SELAYANG PANDANG UTILITARIANISME
Oleh: Alif Lukmanul Hakim
1. Sekadar Pengantar
Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas yang saat itu mulai diterpa badai keraguan yang besar, tetapi pada saat yang sama masih tetap sangat terpaku pada aturan-aturan ketat moralitas yang tidak mencerminkan perubahan-perubahan radikal di zamannya. Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility). Sebagaiman ungkapannya yang terkenal ”the greatest happiness of the greatest number”, atau utilitarianisme disamakannya dengan hedonisme.[1]
Menurut kamus Indonesia Wikipedia, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga, 2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan. Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.
Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.
Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut dengan utility calculus, hedonistic calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan kenikmatan daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang, produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti oleh perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).[2]
Munculnya James Mill dan John Stuart Mill dengan filsafat Utilitarianisme modern, telah merubah dunia modern menjadi dunia yang penuh gairah. Selain itu ia ingin meluruskan pemikiran Bentham (pamannya) bahwa, pertama, nikmat jangan dibatasi pada nikmat jasmani saja, nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Kedua, ia memperjelas bahwa utilitarianisme tidak ada kaitannya dengan egoisme. Kriteria moralitas utilitarianisme, prinsip kebahagiaan terbesar tadi justru mencakup semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Berbeda dengan hedonisme Epikurus, utilitarianisme tidak mencitakan kebahagiaan bagi diri sendiri saja, melainkan kebahagiaan semua.[3] Seluruh gagasan ini diterima dengan pujian dan penyembahan, karena inilah yang selalu didambakan oleh setiap manusia. Ide Utilitarian adalah usaha untuk mengejar kebahagiaan yang puncak. Yang dimaksud kebahagiaan puncak adalah segala hal yang bisa dikejar untuk kita bisa menikmati dunia ini. Itu sebabnya timbul perdebatan aspek moral dari filsafat ini. Pertama, bagaimana konsep utilitarian ini dilukiskan dan diaplikasikan dengan tepat, dan kedua, apakah implikasi moral dari utilitarianisme ini bisa diterima atau harus ditolak. Utilitarianisme di dalam tangan John Stuart Mill dibungkus dengan satu slogan yang luar biasa indah yaitu “The greatest benefit for the greatest among the people.” Maksudnya carilah manfaat sebanyak-banyaknya untuk sebanyak-banyaknya orang. Melalui slogan ini dia pikir cocok dengan sifat demokrasi. Utilitarianisme dengan kalimat yang kelihatannya begitu indah diterima secara begitu merebak, begitu disukai termasuk banyak orang kristen dewasa ini tergila-gila dengan pikiran tersebut.
2. Konsep Bahagia Utilitarianisme
a) Menganut sifat hedonisme, di mana kesenangan dan tidak adanya kepedihan adalah utility dan nilai intrinsik yang perlu dikejar. Nilai intrinsik ini bernilai untuk kepentingannya sendiri dan tidak ada hubungan atau konsekwensi terhadap yang lain.
b) Tetapi sebagian utilitarian menganggap pandangan pertama terlalu sempit. Mereka melihat bahwa utilitarianisme ideal adalah sesuatu atau pengalaman tertentu, seperti pengetahuan atau menjadi mandiri, secara intrinsik bernilai atau bersifat baik, entah orang menghargai atau tidak, ataupun lebih berbahagia atau tidak dengan itu.
c) Persoalannya adalah perbandingan nilai kebaikan itu sendiri. Pada utilitarian, nilai perbandingan itu dapat dinilai berdasarkan diri sendiri, yang membandingkan beberapa tindakan yang berbeda untuk mencari nilai tertinggi (intrapersonal utility comparison), atau nilai perbandingan itu juga diperbandingan dengan kepentingan dan kebaikan bagi orang-orang lain (interpersonal utility comparison).
d) Pada umumnya, para utilitarian menuduh para moralis telah menciptakan kesusahan bagi manusia karena tuntutan moral seringkali membuat orang tidak bisa hidup nikmat. Misalnya timbulnya rasa bersalah bila kita pergi nonton atau pesta makan, karena uang yang kita pakai bisa kita berikan kepada orang miskin yang tidak bisa makan. Maka bagi utilitarian, setiap orang harus menjadi agen bagi dirinya sendiri. Kalau ia gagal mencapai kebahagiaannya, maka tidak ada tuntutan moral dari orang lain untuk menolong dia.
Para utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut, contohnya berkaitan dengan pembenaran euthanasia (mercy killing):
(1). Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
(2). Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa dicapai melalui euthanasia.
(3). Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat dibenarkan secara moral.
Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan agama, Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak, sudut-pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar memegang pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen-eksperimen saintifik tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bisa merasakannya — terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi-lagi, buat mereka, melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral. Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut: Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar/baik atau salah/jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibatnyanya. Kedua, dalam menilai konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibat itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan-tindakan yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan kalkulasi untuk memilih tindakan.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Nah, Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam kehidupan. Istilah Hedonisme sendiri berasal dari kata Yunani yang bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari kesenangan-kesenangan yang akhirnya akan berujung pada penderitaan. Utilitarianisme tindakan berpendapat bahwa tiap tindakan yang spesifik dengan segala rinciannya, adalah yang seharusnya menjadi pengujian dalam utilitarian. Hal ini berarti terlepas dari apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan peraturan-peraturan yang ada. Atau dapat didefinisikan sebagai berikut: bertindaklah sedemikan rupa sehingga tindakanmu itu menghasilkan akibat-akibat baik yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya.[4]
3. Bahaya Utilitarianisme
a) Semua dilihat dari aspek kepentingan manusia, sehingga seperti telah diungkap diatas, terjadi konflik kepentingan dan timbul masalah moral yang sulit diselesaikan. Semangat hedonistis yang mewarnai citra utilitarianisme menjadikan sifat moral dikesampingkan ataupun diganti dengan nilai moral yang sangat relatif dan rendah sifatnya. Disini sifat dosa diumbar dan dipuaskan tanpa ada penghalang yang membatas lagi.
b) Di sini terjadi kesalahan fatal. Utilitarian telah memutlakkan yang relatif. Ketika manusia mengejar kebahagiaan pribadi dengan batasan dan perbandingan nilai yang relatif, tanpa standardisasi yang sejati, telah kehilangan basis kemutlakkan yang sesungguhnya. Akibatnya, diri dijadikan basis mutlak, dan itu berarti akan menolak Tuhan sebagai penentu dan standard bagi kemutlakkan yang sebenarnya.
c) Hidup hanya mengejar kekinian yang akan meniadakan aspek kekekalan. Karena utilitarian hanya bisa melihat nilai-nilai yang ada di dunia ini, maka seluruh pengharapan akan kekekalan dan sifat-sifat ilahi diabaikan.
Selain itu ada beberapa bahaya lain dari utilitarianisme yakni, pertama, utilitarianisme memberi peluang besar terjadinya kekacauan, penipuan argumentasi pemikiran yang sangat mengerikan. Mengapa? karena ditengah-tengah dunia modern ketika orang mengatakan manfaat terbesar bagi semakin banyak manusia, ini merupakan kalimat yang sangat fiktif. Ini baru bisa terjadi orang tersebut tidak berdosa. Padahal utilitarianisme dikembangkan oleh orang berdosa dan dijalankan ditengah dunia berdosa. Jadi dengan kondisi seperti ini slogan tersebut menjadi slogan yang fiktif. Misalnya, orang yang mengatakan kedaulatan ditangan rakyat padahal rakyat hanya naik sepeda dia sendiri naik mercedez. Kedua, utilitarianisme, akhirnya menyebabkan semua minoritas menjadi tertindas. Mengapa? karena jika kita bukan orang yang terbanyak maka kita mati. Apabila matipun itu tidak salah, karena ini demi orang banyak. Jadi minoritas mati tidak apa-apa. Disini prinsip “Survival of the fittest” atau yang kuat yang menang dari utilitarianisme dinyatakan. Ketiga, dibelakang asas manfaat dari utilitarianisme ini adanya satu format ekonomi yang sangat mengerikan sekali yaitu mereka mengatakan mari kita mencari manfaat yang sebesar-besarnya dengan asumsi untuk mendapat manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau tidak kita akan rugi. Jadi prinsipnya kalau saya tidak untung ya saya rugi. Oleh karena itu saya harus mengejar keuntungan dengan cara apapun, pokoknya untung. Prinsipnya hanya dua, kenikmatan atau penderitaan.
4. Homo Humini Lupus
Istilah “homo homini lupus” berarti: manusia adalah pemakan sesamanya. Ada anekdot yang mengatakan bahwa orang miskin akan bertanya “hari ini kita makan apa?”, sedangkan orang menengah bertanya “hari ini kita makan dimana?, dan orang kaya bertanya “hari ini kita makan siapa?” Anekdot di atas mau menggambarkan bahwa orang menjadi kaya karena telah memakan atau mengorbankan sesamanya.
Hal ini merupakan realita kehidupan di dunia. Jika kita tidak berhasil menggunakan kesempatan di dunia, pastilah kita akan “dimakan” oleh orang lain. Maka di dalam dunia hanya ada satu hukum utama, yaitu memakan atau dimakan. Maka dalam hal ini, pilihan haruslah diletakkan pada yang pertama. Dimakan berarti mengalami pain, dan itu tidak sesuai dengan asas hidup, maka kita lebih baik memakan demi untuk mencapai pleasure. Konsep di atas secara logis membenarkan jika seseorang memakan sesamanya demi untuk mencapai apa yang dianggapnya sebagai pleasure.[5]
Tentu munculnya anekdot seperti itu bukanlah tanpa alasan. Hal itu terjadi karena di dalam dunia berdosa ini begitu banyak orang yang menjadi kaya akibat “memakan” sesamanya. Tentu tidak semua demikian. Namun, rupanya pola mengorbankan sesamanya untuk mencari keuntungan dan kekayaan bagi diri sudah merupakan suatu “ciri” dalam kehidupan manusia. Mengapa demikian?
5. Sifat Manusia Humanistis
Sifat manusia yang memuncakkan diri dan menganggap diri sebagai makhluk yang tertinggi dan termulia, telah menjadikan manusia menyingkirkan posisi Tuhan sebagai posisi mutlak. Hal ini dianggap sebagai kemenangan Humanisme. Tetapi sebenarnya, justru disinilah kekalahan dan kehancuran manusia. Ketika manusia memutlakkan diri, manusia lupa bahwa “manusia” itu bukanlah tunggal, bukan multi-tunggal tetapi murni plural. Manusia mutlak adalah makhluk relatif. Akibatnya, terjadi pemutlakkan relativisme. Situasi ini menjadikan semangat Humanisme memukul manusia balik. Manusia yang sebenarnya harus memikirkan sesamanya dan tidak boleh memutlakkan diri, kini menjadikan dirinya sebagai “Tuhan” untuk mengganti posisi Tuhan yang sesungguhnya, yang telah disingkirkannya. Maka, ketika ia memutlakkan diri, orang atau manusia lain akan menjadi obyek yang harus memenuhi kemutlakkan dirinya. Disini terjadi semangat manipulatif. Manusia mulai dengan menganggap dirinya sebagai kebenaran yang mutlak sehingga orang lain yang berbeda pandangan dengan dia selalu tidak disukainya dan begitu sulit bagi dia untuk menerima pandangan yang kontras dengan dia. Ketika situasi seperti itu terjadi, tidak ada basis penentu kebenaran yang menjadi tolok ukur baginya untuk menguji siapa yang benar. Maka kemungkinan terbesar adalah orang lain dianggap salah olehnya.
Lebih jauh lagi, ketika ia sudah mulai memikirkan dirinya, maka ia mulai melangkah kepada kebutuhannya. Ketika kebutuhannya berkonflik dengan kebutuhan orang lain, maka ia merasa bahwa kebutuhan dirinyalah yang harus dipenuhi terlebih dahulu, barulah orang lain. Kalau perlu, biarlah orang lain dirugikan asalkan diri menjadi untung. Disini semangat utilitarian mulai mengusik dan masuk dalam pikiran orang. Maka orang tidak rela jika ia harus berkorban dan dirugikan demi kepentingan orang lain, kecuali jika ia memiliki kepentingan lain yang lebih besar atau menghindari kerugian yang lebih besar lagi.
6. Argumentasi Utilitarian
a) Manusia harus pandai-pandai memanfaatkan situasi
Seorang utilitarian tidak pernah mengerti adanya rencana Tuhan atau ketaatan kepada kehendak Tuhan. Yang dipikirkan adalah manusia perlu pandai-pandai memanfaatkan situasi, karena hidup matinya manusia tergantung kepada manusia itu sendiri. Maka, cara terbaik bagi manusia adalah hidup memanfaatkan situasi yang ada. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan. Sejauh kebahagiaan itu bisa dicapai, maka manusia harus mengejarnya, karena itulah sasaran akhir hidup manusia. Seperti Bentham tegaskan, bahwa tidak perlu terlalu dirisaukan dengan berbagai pertimbangan yang akhirnya hanya menyusahkan kita (pain), seperti berbagai pertimbangan moral, karena moral adalah kesenangan (pleasure). Maka manusia harus mengejar kesenangan ini.
b) Korban adalah akibat kesalahan sendiri
Dalam kaitan dengan kesenangan yang manusia kejar, terkadang terjadi konflik sehingga ada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, maka yang salah adalah pihak yang dirugikan. Jika ia rugi, berarti ia gagal mencari kesempatan atau menggunakan kesempatan secara tepat, sehingga ia telah menjadi korban dari kelemahannya. Akibatnya ia mengalami kepedihan (pain). Jadi untuk seseorang bisa mencapai kesenangan, tidak ada salahnya jika orang lain sampai dirugikan, karena itu tidak ada kaitannya dengan obligasi moral sama sekali.
7. Kritik Terhadap Utilitarianisme
a) Benarkah bahagia identik dengan pleasure?
Kesalahan utilitarian adalah mengidentikkan bahagia dengan pleasure. Kebahagiaan adalah suatu kondisi akibat dari menjalankan kehendak Tuhan dan mendapatkan “credit point” dari Tuhan sebagai upahnya. Pleasure adalah kenikmatan yang dikaitkan dengan kedagingan, entah secara pribadi, kelompok atau masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, sering terjadi konflik antara pleasure dengan kehendak Tuhan, maka tidak mungkin pleasure bisa identik dengan kebahagiaan. Di dalam faktanya, justru pleasure seringkali hanya merupakan kenikmatan sesaat yang membawa seseorang pada ketidakbahagiaan.
b) Benarkah ketika kita memakan orang lain itu pleasure?
Problem kedua dari utilitarianisme adalah mengabaikan aspek moral manusia. Manusia adalah makhluk yang dicipta dengan sifat moral. Bentham dan Mills lupa bahwa mereka bukanlah kuda atau anjing. Jika binatang memang tidak memiliki obligasi moral, tidak memiliki akal budi dan pertimbangan moral, maka manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa Tuhan, memiliki akal budi dan pertimbangan moral. Itu alasan, sifat moral ini tidak bisa ditiadakan begitu saja. Hanya manusia yang sudah kebinatangan yang tidak lagi memiliki pertimbangan moral. Sifat moral inilah yang menjadikan manusia bisa memiliki tuntutan keadilan dan hukum. Apabila tidak ada moral, tidak perlu ada hukum dan pengadilan.
Aspek moral manusia menjadikan manusia tidak pernah bisa tenang apabila ia telah merugikan dan menghancurkan orang lain. Tuduhan moral akan tiba padanya dan hal itu akan membuat manusia kehilangan kebahagiaannya. Mungkin ia bisa menikmati sukacita di atas kesusahan dan pengorbanan orang lain, tetapi hal itu akan mendatangkan tuntutan keadilan kepadanya, paling tidak nanti di dalam kekekalan. Hal itu yang menyebabkan orang berdosa akan begitu takut mati, karena ia sadar tidak bisa lepas dari tuntutan keadilan yang harus dipertanggungjawabkan.
c) Tidak sadarnya realita dosa
Seperti telah diungkapkan sepintas, maka kelemahan utama utilitarianisme adalah penyangkalan akan adanya dosa atau penyimpangan tindakan. Utilitarian justru menganggap dosa sebagai kewajaran, karena dosa telah menjadi “mayoritas” dalam kehidupan masyarakat. Disini utilitarian yang ingin mencapai kebahagiaan justru gagal mengerti kaitan antara kebahagiaan dan kebenaran, serta perlawanan terhadap dosa dan kedagingan. Maka, sebenarnya yang dibutuhkan oleh dunia ini adalah pertobatan. Memang dunia sudah jatuh ke dalam dosa, dan sifat makan-memakan antar manusia berdosa telah menjadi ciri dunia yang berdosa. Itu alasan di dunia ini perlu ada polisi, pengadilan, dan penjara. Jika memang dunia ini baik, seperti asumsi utilitarianisme, maka tentulah polisi dan pengadilan tidak akan banyak pekerjaan. Sikap dan prinsip utilitarianisme justru akan menjadikan dunia ini semakin penuh dengan dosa, kepedihan dan kesengsaraan.
d) Para penggugat Utilitarianisme mengajukan sejumlah keberatan.
Antara lain, pertama Asas Kegunaan itu sering bertentangan dengan aturan-aturan moral yang sudah mapan, seperti Jangan Berbohong, Jangan Mencuri, Jangan Membunuh. Kedua, Utilitarianisme cenderung mengunggulkan Asas Kegunaan (the Principle of Utility) atas Asas Keadilan atau Hak-hak seseorang. Misalnya, bila ada dua pihak yag bertikai di depan hukum. Salah satunya lebih kuat dan berkuasa daripada yang lain, sehingga kekalahan pihak yang lebih berkuasa akan mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan yang lebih besar pada pihak lawan dan orang-orang di sekitarnya; kaum Utilitarian akan memenangkan pihak yang lebih kuat demi mencapai sesedikit mungkin penderitaan, sekalipun untuk itu asas keadilan atau hak seseorang harus dikorbankan.
Gugatan lain: karena Utilitarianisme secara eksklusif mengambil pertimbangan tentang konsekuensi yang akan terjadi, maka pandangannya selalu melupkan masa lalu. Misalnya, bila seseorang berjanji kepada adiknya untuk melakukan sesuatu, lalu mendadak dia harus mengerjakan sesuatu lain yang juga sama-sama penting dengan janji tersebut, tetapi pekerjaan itu lebih menyenangkan baginya, maka kaum utilitarian akan memilih untuk melanggar janji itu. Dengan demikian, kaum utilitarian mengabaikan apa yang disebut dengan kawajiban-kewajiban moral.
Untuk menjawab gugatan-gugatan tersebut, kaum Utilitarian membedakan Utilitarianisme-Tindakan (Act-Utilitarianism) dengan Utilitarianisme-Kaidah (Rule-Utilitarianism). Utilitarianisme-Kaidah berpijak pada pandangan bahwa ‘Semua aturan perilaku umum yang cenderung memajukan kebahagiaan terbesar bagi orang terbanyak’ harus dikukuhkan. Jadi, dalam kasus aturan Jangan Berbohong, Utilitarianisme-Kaidah menyatakan bahwa tindakan yang berdasarkan aturan moral ini lebih sering menghasilkan konsekuensi kebahagiaan ketimbang Berbohonglah. Dengan demikian, aturan Jangan Berbohong sesuai dengan Utilitarianisme-Kaidah.
Namun, para penggugat kembali menyatakan bahwa gagasan Utilitarianisme-Kaidah terbalik dalam menilai banyak hal. Misalnya, persahabatan adalah sesuatu yang baik dan benar, sekalipun seringkali ia tidak menyenangkan atau membuat kita menderita. Kita memiliki sahabat dan menghargai persahabatan karena memang itulah tindakan yang baik dan benar, sekalipun kita tidak tahu konsekuensi atau akibat dari persahabatan kita. Jadi, terbalik dengan gagasan Utilitarianisme yang mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan, dalam situasi ini kita pertama-tama melihat bahwa persahabatan itu baik dan kita bahagia karena mengerjakan hal yang baik, dan bukan kita mencari sahabat karena dengan persahabatan itu kita dapat mencapai kebahagiaan.
Selain itu, pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh kaum Utilitarian adalah: Apakah hakikat kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu hasil dari suatu tindakan, atau dirasakan saat tindakan berlangsung? Apakah kebahagiaan yang dituju di sini bersifat permanen ataukah sementara, seringkali kebahagiaan yang bersifat sementara berlawanan dengan kebahagiaan yang bersifat permanen? Bukankah moralitas Utilitarian itu berpijak pada sesuatu yang akan terjadi atau sesuatu yang belum tentu terjadi untuk memutuskan tindakan yang seharusnya segera terjadi?
DAFTAR PUSTAKA
De Vos., DR., H, 1987, Pengantar Etika, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Bentham, Jeremy, 1789, An Introdction to the Principles of Morals and Legislation.
Bertens, K., 1990. Filsafat Barat Abad XX. Gramedia. Jakarta.
De Vos., DR., H, 1987, Pengantar Etika, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2001.
Mill, John Stuart, On liberty (etika politik) pembelaan kebebasan individu terhadap segala usaha.
Mill, John Stuart, Principles of political economy.
Mill, John Stuart, Considerations on Representative Government.
Mill, John Stuart, Subjection of Women.
Sudarminta, J, SJ, 1997. Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Franz Magnis, 1999, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Franz Magnis, 1995, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta.
Titus, Nolan dan Smith, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj. H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Zubair, Achmad Charris, 1990, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta.
[1] Franz Magnis – Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 173.
[2] Charris Zubair, 1990, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Press. Hlm: 45.
[3] Ibid., Magnis Suseno, 173.
[4] Sudarminta, J, SJ, 1997. Etika Umum, Yogyakarta: Kanisius.
[5] Titus, dkk, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, hlm: 98.