Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, pada akhirnya sampailah kita di akhir semester genap, di tahun ajaran 2012/2013. Tidak terasa sudah satu tahun lamanya Bapak Alif Lukmanul Hakim membersamai kita dalam mata kuliah Pancasila di semester gasal dan Kewarganegaraan untuk semester genap. Banyak sekali ilmu yang telah kita dapat dari beliau. Untuk meriview segala kegiatan asyik selama masa perkuliahan, tidak etis kiranya jika tidak dimulai dari awal pertemuan kita dengan bapak dosen kita yang keren ini di semester gasal.
Awal cerita dimulai ketika perkenalan kami di awal pertemuaan perkuliahan, Bapak Alif Lukmanul Hakim, atau yang lebih familier kami panggil “Pak Alif” ini memperkenalkan dirinya sebagai dosen yang sangat luar biasa, selain beliau mengajar di Universitas Islam Indonesia beliau juga mengajar di berbagai Universitas lain di Yogyakarta, dan salah satunya adalah UNY, kampus kita tercinta. Banyak hal yang berkesan, terutama karena Pak Alif berasal dari kota yang sama dengan saya, Magelang, sehingga memberi sedikit ketertarikan saya pada mata kuliah ini. Masa-masa kuliah kami jalani dengan presentasi mengenai materi Pancasila, diskusi, tanya jawab, menonton film, dll. Materi presentasi disajikan oleh kelompok mahasiswa secara bergiliran. Tidak hanya presentasi namun kami juga diberikan tugas untuk membuat makalah yang berisi tentang materi presentasi yang kami buat tersebut. Hal yang paling saya ingat di semester gasal ini adalah film megenai “Ekonomi Kerakyatan” yang diperlihatkan oleh Pak Alif. Ternyata ekonomi di Indonesia ini sungguh tidak berpihak pada sektor kecil seperti masyarakat, kebijakan hanya berpihak pada orang-rang dengan modal besar, pemerintah terkesan menelantarkan rakyat kecil. Sungguh ironis, rakyat kecil malah tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, bahwa kebijakan justru menghancurkan kehidupan rakyat kecil. Contohnya adalah banyak didirikan mall, supermarket dan minimarket sehingga mematikan sektor ekonomi kerakyatan, terutama pasar-pasar tradisional.
Hal yang lain yang saya tidak akan pernah lupa dari Pak Alif adalah dihapuskannya ujian akhir
tertulis dari mata kuliah ini dan digantikan dengan study kasus. Hal ini bermula dari tugas Pak Alif untuk mengomentari mengenai tulisan beliau di salah satu sosial media. Dari sana saya dan Atysa Anindita mendapatkan ide untuk melakukan studi kasus untuk lebih mendapatkan implementasi nyata dalam mata kuliah ini. Menurut saya ini sangat sesuai, dikarenakan mata kuliah Pancasila bukan lah sekedar teori yang hanya dihafalkan dalam semalam dan sehari kemudian lupa, namun lebih kepada implementasinya dalam kehidupan nyata, yaitu berupa kasus yang ada dalam masyarakat. Kalau tidak salah kami dibagi menjadi empat kelompok besar terdiri dari 6-7 orang dan kemudian mendapatkan tugas untuk mempelajari masalah yang ada di dalam masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Kebetulan kelompok saya mendapatkan tugas untuk meninjau perbedaan sekolah SBI/RSBI dengan sekolah biasa atau sekolah berstandar nasional. Kami melakukannya di SMA Negeri 3 (sekolah SBI/RSBI) dan SMA Negeri 5 Yogyakarta (Sekolah Berstandar Nasional). Hal yang menarik disini adalah apa yang kami lakukan ternyata memberikan pengetahuan tersendiri bahwa dasar hukum sekolah SBI/RSBI yaitu pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Terbukti beberapa minggu setelah studi kasus kami laksanakan, pada bulan Januari 2013 Mahkamah Konstitusi menyatakan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) tidak sesuai dengan amanat UUD dan karena itu keberadaanya di sistem pendidikan Indonesia tidak boleh diteruskan. Betapa bahagianya kami, ternyata apa yang kami pelajari tidak sia-sia, namun disisi lain itu juga menjadikan dilema tersendiri bagi kami sebagai mahasiswa Pendidikan Fisika Internasional UNY yang notabene kelak akan menjadi guru sekolah berstandar internasional. Disuatu sisi kami mendukung, namun disisi lain kami juga merasa dirugikan terhadap putusan ini. Inilah hal yang paling mengesankan di semester gasal.
Berlanjut ke semester berikutnya, yaitu semester genap, disini kami tidak mempelajari tentang Pancasila lagi, namun kami mempelajari tentang kewarganegaraa. Hal yang mungkin terdengar lebih kompleks dari mata kuliah Pancasila. Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan adalah Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan zaman, serta Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004.
Dalam mata kuliah ini, kami mempelajari mengenai urgensi kewarganegaraan (pendidikan politik warga Negara), hak dan kewajiban warga Negara, hak asasi manusia, demokrasi, kemandirian nasional, wawasan nasional, geo politik dan geo strategi, otonomi daerah yang meliputi implementasi dan latar belakang terjadinya, identitas nasional dan integrasi nasional. Hardware dalam mata kuliah ini adalah mengenai kebijakan.
Saya teringat di awal pertemuan semester gasal, Pak Alif menceritakan bahwa Tarian Gangnam Style dari Korea yang sempat dielu-elukan oleh dunia termasuk kita bangsa Indonesia merupakan adopsi dari tarian daerah kita sendiri yaitu “Kuda Lumping”. Setelah diperhatikan ternyata hal itu benar adanya. Ini membuktikan betapa kita sebagai Bangsa Indonesia sangat tidak mencintai budaya kita sendiri, namun malah mencintai budaya orang lain yang diadopsi dari budaya kita, sangat ironis dan memprihatinkan.
Seperti hal nya dengan semester gasal, materi umum disampaikan oleh kelompok mahasiswa melalui presentasi dan makalah sedangkan materi penting dan diskusi dipimpin oleh Pak Alif. Penekanan materi disampaikan Pak Alif melalui film, kurang lebih ada 3 film yang kita tonton pada semester ini, yang pertama adalah mengenai “people oriented city” yaitu kota yang berorientasi pada kenyamanan masyarakat, tidak seperti di Indonesia dimana banyak kendaraan berlalu-lalang dan tidak memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki atau masyarakat umum. Negara yang menganut “people oriented city” menerapkan adanya car free zone, adanya aturan untuk mengurangi kecepatan kendaraan di area-area tertentu, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan menggantinya dengan sepeda yang lebih ekonomis, tidak berdampak polusi, dan baik bagi kesehatan. Para pemakai sepeda disedikan jalan khusus sepeda dan para pejalan kaki diberikan trotoar sebagai tempat berjalan. Tidak ada rasa was-was ketika harus berjalan di jalan raya, itulah “people oriented city”. Ada beberapa kota di berbagai Negara yang telah menerapkannya seperti Copenhagen (Denmark), Amsterdam (Belanda), dan Bogota (Colombia). Bagaimana dengan Indonesia? Ini masih menjadi pertanyaan besar.
Film yang kedua adalah mengenai SDA milik Indonesia yang karena adanya kesalahan kebijakan berubah menjadi milik asing. Salah satu contohnya adalah Freeport. Indonesia adalah Negara yang sangat kaya, terutama dalam hal SDA, namun lagi-lagi dikarenakan kesalahan kebijakan, Bangsa Indonesia menjadi terasa miskin di negerinya yang kaya raya. Mungkin benar ungkapan, “Tanah Surga? Katanya……”
Film yang terakhir mengenai review materi, disini ada beberapa materi yang ditonjolkan seperti demokrasi yang kita lakukan masih dalam proses mencari format yang sesuai, otonomi daerah seharusnya bisa memberdayakan masyarakat yang ada di daerah, gender adalah bagaimana pembangunan bisa berprespektif gender dan mengenai kesehatan adalah adanya puskesmas 24jam, contohnya di Yogyakarta sendiri.
Sedangkan untuk tugas akhir, kami mendapatkan tugas meninjau rumah sakit, negeri dan swasta. Disini kami meninjau RS Sardjito dan RS Panti Rapih (Yogyakarta), sebenarnya tinjauan yang kami lakukan belum begitu mendalam dikarena terkendala dalam hal perizinan. Namun secara umum, perbedaan antara negeri dan swasta tidak begitu mencolok, hanya saja pelayanan di RS swasta dapat lebih cepat dari pada di negeri, namun biayanya pun cukup mahal. Pelayanan di RS negeri agak sedikit lama dikarenakan banyak masyarakat yang berobat disana karena biayanya yang cukup rendah. Tambahan yang diberikan Pak Alif ketika presentasi tugas ini adalah apabila kita meninjau suatu instansi pelayanan umum, ada 4 hal yang perlu dicermati seperti, visi misi yang terdapat di instansi tersebut, apakah masyarakat dapat mengaksesnya secara mudah atau tidak (ditempel di berbagai dinding di instansi tersebut), kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai penjabaran dari visi misi, profesionalitas SDM dan fasilitas yang ada.
Pada akhirnya memang pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan serta memberikan point of view tersendiri dalam berfikir dan bertindak, menjadikan kita mahasiswa yang merupakan ujung tombak bangsa menjadi lebih cerdas dalam menyikapi permasalahan Negara. Tidak hanya mereka, para mahasiswa hukum, sospol, dll yang cerdas sebagai warga Negara, namun kita juga sebagai mahasiswa MIPA, khususnya Pendidikan Fisika Internasional UNY 2012 memiliki hak yang sama sehingga tidak mudah dibodohi oleh kebijakan yang salah yang dilakukan oleh pemerintah.
Terimakasih Bapak Alif Lukmanul Hakim atas bimbingannya selama 2 semester berturut-turut ini, terimakasih atas pengetahuan yang diberikan, yang mungkin tidak akan kami dapatkan di buku, di koran, di televisi atau ditempat lainnya. Provokasi yang membangun serta ajakan untuk senantiasa menjadi cerdas dan kritis sebagai warga Negara semoga menjadi bekal kami untuk berjalan, berjuang dan melalui masa-masa kami sebagai seorang “Mahasiswa Indonesia”.
Syella Ayunisa Rani (Pendidikan Fisika Internasional UNY – 2012)