Urgensi Dakwah Digital Melalui Media Sosial di Kala Pandemi

oleh: Ust. Alif Lukmanul Hakim, S.Fil., M.Phil

Kemajuan Pesat Teknologi dan Informasi inheren atau melekat didalamnya tanggung jawab yang besar dan berat dari penggunanya untuk lebih bijaksana dalam menggunakan dan memanfaatkannya. Selain adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan pesat tersebut, semisal internet yang didalamnya ada media sosial dan lain-lain yang sangat dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun, kapan pun, dan dimana pun, sisi positifnya pun tetap terbuka untuk dioptimalkan oleh siapa pun, seperti cepat dan mudahnya akses informasi dan komunikasi, pilihan yang makin banyak dan juga selera massa yang beragam yang dapat difasilitasi. Itulah sebabnya, platform new media dan sosial media memainkan peranan yang sangat urgen dan penting dalam mewarnai kehidupan di berbagai penjuru dunia dalam pemanfaatannya. Bagi pegiat atau aktivis dakwah, ini merupakan ladang amal yang sangat empuk dan positif untuk menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh masyarakat melalui media ini. Kita tahu, hampir lima bulan ini, pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia. Akibat “pagebluk” ini segala aktivitas masyarakat di luar rumah dan ruang publik pun sangat dibatasi. Misalnya saja ibadah di masjid dan gereja, belajar di sekolah dan bekerja di kantor harus dapat didesain untuk dilakukan dari rumah. Pemerintah kita melaunching istilah Working from Home (WFH). Bagi para pegiat dakwah, aktifitas dakwahnya pun eksodus untuk dipindah ke media sosial. Bagaimana urgensinya dan seperti apa bentuk optimalisasi pemanfaatan sosial media dalam berdakwah di masa pandemi?

Kondisi umat Islam di seluruh dunia sangat dituntut kesabaran lebih, contonhya kemarin saat menjalankan puasa ramadhan tahun ini sangat berbeda dari biasanya. Karena suasana ibadah Ramadhan di masjid yang biasanya menjadi locus atau pusat utama aktivitas selama bulan ramadhan, untuk tahun ini seolah tidak ada gaungnya, karena aktivitas massal di Masjid dalam daerah rawan Covid 19 tersebut sangat memungkinkan bisa menjadi pemicu penyebaran virus dan terinfeksinya seseorang manakala berada dalam kerumunan dengan tanpa ada jarak. Aktivitas di Masjid jadi tak dapat dilakukan secara nomral, atau bahkan dipindahkan ke kediaman masing-masing, karena karakter penyebaran virus corona bisa terjadi melalui media apa saja, salah satunya saling bersalaman atau terkena droplet individu yang terpapar virus pada yang belum terinfeksi maka keputusan yang tepat diambil pemerintah dalam memutus penyebaran covid 19 dengan memberikan himbauan untuk shalat wajib dan tarawih serta tadarus Qur’an di rumah saja. Pada titik inilah urgensi dan peran media sosial sangat penting dan dibutuhkan oleh banyak orang, bahkan banyak orang beramai-ramai mulai menggunakan media sosial seperti, Youtube, Zoom, Facebook, stream yard dan google meet dalam menyampaikan pesan dakwah bagi dai, ataupun materi seminar bagi para dosen diberbagai Perguruan Tinggi, bahkan Guru dengan murid di SD, SLTP dan SLTA atau sederajat ikut menggunakan berbagai aplikasi tersebut dalam mendukung kegiatan belajar dan mengajar. Bentuk dakwah di media sosial sendiri bisa berupa siaran langsung (live streaming), video siaran tunda (recorded), artikel, atau dalam bentuk tanya jawab langsung. Pendakwah bisa memilih salah satunya atau kombinasi dari pilihan-pilihan tersebut.

Komunikasi melalui media televisi atau pun media sosial lainnya merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan, didalamnya terkandung pesan-pesan dan makna tertentu dengan melalui media atau saluran sebagai sarana yang akhirnya menimbulkan efek atau perubahan bagi penerima pesan. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan yang mengandung arti dan dilakukan oleh penyampai pesan yang ditujukan kepada penerima pesan. Cara yang baik untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Komunikasi menurut Lasswell adalah dengan menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?”, maksudnya adalah siapa mengatakan apa dengan saluran atau kanal apa, kepada siapa serta meghasilkan efek bagaimana atau seperti apa pada audiens? Berbeda dengan definisi-definisi yang ada diatas dua orang pakar lainnnya, yakni Shannon dan Weaver mengungkapkan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling memebrikan pengaruh timbal balik anatara satu dengan lainnya, sengaja atau tidak disengaja. Tidak berbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi wajah, hasil karya berupa lukisan, karya-karya seni lainnya, dan teknologi. Dari beberapa definisi komunikasi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas telah jelas bahwa komunikasi adalah proses menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, bisa melalui dengan komunikasi verbal maupun nonverbal. Secara otomatis bisa diambil kesimpuan bahwa berdakwah melalui perantara media sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi yang efektif, kenapa demikian? Karena esensi dakwah sendiri adalah menyeru atau mengajak audiens untuk senantiasa melakukan perbuatan dan amal baik.

Esensi Dakwah Kultural

Secara kebahasaan atau etimologis dakwah berarti panggilan, seruan atau ajakan. Dalam bentuk kata kerja atau fi’lnya adalah da’a, yad’u yang berarti memanggil, menyeru, mengajak. Adapun secara istilah atau terminologis dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada ajaran yang benar sesuai perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Sedangkan Syeikh Ali Mahfuz, dalam Abdul Rosyad Saleh mendefinisikan bahwa dakwah adalah “mendorong manusia agar memperoleh kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. “Secara ringkas, dakwah dapat didefinisikan sebagai upaya menyampaikan, mengajak, atau mempengaruhi orang lain untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat melalui penerapan ajaran-ajaran Islam.

Itulah sebabnya kata “dakwah” memiliki sinergi san padanan kata dengan kata “ta’lim, tabyin, tashwir, tabligh”. Intinya bahwa dakwah adalah social agent, di mana komponen-komponen yang terlibat di dalamnya saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dakwah tersebut. Adapun komponen-komponen yang terlibat di dalam dakwah antara lain: Da’i, yaitu orang yang menyampaikan dakwah. Istilah lainnya adalah muballigh. Siapa saja bisa menjadi da’i, asalkan menyampaikan pemahaman yang ramah bukan marah, sejuk dan moderat, wasathiyah, ajaran Islam yang universal dan juga tidak mengkotak-kotakkan, dan mungkin komponen diatas bisa saja ditambahkan dengan media sosial sebagai instrumen penting dalam berdakwah di zaman modern dan milenial seperti sekarang ini. Setiap orang memiliki kesempatan menyampaikan dakwah Islam di media sosial tersebut. Namun tentu saja, rambu-rambu harus dipegang teguh. Seperti dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang yang sama, media sosial bisa memberikan manfaat dan pada saat yang sama di sisi lain pun bisa membahayakan. Jangan sampai malah kontraproduktif dalam menyampaikan dakwah, para pegiat dakwah atau Da’i malah tersandung masalah hukum misalnya, karena menyebarkan informasi bermuatan SARA, hate speech, hoax dan perpecahan, yang dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan. Dalam hal ini pihak pemerintah pun telah mengatur tata cara dan aturan dalam bermedia sosial dengan keluarnya UU ITE yaitu UU Nomor 11 Tahun 2008. Karena media sosial di zaman ini bukanlah sesuatu yang asing dikalangan para muballigh Da’i, selain saluran televisi dan radio. Dengan syarat seorang Dai harus benar-benar memahami fungsi media sosial untuk mensyiarkan agama Islam dengan baik. Bahkan kewajiban untuk menyampaikan ajaran Islam (dakwah) secara jelas disinggung oleh Allah dalam al-Quran dan dita’kid oleh Nabi Muhammad Saw. Seorang Da’i dalam berdakwah di masa pandemi ini harus menguasai ilmu dan bahan yang disampaikannya, bukan hanya ikut trend dan asal menyampaikan. Pemahaman maksud dan isi Al Quran dan hadist Nabi mutlak harus dimiliki setiap da’i. Berdakwah adalah salah satu bentuk ibadah horisontal dengan sesama, karenanya ilmu yang disampaikan pun harus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya, terutama menebar kebaikan dan kemaslahatan bersama. Dalam hal ini, da’i adalah orang yang memposting tulisan-tulisan atau mengupload program-program yang bermanfaat untuk kebaikan orang lain melalui media sosial. Komponen dakwah lainnya adalah materi atau isi. Inti ajaran Islam adalah tauhid, ibadah dan akhlak. Jika materi dakwah adalah ajaran Islam, maka apa yang disampaikan dalam berdakwah tidak terlepas dari tiga pokok ajaran Islam tersebut sekalipun tidak melalui tatap muka atau hanya dengan perantara media sosial. Akan tetapi perlu dipilah, disaring dan diteliti apakah yang paling urgen untuk disampaikan sesuai dengan kontek masa, tempat, lingkungan dan isu-isu yang temporer pada saat tulisan atau video itu diupload atau diposting.

Perintah menjalankan dakwah sebenarnya sudah dijelaskan Allah Swt., dalam kitab suci al-Qur’an. Misalnya “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (Al Imran: 104). Maksud ma`ruf di sini ialah segala perbuatan yang mendekatkan diri pada Allah sedang munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah. Dalam surat Al-An’am disebutkan “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya, yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al An’am: 153). Di samping perintah Allah SWT. Nabi Muhammad Saw. juga bersabda kepada ummatnya: “Sampaikanlah walau hanya satu ayat”. Sabda Nabi ini memiliki makna bahwa seluruh umat Islam senantiasa harus menyampaikan ilmu yang di milikinya kepada orang lain, kapanpun, di manapun mereka berada bahkan dalam kondisi apapun dan dengan wasilah apa pun. Agar dakwah dapat berjalan secara efektif dan efisien maka terlebih dahulu mengidentifikasi dan mengantisipasi masalah-masalah yang muncul dan akan muncul serta dilengkapi dengan pengenalan objek secara tepat salah satu dengan bijak dan tepat dalam memilih media sosial dalam berdakwah. Untuk menyampaikan pesan dakwah, seorang juru dakwah (da’i) dapat menggunakan berbagai macam media dakwah, baik itu media modern (media elektronika) maupun media tradisional.

Walapun pada hakikatnya dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara Islam dan politk atau Islam dan negara. Dakwah kultural hadir untuk mengukuhkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada suatu pola budaya tertentu dengan cara memisahkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai dakwah kultural tidak menganggap power politik sebagai satu-satunya alat perjuangan dakwah. Dakwah kultural menjelaskan, bahwa dakwah itu sejatinya adalah membawa masyarakat agar mengenal kebaikan universal, kebaikan yang diakui oleh semua manusia tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Dakwah Kultural memiliki peran yang sangat penting dalam kelanjutan misi Islam di Bumi ini sebagai agama dan ajaran Rahmatan Lil ‘Aalamiin. Suatu peran yang tak diwarisi Islam Politik atau struktural yang hanya mengejar kekuasaan yang instan. Manusia sebagai makhluk hidup yang membutuhkan interaksi dengan sesama, tentunya pemanfaatan media sosial sebagai media dakwah sangatlah bagus karena fungsi media sosial secara otomatis akan mentransfer energi positif bagi siapa saja yang mampu meresapi sekaligus mengamalkan pesan dakwah melalui media tersebut.

Peran dan fungsi serta urgensi dakwah media sosial memang harus diperkuat sebagai salah satu kanal utama dalam berdakwah yang positif di saat pandemi. Media sosial adalah “ruang publik” bersama dan sarana yang cenderung gratisan dan dapat digunakan khalayak luas dalam mengekspresikan dan menyampaikan berbagai hal. Media sosial merupakan wahana dan kanal paling jujur dimana berbagai ekspresi, pesan kemanusiaan dan pemikiran bisa didedahkan tanpa terhalang sekat-sekat apapun. Oleh karena itu perlu penguatan dan literasi media sosial yang berkelanjutan dan komprehensif, termasuk membangun prinsip dan regulasi yang ketat dan objektif bagi para da’i agar mengedepankan kebijaksanaan dan juga profesionalisme dalam menyampaikan materi dakwahnya. Masyarakat perlu semakin cerdas dan bijaksana dalam bermedia sosial, termasuk memiliki kapasitas dan kompetensi yang baik dalam memilah dan memilih mana da’i yang dapat didengarkan serta diikuti materi dakwahnya. Semoga.

Posted in Tidak Dikategorikan.

(BERUPAYA) MENGHINDAR DARI KEMATIAN oleh: Alif Lukmanul Hakim, S.Fil., M.Phil

Meski banyak ulama, kyai, maupun pihak pemerintah (ulil amri) telah puluhan bahkan ratusan kali menyampaikan himbauan dan instruksi dalam menyikapi wabah Virus Corona (Covid-19) ini atau dipidatokan berkali-kali di mana-mana, namun saya ingin ikut pula menulis ini. Perihal Virus Corona dan bagaimana kita menyikapinya dan berupaya memutus mata rantai penyebarannya.

Seorang teman bertanya via whatsapp, hidup itu untuk apa?. Saya menjawabnya “Semua orang — pada dasarnya — maunya hidup terus, minimal semua ingin panjang umurnya, meski mereka tahu dan yakin ajal kapanpun akan datang menjemput, tak kenal siapa, kapan, dan dimana, tanpa bisa ditolak. Dan saya tak mau mati dengan cara membiarkan diri diserang virus yang merasuk ke dalam jantung diam-diam. Saya berupaya menghindar dari kematian. Boleh jadi dengan cara begitu itu Tuhan menetapkan takdir-Nya saya bisa hidup lebih lama. Sejatinya dan juga semua orang mesti ingin hidup bahagia, selamat dunia dan akherat.

Secara histori, dalam Tarikh (Sejarah) Islam, kita sering mendapatkan cerita yang sangat viral di tengah pandemi yang kita alami saat ini mengenai Khalfah Umar bin Khattab RA. Dulu, kira-kira tahun ke 17 H, saat Umar bin Khattab memimpin sebuah bangsa besar tanpa batas geografis, virus Amwas, tiba-tiba menyerbu dan menyerang secara sporadis warga di wilayah Syam –Syiria saat ini– sebutan untuk daerah-daerah di Damaskus, Yordania, Palestina dan Lebanon. Nama Amwas diambil dari nama daerah kecil di antara Quds dan Ramalah, di mana virus itu pertama kali muncul.

Alkisah, Khalifah Umar bin Khattab mengadakan perjalanan hendak mengunjungi Syam, beserta para sahabat Muhajirin dan Anshar. Tibalah mereka di sebuah kampung bernama Sarg, perbatasan antara Hijaz — sebutan untuk Jazirah Arab saat itu — dan Syam. Kemudian mereka bertemu panglima bersama pasukannya. Mereka menyampaikan info sangat penting dan genting: Wilayah Syam sedang dilanda wabah hebat dan warganya banyak sekali yang sakit. Di sana virus mematikan sedang menjangkiti warga. Sang Amirul Mukminin kemudian berunding dengan para sahabatnya lantas beliau memutuskan untuk pulang kembali ke Madinah. Tatkala beliau pulang, virus itu dikabarkan membunuh ribuan orang. Konon katanya mencapai 20.000 orang mati, bahkan ada yang menyebut lebih dari itu, ada yang bilang 25.000 orang bahkan 50.000 orang. Beberapa yang terpapar virus dan kemudian meninggal di antaranya adalah para tokoh dan juga sahabat Nabi: Abu Ubaidah bin al-Jarrah (Gubernur Syam saat itu) beliau salah satu sahabat yang dibanggakan Nabi, Muaz bin Jabal, Yazid bin Abu Sufyan, Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, Utbah bin Suhail, dan lain-lain. Virus terus menyebar tanpa dapat dihentikan dan mengakibatkan banyak korban jiwa yang meninggal. Sampai kemudian Amr bin Ash, sahabat Nabi dan Gubernur Mesir kala itu, berpidato :

“Wahai rakyat, virus mematikan ini jika sudah turun dia akan membakar apa saja yang ada. Kalian harus keluar menjauh dari sini menuju ke pengunungan dengan menyebar, jangan berkumpul,” dalam bahasa istilah medis saat ini untuk dijadikan protocol kesehatan kita sering mendengarnya dengan “Hindari Kerumunan.”. Merekapun keluar menyebar. Tak lama Allah menghilangkan virus-virus itu.

Khalifah Umar bin Khattab mendapat laporan tentang kebijakan dari Amr bin Ash tersebut. Beliau sangat senang mendengarnya dan mendukung kebijakan tersebut. Yang penting adalah bagaimana caranya agar virus tidak menularkan kepada orang lain. Bisa dengan tinggal di rumah saja. Bisa juga dengan menjaga jarak, social distancing atau physical distancing, tidak keluar melulu, tidak berkerumun atau hindari kerumunan atau kebijakan lain seperti PSBB dan karantina wilayah lainnya. Sesuai dengan keadaannya masing-masing. Mari bersama-sama mendukung pemerintah (ulil amri) kita dan kita berjuang bersama keluar dari wabah atau pandemi ini. Menyambut tatanan Normal Baru (New Normal) dengan melakukan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dengan baik dan konsisten dalam kehidupan sehari-hari sesuai protokol kesehatan. Semoga.

 

Posted in Tidak Dikategorikan.

MEWUJUDKAN (KE)BAHAGIA(AN) DALAM BERKELUARGA Iman dan Taqwa jadi Pijakannya oleh: Ustadz Alif Lukmanul Hakim, S.Fil., M.Phil

Setiap pasangan di dunia ini pasti ingin memperjuangkan untuk meraih (ke)bahagia(an). Kelelahan maupun masalah, baik fisik maupun hati tak dirasakan. Selingan muncul pula menghampiri, sesekali pertengkaran, atau bahkan badai amarah tak pernah hilang. Acapkali muncul salah persepsi atau komunikasi yang kurang pas diantara keduanya. Misal, sikap Istri yang kurang hormat atau kurang menghargai suami, diajak berbicara baik namun kadang menjawab seenaknya, dinasehati namun tak atau enggan mendengarkan atau malah langsung menjawab dan marah-marah, padahal dinasehati suami adalah keharusan dan yang paling harus didengarkan adalah nasehat suami setelah menikah. Atau suami yang kadang agak emosi dan sedikit meletup amarahnya, karena merasa tak didengarkan nasehatnya atau menganggap diremehkan keberadaannya karena hal itu. Atau suami yang memang bertipikal cukup emosional, sehingga sikap enggan dan tak mau dinasehati dari Istrinya tersebut menjadi bumbu pemicu dari munculnya sikap emosional. Banyak pasangan yang pada akhirnya menyerah kalah mengibarkan bendera putih pada keadaan yang dirasa sulit. Padahal jika keduanya menurunkan egonya, keadaan akan berangsur membaik dan tentu akan tercipta kondisi yang lebih kondusif. Ketika saling memperbaiki sikap dan juga memahami posisi dan peran masing-masing dengan baik. Saling bantu dan melengkapi adalah salah satu cara memperbaiki. Bahkan tak sedikit juga lho, disekitar kita ada mereka yang kandas dalam mengarungi bahtera pernikahan. Akhirnya, (ke)bahagia(an) tak mampu digapai sehingga berpisah adalah pilihan dan tak ingin melanjutkan mengembangkan layar menuju haluan yang dituju seperti kala awal bertemu dalam mengarungi bahtera pernikahan.

Hidup memang selayaknya sebuah PERJALANAN, ingat bukan “jalan-jalan.” Mesti harus tahu dan paham dengan benar siapakah kita? (who am I), dimana kita sekarang (posisi kita/standing point), dan kemana arah menuju (tujuan dan perlu peta tujuan yang jelas). Awalnya, biasanya akan sangat lancar, mudah, dan fine-fine saja. Seperti sebuah perjalanan diatas jalan yang baru saja diaspal. Seperti dipinggir pantai, duduk dibawah sepoi-sepoi nyiur melambai, dan desiran ombak dihadapan. Namun, itu adalah keadaan dipinggir, itu diawalnya. Di tengah perjalanan atau ditengah mengarungi bahtera (ke)hidup(an) muncul perbincangan atau bahkan perdebatan diantara keduanya saat dihadapkan pada pilihan harus memilih jalan atau cara menuju dan mencapai tujuan. Kemudian melajulah kendaraan itu, berlayarlah bahtera tersebut itu. Dari pilihan jalan yang ada, pilihan arus yang dilewati mungkin sekali dapat saja ditemui jalan atau arus yang tak nyaman dan bergelombang besar. Kadang sangat terjal, berbatu, kasar dan rusak yang membuat suasana tak nyaman. Kadang badai menghantam dan merusak buritan bahtera kita. Pada kondisi ini, sikap bijak dan kedewasaan perlu ada, juga ketenangan dan kesabaran perlu untuk diutamakan. Walau mesti ada suasana keadaan dan relung hati yang sebaliknya, yakni saling menyalahkan, saling merasa benar atas pilihan sebelumnya, dan mengapa memilih arah tersebut. Hingga pada akhirnya pertengkaran tak terhindarkan dan memilih untuk mengambil jalan sendiri-sendiri serta mengabaikan tujuan awal bersama dahulu kala, yang satu menjadi Imam dan yang satu menjadi makmum bersama anak-anaknya.

Kiranya, itulah sekelumit atau bahkan potret nyata yang acapkali muncul dalam sebuah rumah tangga. Sangat tak gampang memang. Namun menghindar adalah sikap pecundang dan tak percaya keberadaan Allah Tuhan YME disisi kita. Adalah sebuah sunatullah dan garis hidup mutlak dalam langkah setiap manusia, akan dipertemukan dengan ujian sesuai takaran dan kemampuannya. Saat inilah Allah mengukur skala keimanan dan bukti kongkrit penghambaan kita kepadaNya. Seperti dalam firman Allah: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al-Ankabut: 2). Firman Allah: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214).

Sikap kita adalah berusaha untuk senantiasa siap, dengan melakukan ikhtiar (dibaluti doa menyertai), tawakal, dan mau belajar ketika harus berjumpa dengan masalah atau ujian. Jangan sekadar menyerah kalah dan pasrah dengan keadaan. Apalagi nafsu, keinginan menggebu dan godaan hati akan dunia semakin menarik diri kita untuk terjerumus. Perselingkuhan, menyukai “yang lain”, mengidolakan yang lain –minimal pasti- akan merusak dan menggerogoti pernikahan kita. Semenjak awal, kita harus memiliki kesadaran diri bahwa berbagai masalah dan ujian yang dihadapi akan menjadi timbangan dari skala kualitas hidup dan keimanan kita. Bisa ujian yang berhubungan dengan harta, atau godaan “yang lain” berupa Pria dan Wanita lain, juga jabatan atau kedudukan, karir dan sikap kita yang lebih mengutamakan hal-hal tersebut dibanding mengutamakan pasangan kita atau keluarga kita. Maka menyelesaikan masalah dengan cara bijaksana, yakni dengan tidak mengorbankan “harga diri” salah satu dari pasangan kita, misalnya dengan tidak mengorbankan “marwah” suami dan tidak menindas “derajat” suami adalah menjadi suatu keharusan. Tidak mengeyampingkan Istri kita adalah keniscayaan. Menjaga urusan atau masalah berdua, adalah semata-mata hanya untuk konsumsi berdua dan tak perlu mengajak pihak ketiga (apalagi jika itu adalah Pria atau Wanita lain) atau bahkan sampai mengorbankan dan menghancurkan marwah dan martabat pasangan di tengah pihak ketiga, adalah wajib untuk dihindari. Kita masih punya Gusti Allah tempat mengadu, tidak mengadu kepada selainNya, dan pasti bisa mengutamakan pasangan kita, dan anak-anak kita.

Ada dialog antara Rasulullah dengan seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, “Yaa Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujiannya dalam hidup?” Rasulullah saw menjawab: “Para Nabi dan Rasul, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang setelah mereka secara berurutan berdasarkan tingkat kesholehannya. Seseorang akan diberikan ujian dan cobaan sesuai dengan kemampuan agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. JIkalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun.” (HR Bukhari).

 

Dalam membangun keluarga hingga menemukan (ke)bahagia(an) butuh dipersiapkan sedari awal mula, bahkan sebelum masuk ke dalam jenjang pernikahan. Bila masih sendiri, sudah saatnya memulai belajar mempersiapkan secara optimal bagaimana hidup berkeluarga kelak. Misal, bagaimana sikap kita pada suami kita, mendahulukan kepentingannya, mendengarkan dan melaksanakan nasehatnya, tidak melakukan apa yang dilarangnya. Dan juga, bagaimana pula sikap kita pada istri kita dengan selalu menyayangi, mengasihinya dan berusaha sekuat mungkin guna menafkahinya serta menyayangi dan melindungi anak-anak kita. Jika seorang Istri mampu membantu keuangan dan ekonomi keluarga, itu adalah amal ibadah dan suatu hal yang luar biasa, akan mendapatkan balasan dan pahal setimal dari Allah. Dapat kita garis bawahi, banyak ilmu yang harus kita gali, terutama pemahaman agama yang benar, sehingga memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga kedepannya. Bila sudah telanjur menikah, harus secepat mungkin membuka diri untuk mau dan terus menerus belajar. Terutama belajar nilai-nilai dan ajaran agama. Jika suami adalah guru yang baik, pemahaman agamanya cukup atau bahkan memadai, Istri harus mau belajar dan mau dibimbing serta dinasehati oleh suami. Pun juga sebaliknya, jika malah Istri yang lebih dahulu memiliki pemahaman agama yang baik, suami tak perlu malu untuk belajar dari Istrinya atau ditemani untuk belajar agama bersama-sama kepada Guru agama yang telah disepakati.

Dibawah ini ada beberapa faktor yang dapat menghambat kehidupan berkeluarga kita.

  1. Kendala dalam konteks Komunikasi, hambatan komunikasi bermula dari ketidakterbukaan dalam mengungkapkan sesuatu, atau bahkan memang salah satu dari pasangan memang menutupi sesuatu pada pasangannya. Misal salah satu pasangan tak jujur pada pasangannya. Tak pernah minta izin atau bahkan tidak mau aktivitasnya diketahui atau ada yang disembunyikan. Apalagi sekarang ada akun medsos dan sebagainya, misal salah satu memfollow pasangannya, tapi akunnya si pasangan ditutupi atau tidak dapat diakses pasangan. Bila tidak kita mulai dari awal untuk membuka diri dan mau mengalah, kendala itu akan semakin membesar, sedangkan disisi lain masalah yang dihadapi lebih berat. Maka mengurai dari yang sederhana hingga akhirnya mampu menyelesaikan hal yang rumit adalah suatu proses yang harus dilalui. Mulai jujur dan tak menutupi sesuatu dari pasangan wajib untuk dilakukan.
  2. Adanya Ego yang tinggi. Hal ini akan menjadikan seseorang mengukur dari “aku” bukan “kita”. Jika sudah demikian, maka perselisihan akan semakin menajam dan ketegangan menjadi tidak dapat dihindari. Kita perlu memahami bahwa masing-masing kita memiliki latar belakang yang menyebabkan terbentuknya karakter. Namun, karakter ini maskih dapat berubah seiring waktu berjalan dengan semakin meningkatnya pemahaman kita dalam beragama dan pengalaman yang kita alami. Kita tentu sudah belajar tentang toleransi dan saling menghargai maka Alquran yang berisi firman Allah seoptimal mungkin harus kita jalankan.
  3. Problematika ekonomi terkadang juga dapat menjadi kendala. Kita tidak dapat pungkiri bahwa ekonomi adalah salah satu penopang utama dalam (ke)hidup(an) bersama pasangan. Namun, hal ini bisa dibicarakan sembari mencari solusi secara bersama. Kita harus memiliki keyakinan kuat bahwasanya Allah tak akan membiarkan hamba-Nya jika masih mau berusaha dan berubah. Sesungguhnya Allah tidak akanmengubah keadaan suatu kaum sebelummereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS. Ar-Ra’d: ayat 11). Memiliki pekerjaan tetap adalah faktor penting sekali, tapi yang lebih utama adalah tetap bekerja maksimal apa pu selama halal dan thoyyib karena dengan bekerja penuh semangat ada penghasilan yang didapat. Tapi jangan sampai pekerjaan atau bisnis dan usaha kita, menelantarkan hak-hak suami, hak-hak istri, atau hak-hak anak. Misal, sebelum kita mengurusi bisnis kita atau pekerjaan kita, sebelumnya kita harus inventariasi dulu, apa saja hak-hak pasangan dan anak-anak kita yang harus dipenuhi. Dahulukan itu, jadikan sebagai ibadah. Inysa Allah usaha dan bisnis serta pekerjaan lancar, hidup pun berkah fiddien, waddunya hattal aakhirooh. Amiin.
  4. Munculnya rasa bosan pada pasangan “halal” kita. Pernikahan itu merupakan ibadah yang paling lama. Maka kita harus menjadi pasangan hidup yang siap untuk selalu belajar terus-menerus. Mau mendengarkan nasehat dan menyayangi pasangan. Berpuluh-puluh tahun sekiranya usia kita panjang, Amiin. Tiap hari kita akan bertemu orang yang sama dengan gaya yang mungkin sama pula. Maka harus ada variasi dalam sikap dan juga cara bicara bahkan butuh romantisme ketika sedang berdua dengan pasangan. Jangan sampai misal, Istri kehilangan sikap romantis pada Suami, dan sebaliknya pula.
  5. Adanya perbedaan kepentingan. Ada beberapa target atau cita-cita dalam membangun (ke)hidup(an), masing-masing tentu tak sama. Ada masalah pekerjaan, langkah meraih sukses, bahkan pendapatan yang dimiliki untuk apa, harus dibicarakan secara baik, jujur pada pasangan sehingga setiap kepentingan saling mem-back up bahkan membantu solusi untuk meraih yang terbaik. Tapi cita-cita dan keinginan perlu untuk memperhitungkan realitas dan juga kedirian pasangan yang ada disisinya. Jangan sampai karena terlalu concern dan terlalu keras mengejar cita-cita, malah jadi mengorbankan pasangan yang ada disisinya. Atau karena keinginan keras dan kaku kita saja, tapi sang pasangan tak didengarkan pendapat serta sudut pandangnya terkait keadaan yang bisa saja buruk kedepannya atau manfaat dan mafsadatnya jika itu terus dikejar dan bisa saja malah jadi kontraproduktif untuk keluarga.

Tak mudah menjalani kehidupan keluarga setelah kita benar-benar mengalami berposisi sebagai subyek dari keluarga itu sendiri. Ada saja hal yang kadang menjadi sandungan dalam hidup dan ternyata kita pun memerlukan keterampilan dalam menyelesaikan setiap fase dan langkah yang dilalui.

Berikut ini, terdapat beberapa persiapan penting sebelum atau saat kita berkeluarga.

  1. Menjadikan Allah, Tuhan kita, sebagai tempat berserah diri dan sebagai sandaran hidup utama atas segala permasalahan. Berumah tangga tak melulu perihal sesuatu yang indah-indah dan romantis belaka. Mesti akan bertemu sesuatu yang tak terduga. Seperti rasa kecewa terhadap pasangan, misal dalam urusan ekonomi, urusan seksualitas atau perselisihan lainnya kala masalah datang tak kunjung terselesaikan. Ketika kita menyadari hal itu bagian dari takdir dan jalan hidup maka sebagai orang beriman segera menyandarkan segala urusan pada Allah. Sambil melakukan ikhtiar (dibaluti dengan doa) dan tawakal setelahnya. Sambil mendukung setiap langkah penyelesaian yang dilakukan oleh pasangan kita. Bukan malah, kemudian sampai berucap pada pasangan “halal” kita: “Mas atau Dik “aku gak bahagia” sama kamu. Hati-hati berucap dan mengucapkan suatu hal. Mengapa demikian, karena Allah pasti tak akan pernah menjadikan suatu peristiwa dengan sia-sia. Dalam keadaan itulah manusia yang memiliki ketangguhan dan keteguhan hati akan menjadikan setiap masalah yang ada menjadi sarana atau alat untuk menempa diri guna menjadi lebih baik dan berkeyakinan hal tersebut akan semakin meningkatkan derajat taqwa. Ingat ketaqwaan adalah diatas segalanya. Dan selalu ada jalan untuk menyelesaikan masalah. Allah selalu menyertakan jalan keluar dibalik setiap masalah yang kita hadapi. Setelah badai berlalu, mesti akan disertai munculnya pelangi.

 

  1. Memiliki Visi Ukhrowi atau mengedepankan dimensi akhirat, sambil tak melupakan duniawi. Ingmal liidunyaka kaannaka tai’isuu abadaa, wangmal li aakhirotika kaannaka tamuutu ghoda (Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari. Bahwa dalam keluarga yang dibangun ada target jangka panjang yakni bersama hingga surga. Tak mudah menjaga keluarga dari banyak godaan yang seolah akan menjerumuskan mereka menuju neraka. Maka bersama-sama harus saling mengingatkan tentang kesholehan dan ketaqwaan. Dengan menikah, ibadah dan amaliyah kita harus semakin berkualitas. Begitulah bila keberkahan sebuah pernikahan didapatkan. Tugas terberat suami adalah menjaga istri dan anaknya dari api neraka. Yaa Ayyuhal Ladziina Aamanuu Quu Anfusakum wa Ahliikum Naaraa.
  2. Menjaga intensitas komunikasi dengan pasangan dan romantisme dalam keseharian. Maka memulai dari komunikasi yang baik dan menjalin romantisme selalu menjadi keniscayaan sehingga keharmonisan pun tercipta.
  3. Memiliki sikap sabar dan syukur karena itu adalah sebenar-benarnya makna iman. Rumah tangga itu selayaknya jalanan umum yang terkadang ramai oleh pengendara motor atau mobil, sehingga kita pun harus mengontrol jalur dan lintasan, memahami mesti akan badai menerjang tiba-tiba agar tak terjadi kecelakaan yang fatal namun adakalanya sepi sehingga perjalanan nyaman adanya. Menyikapi setiap keadaan yang tak selalu sama harus dengan sabar dan syukur. Bila berjumpa kebahagiaan, kita seharusnya lebih banyak bersyukur dan bila ada ujian atau beratnya kehidupan, butuh banyak menyediakan tempat untuk kesabaran dalam menjalaninya hingga menemukan hikmah setelahnya.
  4. Pemenuhan atas hak dan kewajiban antarpasangan. Menjalani kehidupan keluarga bukan bagaimana sekadar terpenuhi hak tetapi juga melakukan kewajiban dengan sebaiknya. Mungkin akan kita dapati pasangan pernikahan yang akan mengeluhkan sikap pasangan yang tak bisa membahagiakan dirinya tetapi bagaimana sebaiknya kita berusaha lebih dahulu untuk memberikan kebahagiaan tersebut kepada pasangan. Bila semua berjalan dengan semestinya maka keutuhan keluarga akan terwujud hingga pada akhirnya akan berkumpul di surgaNya kelas. Mencintai dahulu adalah selalu menjadi satu kebaikan utama, baru meminta dicintai.

Doa agar pasangan terjaga dan dapat bertemu serta berkumpul kembali di Surga. Rasulullah Muhammad SAW memberikan seperti ini:

اللَّهُمَّ أَلَّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا ، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلامِ ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ، وَمَا بَطَنَ

“Ya Allah, satukan hati kami, perbaiki hubungan kami, tunjukkan kami jalan keselamatan, selamatkan kami dari kegelapan kepada cahaya, jauhkan kami dari perbuatan tak baik, yang tampak maupun tersembunyi.” (Hadits Riwayat dari Imam Hakim dan Thabrani). Menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera atau sering kita kenal dengan konsep sakinah mawaddah wa rahmah sangat perlu diperjuangkan dan memang sudah pasti merupakan perjuangan yang sangat berat sekali, terlebih saat ini godaan zaman semakin banyak di hadapan dan siap menggerus kita. Semoga kita dapat mewujudkannya. Amiin.

Posted in Tidak Dikategorikan.