu : membuat kebijakan dan mengemban amanat tujuan nasional
5. Aspek-aspek dalam kewarganegaraan : civic knowledge, civic skills (intelektual dan partisipasi), civic disposition
Dalam penyampaian ini, kami banyak berdiskusi tentang tata laku wawasan nusantara yang pada hakikatnya wawasan nusantara itu sendiri merupakan pemikiran, tindakan, dan sikap bangsa Indonesia. Pada penyampaian ini, diharapkan kita sebagai warga negara menjadi terbuka dan mampu melihat kebijakan.

Masih di hari yang sama, hak dan kewajiban warga negara disampaikan oleh Ni’am, Syella, dan Atika. Seharusnya mereka yang maju terlebih dahulu, namun karena Ni’am terlambat karena harus menjilid makalah, akhirnya mereka presentasi pada urutan kedua hari itu. Dalam topik ini kami banyak berdiskusi tentang pasal-pasal dalam UUD 1945, seperti hak memperoleh pekerjaan yang tercantum dalam pasal 27 ayat 2, hak untuk hidup pada pasal 28A, hak dan kewajiban tentang pembelaan negara pada pasal 27 ayat 3.
Pada tanggal 14 Maret 2013, kami berdiskusi tentang ketahanan nasional. Presentasi ini disampaikan oleh Selvi, Afifah, dan Lucky. Ketahanan nasional tercantum dalam pembukaan UUD 1945 tentang tujuan negara. Pada penyampaian ini terdapat banyak aspek di antaranya aspek geografis, kekayaan, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, ketahanan dalam bidang pangan, ketahanan dengan bidang pendidikan.
Kamis, 21 Maret 2013 kami berdikusi tentang hak asasi manusia. Presentasi ini disampaikan oleh Asteria, Andi, dan Melyana. Yang kami peroleh dari presentasi tersebut adalah :
1. Hak asasi manusia merupakan hak manusia yang dibawa sejak lahir.
2. Lembaga-lembaga HAM
a. Komnas HAM (melindungi)
b. Komnas anti kekerasan terhadap perempuan
c. LSM prodemokrasi dan HAM (orang hilang)
3. Kasus pelanggaran HAM contohnya genosida
4. Upaya perlindungan HAM
a. Pembukaan UUD 1945
b. Batang tubuh UUD 1945
c. UU No.39 tahun 1999
Masih pada hari yang sama, seusai diskusi tentang hak asasi manusia kami menyaksikan sebuah video tentang pertambangan di alam Indonesia di mana kami diminta membuat resume tentang video tersebut. Pada waktu itu saya sempat menangis karena marah melihat pemerintah yang membiarkan hal tersebut terjadi (eksploitasi bahan tambang). Yang lebih membuat kecewa adalah kenyataan bahwa undang-undang kita mudah dibeli negara lain dalam arti segala kepentingan perusahaan asing dicantumkan dalam undang-undang sehingga mereka mendapat keuntungan besar sementara pemerintah Indonesia hanya mendapat sebagian kecil dari penghasilan mereka.
Pertemuan selanjutnya yaitu Kamis, 28 Maret 2013 kami berdiskusi tentang demokrasi. Presentasi disajikan oleh Aad, Winda, dan Novilya. Pada waktu itu dibahas tentang demokrasi yang pernah berlaku di Indonesia seperti liberal, terpimpin, dan pancasila serta masa berlakunya. Kemudian kami juga membahas tentang pemilihan umum (pemilu).

Pada minggu berikutnya, presentasi yang disajikan tentang otonomi daerah. Namun, karena waktu itu saya dan tujuh orang teman lain mendapat tugas belajar di Universiti Putra Malaysia, kami tidak mengikuti kuliah ini. Selanjutnya pada hari Kamis tanggal 11 April 2013 kami membahas tentang UUD amandemen. Presentasi ini disampaikan oleh Taufiq, Azza, dan Nanda. Kemudian pada Kamis, 25 April 2013 kami membahas tentang identitas nasional yang disampaikan oleh Putri, Rama, dan Enda. Pada diskusi ini saya mencatat beberapa poin penting :
1. Identitas nasional berkaitan dengan karakter individu
2. Negara kita yang mengalami krisis tentang karakter disebabkan oleh masalah managerial di mana masalah tersebut ada di tingkat tertinggi yaitu presiden. Pada bahasan ini kebetulan malam sebelumnya ditayangkan acara satu jam bersama presiden kita yang dapat kita lihat bahwa presiden kita sibuk mengurus masalah pribadinya. Dengan demikian Indonesia tidak memiliki pemimpin yang dapat dicontoh.
3. Dibahas pula mengenai BBM, harga bahan baku yang naik, dan sebagainya.
4. Kebanyakan warga negara kita permisif, yaitu mudah memaafkan kesalahan yang fatal.
Dua minggu berikutnya kami berdiskusi tentang PKn sebagai proses integrasi yang disampaikan oleh saya, Laras, dan Yoga. Pada pertemuan tersebut kami banyak membahas globalisasi.
Secara umum pembelajaran kami di semester dua hampir sama seperti di semester lalu. Namun, menurut yang saya rasakan, greget nasionalisme tidak terlalu terasa di setiap pertemuan. Hal tersebut disebabkan dalam penyampaian materi, presentator kurang semangat. Yang membuat saya merasa kurang juga terdapat dalam diri saya sendiri, kurang mau membaca, sehingga kepekaan terhadap bangsa muncul hanya pada saat-saat tertentu. Mungkin di semester selanjutnya kami tidak akan menemukan mata kuliah yang membuka mata kami seperti mata kuliah ini. Namun kami berharap, saya pribadi khususnya, pembelajaran ini dapat menjadi awal keterbukaan saya terhadap bangsa. Saya berharap apa ilmu kewarganegaraan yang saya dapat di kampus, saya terapkan dan persembahkan untuk bangsa ini, walaupun kecil namun dapat sedikit demi sedikit menambah baik hidup ibu pertiwi. Terima kasih untuk Pak Alif yang telah membuka pikiran kami untuk lebih peka, lewat pengajaran yang Bapak berikan. Kiranya PKn ini harus terus dilanjutkan agar tiap warga negara sadar dan paham betul akan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

Atyasa Anindita (Pendidikan Fisika Internasional UNY – 2012)

Behind the Scene Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, pada akhirnya sampailah kita di akhir semester genap, di tahun ajaran 2012/2013. Tidak terasa sudah satu tahun lamanya Bapak Alif Lukmanul Hakim membersamai kita dalam mata kuliah Pancasila di semester gasal dan Kewarganegaraan untuk semester genap. Banyak sekali ilmu yang telah kita dapat dari beliau. Untuk meriview segala kegiatan asyik selama masa perkuliahan, tidak etis kiranya jika tidak dimulai dari awal pertemuan kita dengan bapak dosen kita yang keren ini di semester gasal.

Awal cerita dimulai ketika perkenalan kami di awal pertemuaan perkuliahan, Bapak Alif Lukmanul Hakim, atau yang lebih familier kami panggil “Pak Alif” ini memperkenalkan dirinya sebagai dosen yang sangat luar biasa, selain beliau mengajar di Universitas Islam Indonesia beliau juga mengajar di berbagai Universitas lain di Yogyakarta, dan salah satunya adalah UNY, kampus kita tercinta. Banyak hal yang berkesan, terutama karena Pak Alif berasal dari kota yang sama dengan saya, Magelang, sehingga memberi sedikit ketertarikan saya pada mata kuliah ini. Masa-masa kuliah kami jalani dengan presentasi mengenai materi Pancasila, diskusi, tanya jawab, menonton film, dll. Materi presentasi disajikan oleh kelompok mahasiswa secara bergiliran. Tidak hanya presentasi namun kami juga diberikan tugas untuk membuat makalah yang berisi tentang materi presentasi yang kami buat tersebut. Hal yang paling saya ingat di semester gasal ini adalah film megenai “Ekonomi Kerakyatan” yang diperlihatkan oleh Pak Alif. Ternyata ekonomi di Indonesia ini sungguh tidak berpihak pada sektor kecil seperti masyarakat, kebijakan hanya berpihak pada orang-rang dengan modal besar, pemerintah terkesan menelantarkan rakyat kecil. Sungguh ironis, rakyat kecil malah tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, bahwa kebijakan justru menghancurkan kehidupan rakyat kecil. Contohnya adalah banyak didirikan mall, supermarket dan minimarket sehingga mematikan sektor ekonomi kerakyatan, terutama pasar-pasar tradisional.

Hal yang lain yang saya tidak akan pernah lupa dari Pak Alif adalah dihapuskannya ujian akhir
tertulis dari mata kuliah ini dan digantikan dengan study kasus. Hal ini bermula dari tugas Pak Alif untuk mengomentari mengenai tulisan beliau di salah satu sosial media. Dari sana saya dan Atysa Anindita mendapatkan ide untuk melakukan studi kasus untuk lebih mendapatkan implementasi nyata dalam mata kuliah ini. Menurut saya ini sangat sesuai, dikarenakan mata kuliah Pancasila bukan lah sekedar teori yang hanya dihafalkan dalam semalam dan sehari kemudian lupa, namun lebih kepada implementasinya dalam kehidupan nyata, yaitu berupa kasus yang ada dalam masyarakat. Kalau tidak salah kami dibagi menjadi empat kelompok besar terdiri dari 6-7 orang dan kemudian mendapatkan tugas untuk mempelajari masalah yang ada di dalam masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Kebetulan kelompok saya mendapatkan tugas untuk meninjau perbedaan sekolah SBI/RSBI dengan sekolah biasa atau sekolah berstandar nasional. Kami melakukannya di SMA Negeri 3 (sekolah SBI/RSBI) dan SMA Negeri 5 Yogyakarta (Sekolah Berstandar Nasional). Hal yang menarik disini adalah apa yang kami lakukan ternyata memberikan pengetahuan tersendiri bahwa dasar hukum sekolah SBI/RSBI yaitu pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Terbukti beberapa minggu setelah studi kasus kami laksanakan, pada bulan Januari 2013 Mahkamah Konstitusi menyatakan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) tidak sesuai dengan amanat UUD dan karena itu keberadaanya di sistem pendidikan Indonesia tidak boleh diteruskan. Betapa bahagianya kami, ternyata apa yang kami pelajari tidak sia-sia, namun disisi lain itu juga menjadikan dilema tersendiri bagi kami sebagai mahasiswa Pendidikan Fisika Internasional UNY yang notabene kelak akan menjadi guru sekolah berstandar internasional. Disuatu sisi kami mendukung, namun disisi lain kami juga merasa dirugikan terhadap putusan ini. Inilah hal yang paling mengesankan di semester gasal.

Berlanjut ke semester berikutnya, yaitu semester genap, disini kami tidak mempelajari tentang Pancasila lagi, namun kami mempelajari tentang kewarganegaraa. Hal yang mungkin terdengar lebih kompleks dari mata kuliah Pancasila. Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan adalah Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan zaman, serta Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004.

Dalam mata kuliah ini, kami mempelajari mengenai urgensi kewarganegaraan (pendidikan politik warga Negara), hak dan kewajiban warga Negara, hak asasi manusia, demokrasi, kemandirian nasional, wawasan nasional, geo politik dan geo strategi, otonomi daerah yang meliputi implementasi dan latar belakang terjadinya, identitas nasional dan integrasi nasional. Hardware dalam mata kuliah ini adalah mengenai kebijakan.

Saya teringat di awal pertemuan semester gasal, Pak Alif menceritakan bahwa Tarian Gangnam Style dari Korea yang sempat dielu-elukan oleh dunia termasuk kita bangsa Indonesia merupakan adopsi dari tarian daerah kita sendiri yaitu “Kuda Lumping”. Setelah diperhatikan ternyata hal itu benar adanya. Ini membuktikan betapa kita sebagai Bangsa Indonesia sangat tidak mencintai budaya kita sendiri, namun malah mencintai budaya orang lain yang diadopsi dari budaya kita, sangat ironis dan memprihatinkan.

Seperti hal nya dengan semester gasal, materi umum disampaikan oleh kelompok mahasiswa melalui presentasi dan makalah sedangkan materi penting dan diskusi dipimpin oleh Pak Alif. Penekanan materi disampaikan Pak Alif melalui film, kurang lebih ada 3 film yang kita tonton pada semester ini, yang pertama adalah mengenai “people oriented city” yaitu kota yang berorientasi pada kenyamanan masyarakat, tidak seperti di Indonesia dimana banyak kendaraan berlalu-lalang dan tidak memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki atau masyarakat umum. Negara yang menganut “people oriented city” menerapkan adanya car free zone, adanya aturan untuk mengurangi kecepatan kendaraan di area-area tertentu, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan menggantinya dengan sepeda yang lebih ekonomis, tidak berdampak polusi, dan baik bagi kesehatan. Para pemakai sepeda disedikan jalan khusus sepeda dan para pejalan kaki diberikan trotoar sebagai tempat berjalan. Tidak ada rasa was-was ketika harus berjalan di jalan raya, itulah “people oriented city”. Ada beberapa kota di berbagai Negara yang telah menerapkannya seperti Copenhagen (Denmark), Amsterdam (Belanda), dan Bogota (Colombia). Bagaimana dengan Indonesia? Ini masih menjadi pertanyaan besar.

Film yang kedua adalah mengenai SDA milik Indonesia yang karena adanya kesalahan kebijakan berubah menjadi milik asing. Salah satu contohnya adalah Freeport. Indonesia adalah Negara yang sangat kaya, terutama dalam hal SDA, namun lagi-lagi dikarenakan kesalahan kebijakan, Bangsa Indonesia menjadi terasa miskin di negerinya yang kaya raya. Mungkin benar ungkapan, “Tanah Surga? Katanya……”

Film yang terakhir mengenai review materi, disini ada beberapa materi yang ditonjolkan seperti demokrasi yang kita lakukan masih dalam proses mencari format yang sesuai, otonomi daerah seharusnya bisa memberdayakan masyarakat yang ada di daerah, gender adalah bagaimana pembangunan bisa berprespektif gender dan mengenai kesehatan adalah adanya puskesmas 24jam, contohnya di Yogyakarta sendiri.

Sedangkan untuk tugas akhir, kami mendapatkan tugas meninjau rumah sakit, negeri dan swasta. Disini kami meninjau RS Sardjito dan RS Panti Rapih (Yogyakarta), sebenarnya tinjauan yang kami lakukan belum begitu mendalam dikarena terkendala dalam hal perizinan. Namun secara umum, perbedaan antara negeri dan swasta tidak begitu mencolok, hanya saja pelayanan di RS swasta dapat lebih cepat dari pada di negeri, namun biayanya pun cukup mahal. Pelayanan di RS negeri agak sedikit lama dikarenakan banyak masyarakat yang berobat disana karena biayanya yang cukup rendah. Tambahan yang diberikan Pak Alif ketika presentasi tugas ini adalah apabila kita meninjau suatu instansi pelayanan umum, ada 4 hal yang perlu dicermati seperti, visi misi yang terdapat di instansi tersebut, apakah masyarakat dapat mengaksesnya secara mudah atau tidak (ditempel di berbagai dinding di instansi tersebut), kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai penjabaran dari visi misi, profesionalitas SDM dan fasilitas yang ada.

Pada akhirnya memang pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan serta memberikan point of view tersendiri dalam berfikir dan bertindak, menjadikan kita mahasiswa yang merupakan ujung tombak bangsa menjadi lebih cerdas dalam menyikapi permasalahan Negara. Tidak hanya mereka, para mahasiswa hukum, sospol, dll yang cerdas sebagai warga Negara, namun kita juga sebagai mahasiswa MIPA, khususnya Pendidikan Fisika Internasional UNY 2012 memiliki hak yang sama sehingga tidak mudah dibodohi oleh kebijakan yang salah yang dilakukan oleh pemerintah.

Terimakasih Bapak Alif Lukmanul Hakim atas bimbingannya selama 2 semester berturut-turut ini, terimakasih atas pengetahuan yang diberikan, yang mungkin tidak akan kami dapatkan di buku, di koran, di televisi atau ditempat lainnya. Provokasi yang membangun serta ajakan untuk senantiasa menjadi cerdas dan kritis sebagai warga Negara semoga menjadi bekal kami untuk berjalan, berjuang dan melalui masa-masa kami sebagai seorang “Mahasiswa Indonesia”.

Syella Ayunisa Rani (Pendidikan Fisika Internasional UNY – 2012)