KEPEMIMPINAN BERBASIS PANCASILA: Sarana untuk Mencapai Kemajuan dan Kesejahteraan

oleh: Alif Lukmanul Hakim

Pemimpin dan (Ke)pemimpin(an)

Fenomena dan kondisi (ke)pemimpin(an) nasional kita dewasa ini, harusnya makin menyadarkan kita bahwa saat ini telah terjadi sebuah proses degradasi kualitas dan (ke)(ber)pihak(an) pemimpin pada rakyat dan konstitusi yang semakin menuju titik nadir. Konteks kekinian menunjukkan secara nyata dan objektif telah terjadinya hal tersebut. (Ke)pemimpin(an) nasional kita saat ini dapat dikatakan sangat lemah dan tidak amanah. Korupsi telah membudaya, pelanggaran hukum dan HAM dimana-mana, masalah dan bahaya disintegrasi menggejala, kebijakan ekonomi tak berpihak pada rakyat, dan beragam problematika lain yang mengemuka. Semuanya terjadi, salah satunya diakibatkan karena krisis (ke)pemimpin(an) dan tak adanya teladan dari pemimpin yang tak menjiwai dan tidak berbasis pada Pancasila.

Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang berbeda. Berbicara tentang Pemimpin, kita akan berbicara tentang individu atau orangnya sedangkan kepemimpinan adalah bagaimana gaya atau cara dan seperti apa kepemimpinannya. Siapapun pemimpinnya dapat sama hebatnya jika punya karakter dan jiwa kepemimpinan yang kuat, tersistematis, visioner dan berpihak pada rakyat serta punya ciri khas tersendiri. Namun kepemimpinan yang tidak kuat akan membuat pemimpin sekuat apapun tidak akan mampu memimpin dengan bagus, visioner, dan tentunya amanah karena tiadanya gaya kepemimpinan yang membuatnya cukup kuat bertahan sebagai pemimpin

Amerika, Inggris, Perancis, dan China adalah beberapa contoh negara yang kepemimpinannya sangat kuat. Sistem sudah terbangun dan siapapun presidennya tidak membuat gonjang-ganjing pemerintahan. Birokrasi dan administrasi yang profesional dan terstruktur baik membuat pola pemerintahan stabil walaupun perpolitikan sangat dinamis. Sangat berbeda dengan Indonesia, dimana saat terjadi pergantian pemimpin, berganti pula kepemimpinan dan berpengaruh besar terhadap semua sektor yang bisa menjadi tidak stabil.

Dalam konteks ini, dapatkah Indonesia belajar untuk mulai menentukan kepemimpinan berbasis suatu dasar atau ideologi yang kuat yakni berdasar ideology kita sendiri, Pancasila? Sehingga siapapun pemimpinnya, jika terpilih maka merekalah yang akan berjuang untuk mewujudkan amanah keindonesiaan, berideologi Pancasila yang tidak sekadar wacana atau bumbu lidah belaka, dan mengabdi benar-benar untuk kemakmuran dan keadilan rakyat Indonesia sesuai amanat tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

5 Prinsip Utama Bernegara dan Berbangsa (Pancasila)

Kepemimpinan berbasis Pancasila tidak akan dapat (di)(ter)lepas(kan) dari bangunan konseptual kelima sila yang ada di dalamnya. Bagaimana sila ketuhanan ditempatkan yang pertama dan utama alias sebagai dasar moralitas. Sebagai sila yang bersifat causa prima (sumber dari dari sila-sila yang lain) maka mau tidak mau pemimpin yang dimaksud disini adalah pemimpin yang ber-Tuhan, bermoral dan benar-benar menjalankan eksistensinya di dunia untuk mensejahterakan alam beserta manusia yang ada di dalamnya. Pemimpin yang menjadi khalifah (penggati peran Tuhan) untuk rahmatan lil alamin (memakmurkan bumi) dalam dimensi Islam dan juga menurut agama lain di dunia ini.

Dalam pembahasan kepemimpinan modern, terkenal istilah dengan sebutan spiritual leadership, authentic and practical leadership, morality leadership, ataupun prophetic leadership. Inti dari semua itu, bahwa kepemimpinan adalah amanah dan pemberian dari Tuhan dan juga harus dipertanggungjawabkan kepadaNya dengan bukti dan hasilnya, yaitu kesejahteraan manusia dan alamnya. Dari sini, Kepemimpinan berbasis Pancasila sudah menutup pintu bagi pemimpin yang tidak bertuhan, yang atheis, maupun agnostic dan tentunya yang tidak berpihak pada rakyat.

Sila kedua adalah sila kemanusian yang adil dan beradab, sebagai salah satu alat/cara untuk mencapai tujuan bernegara dan berbangsa. Sifat humanisme universal yang diperjuangkan seluruh bangsa-bangsa melalui HAM (Hak Asasi Manusia) juga menjadi focus dari Kepemimpinan berbasis. Tujuannya sangat jelas bagaimana membuat umat manusia ini bisa diatur dalam keadilan sehingga tercipta kemanusiaan yang beradab. Yang layak dan pantas untuk manusia hidup. Yang mau tidak mau, pemimpin ini harus menempatkan kepentingan pribadi, golongan dan yang ecek-ecek lainnya berada di bawah nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dalam konteks pemahaman kepemimpinan kontemporer, hal ini kita kenal secara lebih komprehensif dengan nama pemimpin atau kepemimpinan yang transformatif. Yang mampu merubah, menggerakkan, dan juga mewarnai sesuatu dari hanya sekadar visi menjadi kenyataan. Sosok-sosok pemimpin yang transformatif akan mudah dikenali jika pemimpin ini mengamalkan sila pertama, yang sering kali nanti akan dianggap pengikutnya sebagai pemimpin yang kharismatik atau charismatic leader (walaupun di zaman sekarang sangat susah membuat cap pemimpin yang kharismatik karena teknologi komunikasi yang berkembang pesat).

Sila ketiga adalah sila persatuan, yang juga sebagai alat/cara untuk mencapai tujuan bernegara dan berbangsa. Dalam pembahasan kepemimpinan antara goal oriented dan process oriented, maka Kepemimpinan berbasis Pancasila menekankan pada semangat persatuan yang artinya semangat untuk terus berproses. Akan percuma juga jika goal tercapai tapi akhirnya tercerai-berai atau disintegratif (baca : bubar) karena rusaknya persatuan. Dalam konteks kepemimpinan saat ini, hal ini kita pahami sebagai pemimpin sebagai solidarity maker. Yang mampu menempatkan diri sebagai pemersatu, yang bisa menjejakkan kaki dimana-mana namun tetap satu kendali, yang bisa menjadi simbol kebersamaan dan persatuan.

Sila keempat, adalah tentang kerakyatan atau demokrasi a la Indonesia, yang menjadi tujuan mengapa kita bernegara dan berbangsa. (Ke)pemimpin(an) berdasarkan nilai dasar sila ini adalah yang mampu membangun sistem yang demokratis dalam bernegara dan berbangsa, baik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya sehingga tercapai tujuan nasional secara demokratis dan bermartabat.

Sila kelima adalah tentang keadilan social yang menjadi tujuan akhir kita bernegara. Intinya, yang dibangun Kepemimpinan berbasis Pacasila bukan hanya melulu tentang keadilan hukum, bukan hanya keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan dalam pendidikan, namun yang mempunyai tantangan tinggi yakni keadilan sosial. Adil namun berdimensi sosial. Adil namun berpihak kepada mereka yang termarginal atau terpinggirkan.
Dalam konteks kepemimpinan modern, acapkali yang ingin kita temui bagaimana pemimpin yang pro rakyat, pro pribumi, pro poor atau orang miskin, pro kesejahteraan, pro pengentasan kemiskinan, pro pendidikan murah dan berkualitas, pro kesehatan gratis. Bagaimana negara yang dipimpinnya seolah-olah seperti keluarga yang menjadi memberi jaminan keadilan sosial bagi anak-anaknya sehingga fakir miskin dan anak terlantar walaupun ada tetapi tidak ditelantarkan namun tetap dijaga dan dipelihara oleh Negara sesuai pasal 34 UUD 1945.

Kepemimpinan Berbasis Pancasila

Cukup susah ketika harus menyebut nama atau orang saat menjatuhkan pilihan siapa yang menjadi Pemimpin yang dapat dikatakan telah berjiwa Pancasila. Harusnya ke depan sudah berderet banyak nama yang bias kita nominasikan, sehingga siapapun mereka, kesemuanya akan berjuang demi tegaknya nilai-nilai Pancasila. Bukan malah mengaku-ngaku pemimpin yang Pancasilais namun hakikatnya dan rekam jekjaknya tidak dapat membuktikan bahwa dirinya sudah memperjuangkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Sebaiknya orang yang merasa dirinya layak menjadi pemimpin yang mau mencalonkan diri Pemimpin yang berbasis Pancasila. Kalau pun mereka merasa belum mampu, sudah selayaknya putra atau putri ibu pertiwi yang memiliki karakter dan kompetensi yang memiliki jiwa kepemimpinan pancasilais diberi kesempatan tampil ke depan dan menunjukkan bukti bahwa Pancasila itu masih ada dan siap selalu untuk berkontribusi bagi Indonesia.
Melihat kondisi bangsa Indonesia yang saat ini sangat dijejali dengan beragam masalah negatif, kita harus kembali pada fitrah perjuangan nasional, yaitu kembali menjadikan Nasionalisme berdasarkan Pancasila sebagai motor perjuangan. Harus kita usahakan agar perjuangan nasional kembali menunjukkan kekuatan dan membuat bangsa Indonesia berprestasi tinggi. Hal ini bertambah penting karena ternyata antara sekarang sampai tahun 2035 Indonesia mengalami demographic dividend atau “bonus kependudukan”. Ini terjadi karena dalam masa ini jumlah penduduk dalam umur produktif jauh melebihi yang ada dalam umur kurang produktif. Hal ini, apabila dimanfaatkan dengan tepat dapat menghasilkan kesejahteraan tinggi bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, apabila tidak ada usaha demikian justru menjadikan penduduk destruktif dalam jumlah besar. Gejala ini sekarang sudah mulai nampak dengan banyaknya kekerasan dalam berbagai aspek.

Sebagaimana kekuatan perjuangan nasional dalam melahirkan Negara Merdeka sangat ditentukan oleh Kepemimpinan yang bermutu berbasis Pancasila, maka sekarang juga perlu berkembang Kepemimpinan bermutu, visioner dan mengedepankan keindonesiaan untuk mewujudkan kekuatan dan keunggulan di masa akan datang. Kepemimpinan yang berjiwa Patriot dan Nasionalis Pancasila sejati, yang dengan penuh semangat pengabdian kepada Negara dan Bangsa dapat mengajak dan memotivasi bangsa untuk berjuang mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Namun untuk menghasilkan kekuatan perjuangan nasional sekarang di samping Kepemimpinan, diperlukan pula kemampuan Manajemen atau Pengelola yang secara cerdas dan berani menggarap seluruh potensi bangsa untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Kombinasi Kepemimpinan dan Manajemen menjadi kunci terwujudnya keunggulan dan kekuatan perjuangan nasional.

Kepemimpinan Nasional yang melakukan Manajemen Nasional dengan efektif mulai dengan mengubah sikap pemimpin atau elit bangsa yang sekarang meluas, yaitu sikap yang kurang peduli terhadap masa depan bangsa dan mengutamakan kepentingan pribadi. Digelorakan kembali Perjuangan Nasional dan Pancasila dengan pemberian Tauladan yang menimbulkan kembali percaya diri pada seluruh bangsa terhadap Masa Depan yang penuh Kemajuan dan Kesejahteraan. Yang penting ditunjukkan adalah sikap yang tidak hanya pandai dan banyak bicara tetapi juga disertai perbuatan nyata untuk menjadikan yang dibicarakan realitas nyata. Semangat kuat dalam menunjukkan perbuatan nyata menimbulkan elan perjuangan yang amat diperlukan bangsa Indonesia untuk menghadapi umat manusia yang sedang mengalami berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan.

Dengan kemampuan Manajemen yang bermutu dan berpihak pada rakyat, kita akan mampu mendesign berbagai prakarsa untuk menjadikan berbagai potensi nasional kekuatan nyata. Dimulai dengan Sumber Daya Manusia yang sedang menyajikan Bonus Kependudukan selama dua dekade mendatang. Adalah jelas sekali bahwa Pendidikan menjadi sarana yang amat penting, baik untuk memantapkan Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa maupun untuk mengembangkan berbagai pengetahuan dan kecakapan. Melalui Pendidikan pula diperkuat Karakter bangsa sehingga langkah demi langkah kita meninggalkan karakter dan sifat bangsa yang negatif. Sebab itu diperlukan Pendidikan yang bermutu, baik dalam bentuk Pendidikan di Lingkungan Keluarga, Pendidikan dilingkungan Sekolah maupun Pendidikan dalam Masyarakat. Dengan menyelenggarakan Pendidikan bermutu di semua aspek kehidupan akan terwujud SDM yang amat berharga dan memunculkan kepemimpinan berbasis pancasila yang berkelanjutan (sustainable) dalam usaha menciptakan Kemajuan dan Kesejahteraan bersama. Semoga.

Profil Lengkap

A. Data Pribadi

Nama Lengkap Alif Lukmanul Hakim, S. Fil, M. Phil
Tempat, Tanggal Lahir Yogyakarta, 3 Nopember 1982
Agama Islam
Jenis Kelamin Laki-Laki
Status Perkawinan Menikah
Nomor HP Pribadi 08157952385
Email/Facebook dalpeles_story@yahoo.com/alif.l.hakim.1
Twitter @alif_story
Kesehatan Baik
Motto Sesuatu itu mustahil atau tidaknya tergantung pada usaha dan tekad kita untuk meraihnya
Pekerjaan Dosen MKU dan Filsafat, UII Yogyakarta

     B. Pendidikan

2007 – 2009 Program Pascasarjana S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, dengan IPK 3,64 pada skala 4
2002 – 2007 Program Sarjana S1 Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,dengan IP Kumulatif 3.64 (Dengan Pujian/CUM LAUDE) pada skala 4
2001 – 2007 Program S1 Fakultas Ushuluddin UniversitasIslam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,dengan IP Kumulatif 3.43 pada skala 4
1998 – 2001 SMUN 1 Karawang

     

C.Seminar dan Pelatihan

2007 Peserta Sarasehan dan Seminar Nasional ’Peran Filsafat dan Local Wisdom dalam Pengembangan Daerah Guna Meningkatkan Semangat Kebangsaan,Fakultas Filsafat UGM, 29-30 Agustus 2007
2007 Peserta Seminar Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Indonesia, Balai Senat UGM, 9-10 Mei 2007
2006 Panitia sekaligus Peserta Konferensi HIDESI (Himpunan Dosen-dosenEtika Seluruh Indonesia) bertempat di Auditorium Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (3-4 Februari 2006)
2005 Seminar Nasional : Potret Sriwijaya 2005, IKPM Sumsel-Yogyakarta, Yogyakarta, 28 Desember 2005
2004 Mempunyai sertifikasi (Mengikuti berbagai Pelatihan Peningkatan SoftSkills) berbagai Program Pelatihan seperti Advance Thinking Skills, Special Management Skills, Metode Transfer Nilai-nilai dalam Proses Pembelajaran,dan lain-lain
2004 Co-Trainer Pelatihan Succes Skills (Living Skills, Learning Skills, danThinking Skills) Program PPKB DUE-like UGM
2004 Lokakarya Sosialisasi ”Program Kreativitas Mahasiswa” dan ”LombaKarya Tulis Mahasiswa” (LKTM), 15 Maret 2004 di UC UGM
2003 Seminar Nasional : Meluruskan Jalan Reformasi, Balai Senat UGM 25-27 September 2003
2003 Lokakarya Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, 1 Juni 2003 di KaliurangYogyakarta

    D. Aktivitas dan Kompetensi

2013 Narasumber Sarasehan Pemuda dan Pancasila, Kesbangpora Kota Yogyakarta, Youth center, Sleman, Januari 2013
2013 Moderator Seminar Nasional NUSA, LEM FPSB UII, April 2013
2012 Juri Lomba DEBAT  Sospol se-Yogyakarta, di FMIPA UNY November 2012
2012 Pemateri Forum Wawasan Kebangsaan Untuk Aparat Kecamatan se-Kota Yogyakarta
2011 Pemateri dalam Bedah Buku (Magelang dari masa ke masa), di Kabupaten Magelang, Mei  2011
2011 Pemateri ceramah dan dialog keagamaan di LDF Jafana FPSB UII dalam berbagai tema, seperti; Islam dan Keberagaman manusia, Bagimu Ibu Pertiwi (peringatan hari ibu), Fenomena Popularitas dan gaya hidup modern, NII dan bahayanya (semua dapat dilihat di www.uii.ac.id/website FPSB UII)
2009 Pemateri dalam seminar Pramuka, Pemuda, dan Keutuhan NKRI diselenggarakan oleh LSM Mandiri Umat dan Dirjen Kesbangpol-Depdagri, Juli 2009 di Wonosari.
2009 – 2012 Pemateri dalam seminar dan sosialisasi Bela Negara di Badan Kesbangpol Kabupaten Magelang
2009- sekarang Pemateri dalam Program Kemah Bakti Pemuda se Kotamadya Yogyakarta di Gedung Pemuda Kab. Sleman (Youth Center)
2007 – sekarang Pemateri dalam Forum Seminar dan Sosialisasi Bela Negara serta wawasan kebangsaan dan pemuda di Kantor Walikota Yogyakarta
2007 Pemateri dalam Diskusi ’Universitaria’ di RRI Pro 2 Yogyakarta, 25 Juli 2007
2007 Pemateri dalam Diskusi di Radio Geronimo Yogyakarta, 23 Agustus 2007
2006 Mahasiswa Berprestasi Utama Peringkat 1 Fakultas Filsafat UGM 2006
2006 Wakil UGM dalam seleksi Hitachi Young Leader Initiative (HYLI) tahun 2006 untuk dikirim ke Vietnam
2006 Peserta Dialog Publik ”Berantas” di TVRI Pusat, 4 Agustus 2007
2006 Peserta dan pemateri Dialog Kebangsaan II DIKTI-DEPDIKNAS Mahasiswa se- Indonesia di BKKBN Pusat Jakarta, 1-3 Agustus 2006
2006 Juru Bicara Peserta Dialog Kebangsaan II di LEMHANNAS, 2 Agustus 2006
2005 Wawancara dengan RRI Programa Nasional tentang hasil Pelayaran Kebangsaan Indonesia V, DIKTI 26 Agustus 2007.
2005 Juru Bicara Pelayaran Kebangsaan 2005 dengan rute Jakarta-Medan-Jakarta di Kantor Wapres RI, DPR-RI, LEMHANNAS RI, dan DIKTI pada tanggal 23-26 Agustus 2005 di Jakarta
2005 Duta UGM Yogyakarta sebagai peserta dalam Pelayaran Kebangsaan ke-V (pertemuan mahasiswa-mahasiswa se Indonesia dan Taruna AKMIL, AL,AU dan AKPOL) Tahun 2005 dengan rute Jakarta-Medan-Jakarta pada tanggal 12-22 Juli 2005
2005 Diundang oleh Marissa Haque (anggota Komisi VIII DPR RI) dan anggota-anggota F-PDIP DPR RI mewakili UGM Yogyakarta untuk menghadiri Rapat Komisi VIII tentang Kasus Ahmadiyah pada tanggal 31 Agustus 2005 di Gedung Nusantara III DPR RI
2003 Finalis Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) UGM Tahun 2003

    E. Kepanitiaan

2007 Panitia Sarasehan dan Seminar Nasional ’Peran Filsafat dan Local Wisdom dalam Pengembangan Daerah Guna Meningkatkan Semangat Kebangsaan, Fakultas Filsafat UGM, 29-30 Agustus 2007
2006 Panitia sekaligus Peserta Konferensi HIDESI (Himpunan Dosen-dosenEtika Seluruh Indonesia) bertempat di Auditorium Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (3-4 Februari 2006)
2006 Panitia (Koordinator Acara) sekaligus Peserta Seminar Nasional Mengenang Satu Abad Kelahiran Prof. Dr. Drs Notonagoro yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM :”Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila dalam Berbagai Aspek Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” (Balai Senat UGM, 1 Februari 2006)
2005 Panitia Training of Trainers (TOT) Pelatihan Succes Skills Program PPKB DUE-like UGM
2004 ”Inovasi Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Pancasila di UGM Yogyakarta”, [Penelitian(sebagai Pembantu Peneliti Dosen), Program INNO GRANT, Proyek PPKB DUE-like UGM, 2004]
2004 Panitia dan Co-Trainer Pelatihan Succes Skills (Living Skills, LearningSkills, dan Thinking Skills) Program PPKB DUE-like UGM

    F. Publikasi Ilmiah

Buku  “Membaca Ulang Pancasila” (kumpulan Tulisan bersama Prof. Muladi/Gubernur LEMHANAS) dkk, Penerbit Lima dan Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, 2007.
“Refleksi Budaya Atas Teknologi”. Artikel dalam Koran Pikiran Rakyat Bandung, 2008.
“Nasionalisme Kita Nasionalisme Multikultur”.   Artikel dalam Koran Pikiran Rakyat Bandung, 20 Nopember 2007
”Quo Vadis Gerakan Pramuka Indonesia”. Artikel dalam koran Pikiran RakyatBandung, 10 Agustus 2007.
”Gerakan Pramuka, Pemuda, dan Masa Depan Bangsa”. Artikel dalam KoranPikiran Rakyat Bandung, 23 Nopember 2007.
”Merenungkan Kembali Pancasila: Indonesia Bangsa Tanpa Ideologi ”. Artikeldalam Newsletter KOMMPAK, Edisi I Agustus 2007.
Skripsi tentang Reorientasi Pendidikan Politik dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi: Tinjauan Filsafat Pendidikan. Fakultas Filsafat UGM, Maret 2007.
Tesis tentang Dasar filosofis Pendidikan Politik dan Kewarganegaraan: Relevansinya Bagi Peningkatan Wawasan Kebangsaan, Maret 2009.
”Pendidikan yang Membebaskan”. Artikel dalam Opini Koran Merapi, 25 April2007.
”Sekaten : Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam”. Artikeldalam Opini Koran Merapi, 23 Februari 2007.
”Quo Vadis Gerakan Mahasiswa”. Artikel dalam Opini Radar Karawang, Nopember2006.
”Quo Vadis Dialog Antar Agama”. Artikel dalam Koran Radar karawang, Jumat,3 Nopember 2006.
”Mengembalikan Gerakan Mahasiswa pada Agenda Kerakyatan”. Artikel dalamKoran Radar karawang, Selasa, 7 Nopember 2006.
”Konflik Kepentingan Pasca Bencana”. Artikel dalam Opini Koran MerapiYogyakarta, 8 Juli 2006.
Reorientasi Pendidikan Kewarganegaraan. Tulisan dalam Jurnal Filsafat UGM, Nopember 2007.
”Pancasila dan Keberlanjutan NKRI : Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila”.Artikel dalam Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, 1 Februari 2006.Selintas Potret Pergerakan Mahasiswa di Indonesia [pembicara dalam DiskusiIkatan Pemuda dan Mahasiswa Daerah Keluarga Karawang Yogyakarta (IKPMDKKY), 2006]
”Buku Re(De)Konstruksi Ideologi, Mupaya Membaca Ulang Pancasila”, [sebagaiPenyunting Bahasa, terbitan Ningrat Press Yogyakarta, 2003]
”Civil Society di Indonesia” (Tim peneliti), [LKTM UGM,2004]
”Inovasi Pembelajaran Pancasila di UGM”, Asisten Peneliti Pusat Studi PancasilaUGM (PSP-UGM), tahun 2004.

    G. Pengalaman Kerja

Juli – September 2005 Mahasiswa Magang di Gedung Rektorat UGM pada Proyek DUE – like PPKB UGM Yogyakarta
2004 – 2006 Sekretaris Fakultas Filsafat UGM pada JaminanMutu (Quality Assurance) Perguruan Tinggibersama Tim Dosen
2004 – 2005 Staf Jurnal Filsafat ”Wisdom” Fakultas Filsafat UGM
Maret 2007 – Juli 2007 Asisten Dosen pada Mata Kuliah Filsafat Agama diFakultas Filsafat UGM Yogyakarta
April 2007 – Juli 2007 Asisten Dosen pada Mata Kuliah Filsafat Islam diFakultas Filsafat UGM Yogyakarta
2007-2011 Dosen Tamu MKU di AMPJ Yogyakarta
2009 – 2011 Dosen STIS Magelang (Filsafat Islam, Antropologi Sosial, Hermeneutika Al-Quran, dan Islam Budaya Jawa)
Februari 2008 – sekarang Dosen MKU di Program D3 Ekonomi UII Yogyakarta
Agustus 2008 – sekarang Dosen MKU dan Filsafat di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta
2010 – sekarang Dosen MKU di Fakultas Ekonomi UII
2011 – sekarang Dosen MKU dan Peradaban Pemikiran Islam di Teknik Informatika UII
2008 – sekarang Dosen MKU dan Filsafat UII

   H. Pengalaman Organisasi

2003 – 2004 Pengurus PMII Rayon Filsafat UGM
2006 – sekarang Anggota Ikatan Alumni Dialog Kebangsaan 2006
2005 – sekarang Anggota Ikatan Alumni Pelayaran KebangsaanV (PK V) 2005
2003 – 2004 Ketua BEM Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta
2003 – 2004 Dewan Redaksi dan Pusat Dokumentasi Jurnal PergerakanMahasiswa Nasional TRADEM
2002 – sekarang Anggota (warga) Ikatan Keluarga Pemuda dan MahasiswaKeluarga Karawang Yogyakarta (IKPMD KKY)
2000 – 2001 Ketua OSIS I SMUN 1 Karawang Jawa Barat.

Refleksi Kuliah Filsafat dari salah satu Mahasiswi Terbaik di kelasku 2011

REVIEW 1 SEMESTER

Kuliah Filsafat dengan Pak Alif

oleh: Ahdha Sartika

“dosennya muda!” hanya itu yang kudapatkan ketika aku menanyakan tanggapan tentang mata kuliah filsafat dihari senin. Berhubung filsafat kucantumkan pada hari jumat di list jadwal kuliahku jadi aku harus bertanya tentang apa-apa saja di mata kuliah filsafat hari senin itu. Dan dosen muda? Hanya itu yang terekam. Bahwa dosen yang mengisi dihari jumat nanti adalah dosen muda bernama Alif Lukmanul Hakim. Tidak ada memori lain bertemakan filsafat di otak ini selain keinginan beberapa tahun silam pada jurusan filsafat dan “dosen muda”. Baiklah, jumat 11 februari 2011 jam 1:00 pm yang mengisi mata kuliah filsafat adalah dosen muda. Tertarik? Mungkin. Aku masih harus berusaha mencintai psikologi yang merupakan fokus studiku saat ini, bukan filsafat yang masa laluku.

Pertemuan pertama, telat. Dosennya telat. Sekali lagi dosen mudanya telat. Sesaat kemudian datang seorang dosen dengan map presensi dan kunci ruangan 3.09 ditangannya. Selama di uii, yang kudapatkan dari budaya disini adalah cara mengenali seorang dosen, adalah dengan melihat tangannya yang membawa map presensi dan kunci ruangan. Unik. Dan akhirnya yang ditunggu telah datang. Seperti dosen-dosen pada umumnya, pertemuan pertama selalu diisi dengan perkenalan dan tata tertib mata kuliah. Selebihnya, dijelaskan tentang filsafat secara umum dan gambliang dengan cara yang sangat mudah dimengerti. Yang aku dapat dari pertemuan pertama ini: filsafat bukan sebuah hal yang menakutkan, karena filsafat ilmu itu ada, dan karena filsafat semua manusia menjadi “manusia.” Memandang sesuatu dari berbagai sisi membuatmu menjadi lebih melek dunia, dan bijaksana dalam menghadapi hidup.

Pertemuan kedua, kosong. Aku kebablasan tidur. Dan slide filsafat yang kuterima dari teman-temanku hanya berisi 10 slide tentang cabang-cabang ilmu filsafat. Asal mula berfilsafat dan skema-skema yang agak memusingkan untuk kubaca tanpa kujelaskan. Tapi dari slide ini, yang kudapatkan: filsafat membuat seorang manusia menjadi berbeda. Karena filsafat hanya bisa dilakukan oleh manusia yang mempunyai akal dan fikiran. Karena hanya manusia yang diciptakan untuk berpikir, untuk menerima setiap alasan yang diberikan. Bukan pasrah dengan setiap segala yang ada.

Cabang filsafat menjadi fokus utama pada pertemuan ketiga dalam mata kuliah ini. tak banyak yang dijelaskan, hanya 7 slide berisi tulisan-tulisan. dan diakhir slide, pengembangan berfikir kami diuji, dibentuk beberapa kelompok untuk membahas beberapa tema. Dan satu yang kudapat disini adalah, filsafat benar-benar mata kuliah yang bebas untuk berpendapat. Terbuka untuk setiap pikiran, argument dan pandangan dan yang kudapatkan di pertemuan hari ini adalah: menghargai seseorang lewat apa yang ia katakan itu lebih berharga dari pemberian berlian. Karena filsafat meminta kita untuk tahu keadaan sekeliling bahwa banyak kepala dengan banyak pikiran didalamnya. I love this. Begitu “memanusiakan” manusia.

Presentasi filsafat barat kuno. Aku kelompok pertama, dan masih jauh dari kata siap. Kagok istilahnya. Takut malah sebenarnya, baru di mata kuliah ini, berpendapat didepan kelas aku singkirkan jauh dari pikiranku. Ntahlah, buatku filsafat merupakan sebuah hal yang sangat-sangat jauh dari kemampuanku. Karena menurutku, filsafat itu lebih aplikatif daripada pendidikan ibadah dan akhlak sekalipun. Setidaknya ketika seseorang akan belajar sholat, buku-buku penyedia bimbingan sholat telah banyak beredar luas dimana-mana. Tapi buku yang mengajarkan berpikir lebih filsafatis? Rasanya nihil. Filsafat itu sebuah skill, dan itu sangat-sangat unik buatku. Sangat berbeda dari ilmu lain yang sangat mengagungkan teori dan sejenisnya. But philosophy? It’s different. Yang aku dapat dari pertemuan kali ini adalah: mempelajari sesuatu lewat sejarah dan menelusuri fakta yang ada merupakan sebuah cara agar tidak mudah dibodohi dengan pemberitaan media yang begitu berbalik.

Pertemuan kelima filsafat dari india dan cina menjadi topic kali ini. ternyata asia juga mengambil peran dalam perkembangan filsafat, dan itu mengagumkan. Banyak yang dijelaskan dari kelompok 2 pada hari ini. aku mulai menikmati filsafat sebagai sesuatu yang merefresh otakku dari teori-teori psikologi selama 4 hari sebelumnya. Budhisme, taoisme, dan sebagainya dijelaskan dengan detil oleh nurpaliani yang berbicara didepan sebagai presentator. Jumat ini juga sama seperti biasanya, banyak yang kudapatkan. Yaitu, cina yang selama ini kuanggap sebagai ras yang “angkuh” ternyata banyak makna dibalik “keangkuhannya”. Dan itu mengajarkan diriku sendiri untuk tidak memberi justifikasi secara langsung tanpa dasar yang kuat. Sebuah jentikan diotakku pada saat ini.

Pertemuan ke 6 ini nonton. Bayangan ini mulai merujuk pada film-film berat dengan bahasa filosofis yang untuk memahaminya harus memutar otak dengan sedemikian rupa. Tapi, yang ditonton ternyata film yang sudah kutonton sebelumnya. Film documenter, “the inconvenient truth” berisi tentang al gore yang mendatangi setiap Negara untuk mengkampanyekan anti-global warming. Agak aneh pertamanya, filsafat-global warming? Hubungannya? Nyaris akal ini tak sampai untuk memahaminya, dan lagi-lagi dijelaskan dengan “bahasa” yang mudah. Dan akhirnya, pelajaran hari ini yang kudapatkan adalah: filsafat tidak selamanya berorientasi pada buku teks tebal, bahasa rumit, dan memusingkan. Tapi filsafat adalah ilmu yang portable, bisa diletakkan dimana-mana, karena filsafat membuatnya menjadi “Sophia” dalam memahami setiap permasalahan yang ada didunia. Itulah philosophy.

Pertemuan terakhir sebelum uts, filsafat islam, topic presentasi hari ini. mendengarkan, selama mata kuliah ini sepertinya aku benar-benar menjadi diriku yang benar-benar mahasiswa. Mendengarkan setiap kata, dan memahaminya. Seolah-olah anak kecil yang mendapat “sesuatu yang baru”. Dan menariknya, filsafat selalu menanamkan sebuah hal untuk aku kembangkan dalam pikiranku diluar dari kelas. Selalu ada ilmu baru yang kudapatkan ketika keluar dari ruang 3.09. kesimpulan untuk hari ini adalah bahwa peka adalah salah satu hal yang harus dimiliki manusia dalam hidup. Karena seseorang yang tidak peka akan hidupnya hanya seperti robot tanpa otak yang hanya bergerak dengan perintah dari tuannya. Dan itu bukan manusia.

Setelah uts pertemuan 8 dilanjutkan dengan filsafat manusia. Manusia akan menjadi objek pembicaraan selama 7 kali pertemuan terakhir ini. topic yang sangat aku sukai. Itu tanggapanku pertama kali. Karena manusia setan mengingkari Allah, dan karena manusia malaikat semakin tunduk pada Allah. Karena segala yang ada didalam diri seorang manusia adalah suatu hal yang tak dapat digantikan oleh apapun dengan buatan manusia lainnya. Karena manusia adalah hasil karya cipta Tuhan. hasil karya tuhan yang begitu detil dalam setiap lekuk, dan gabungan abstrak dalam sebuah jasad yang nyata. Filsafat manusia hari ini membuatku membawa pulang: manusia adalah sebuah objek yang terbentuk dan tercipta dari Tuhan. hasil karya cipta dari Yang Maha Agung, dan sangat-sangat bisa dipastikan bahwa sejatinya manusia begitu berharga dan agung untuk ada didunia ini. tapi sepertinya semua terbantahkan dengan sifat-sifat alamiahnya sebagai makhluk. Dan filsafat akan membahas semua dalam lingkup kecil dengan cara yang lebih mudah.

Pertemuan ke 9. Esensi dan eksistensi manusia. Dibahas dengan mendalam hari ini, agak rumit tapi tetap menarik. Tak banyak yang kudapatkan dari filsafat hari ini, karena ketika pulang aku harus membawa tugas individu. Tugas sebuah tulisan yang kutulis sendiri tentang esensi dan eksistensi manusia. Mungkin saat itu niatnya hanya sekedar candaan tapi sangat tidak sopan sepertinya ketika seorang dosen meminta mahasiswanya mengerjakan tugas tapi tidak dipenuhi. Tidak adil untuk seorang dosen yang telah begitu banyak memberi wawasannya dan membuka sedikit pintu otakku untuk berfikir lebih mendunia hingga saat ini. dan akhirnya, pulang dari kelas ini aku membawa satu tugas pribadi. Esensi dan eksistensi manusia. Tidak ada bayangan apapun diotak ini untuk kutulis dalam kertas yang akan kukumpulkan nanti. Tidak sulit sebenarnya, tapi jika tak diselesaikan begitu membuatku penasaran untuk menyelesaikannya.

Pertemuan ke 10. Self. Presentasi hari ini benar-benar membuatku mabuk dengan kata-kata “aku” begitu banyak kata “aku” yang digunakan dalam presentasi kali ini. dan sebenarnya aku telah memiliki pemaknaan self sendiri didalam otakku setelah mendengar penjelasan singkat dari slide yang ditampilkan pada hari ini. buatku, self bisa dianalogikan sebagai operating system dalam sebuah computer. Sebuah computer tanpa operating system, tidak akan menyala. Dan sebuah computer akan sangat membutuhkan operating system dalam menjalani dirinya sebagai sebuah computer. Karena sistem operasi (self) akan membentuk sebuah dasar yang harus dimiliki untuk menjadi seorang manusia. Dan yang kudapat hari ini adalah self bukan sesuatu yang rumit untuk dijelaskan. Terkadang kita butuh cermin untuk membuat diri ini faham dan mengetahui semuanya.

Pertemuan ke 11. Mind. Lucu rasanya mendengar penjelasan pak Alif hari ini. bagaimanapun dia selalu tahu cara untuk membuat pemikiran seluruh mahasiswanya berkembang. Hanya dengan mind yang bermakna sebagai akal adalah sebuah hal yang abstrak, tapi karena letaknya di otak (material, konkrit), dengan setiap argumennya pak alif membuat mind menjadi sebuah hal yang konkrit yang harus meminta mahasiswanya untuk membantah argumennya. Menarik. Berulang kali ia meminta berbagai pendapat untuk membuat mahasiswanya menyuarakan otaknya agar dapat memahami materi ini dengan lebih mudah. Banyak hal yang dibahas di hari ini, tapi yang kudapat dan bermakna adalah: sebuah pemikiran manusia akan menyita banyak hal dari dunia. Karena pemikiran manusia-lah dunia ini menjadi sedemikian rupa. Karena pemikiran manusia yang beragamlah yang membuat dunia ini menjadi begitu bermakna untuk ditafsirkan.

Pertemuan ke 12. Akal dan badan, 2 hal yang berbeda menjadi satu materi. Akal (abstrak) dan badan (nyata). Kedua hal ini akan menjadi sebuah hal yang unik untuk ditelusuri lebih jauh. Karena manusia adalah bentukan dari 2 zat yang berbeda. Dan itu menjadikan manusia mampu berbicara, berpendapat, dan menulis untuk mengutarakan setiap pemikiran dan akal yang ada dibenaknya. Dan karena akal pula, manusia menjadi berperang dengan sosok yang sama persis dengan dirinya, hanya karena berbeda dalam pemaknaan dan penafsiran akal yang mereka miliki. Ilmu hari ini: akal dan badan adalah keunikan yang dimiliki manusia. Dan manusia adalah sebuah keunikan yang dimiliki oleh dunia.

Pertemuan ke 13. Membahas para psikologi, hanya itu yang kutahu. Dan hari ini aku tidak hadir karena mengahdiri sebuah seminar di psikologi ugm. Beberapa tanggapan yang kutanya mengenai materinya mengatakan bahwa parapsikologi adalah seseorang dengan kemampuan-kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. Karena tak terlalu faham, aku hanya membaca slide-slide yang berisi penjelasan singkat tentang parapsikologi ini dan hasilnya adalah: filsafat melihat parapsikologi selalu dari positif dan negative. Kemampuan yang dimiliki para psikologi adalah sesuatu yang “khas” tapi tak semuanya menjadi sebuah hal yang positif. Karena tak sedikit hal-hal negative akan menjadi sebuah accessories untuk sebuah keunikan.

Pertemuan terakhir. Nilai. Segala sesuatu itu bernilai. Berharga, tergantung dari angle mana seseorang itu memandang. Dan filsafat adalah sesuatu yang berharga, membuatku benar-benar mencintai kebijakan. Aku nyaris tak pernah menjadikan diriku berharga, tapi dengan filsafat, cara berfikir, alasan dan segala sesuatunya membuatku menjadi merasa lebih berharga. Filsafat memang membuka pandanganku yang tertutup dengan keminderanku selama ini. ilmu yang sangat aplikatif dan sangat mudah-mudah untuk dimengerti, dan difahami buatku.

Karena disinilah aku bisa memahami diriku dan menghargai diriku sendiri. Karena disinilah aku tahu bahwa tulisanku bagus. Dan hanya ada satu orang yang mengakuinya. Dosen ini, dosen muda ini. dosen yang mengajarkan begitu banyak hal untuk hidup. Penyampaian yang luwes, penghargaan yang tulus, dan pemaknaan yang dalam. Tidak ada yang salah dengan pemikirannya yang selama ini tak diterima sahabat-sahabatku. Karena manusia adalah makhluk dengan beragam pemikiran, sulit untuk diarahkan. Dan filsafat adalah penyatu dari berbagai pemikiran itu. Tanpa penyampai materi dan pemaknaan yang baik dari seorang dosen maka filsafat tidak akan pernah menjadi sebuah filsafat. Ia hanya akan menjadi sekedar aliran teori tanpa faham maksud dan tujuannya. Dan semoga, mata kuliah yang sekedar “pengantar filsafat” benar-benar menjadi pengantarku untuk menikmati hidup yang seperti gelembung.

Terakhir, filsafat bukan jalan menuju atheis, bukan jalan menuju neraka, dan bukan jalan menuju omong kosong. Tapi filsafat adalah caramu memaknai hidup. Memandang segala sesuatu lebih manusia. Dan mencintai hidup lebih sederhana. Bukan melebihkan, tapi satu-satunya mata kuliah dan ilmu yang benar-benar menyegarkan pemikiranku adalah ini, adalah φιλοσοφία.

Selayang Pandang Utilitarianisme

SELAYANG PANDANG UTILITARIANISME

Oleh: Alif Lukmanul Hakim

1. Sekadar Pengantar

Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas yang saat itu mulai diterpa badai keraguan yang besar, tetapi pada saat yang sama masih tetap sangat terpaku pada aturan-aturan ketat moralitas yang tidak mencerminkan perubahan-perubahan radikal di zamannya. Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility). Sebagaiman ungkapannya yang terkenal ”the greatest happiness of the greatest number”, atau utilitarianisme disamakannya dengan hedonisme.[1]

Menurut kamus Indonesia Wikipedia, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga, 2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan. Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.

Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.

Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut dengan utility calculus, hedonistic calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan kenikmatan daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang, produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti oleh perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).[2]

Munculnya James Mill dan John Stuart Mill dengan filsafat Utilitarianisme modern, telah merubah dunia modern menjadi dunia yang penuh gairah. Selain itu ia ingin meluruskan pemikiran Bentham (pamannya) bahwa, pertama, nikmat jangan dibatasi pada nikmat jasmani saja, nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Kedua, ia memperjelas bahwa utilitarianisme tidak ada kaitannya dengan egoisme. Kriteria moralitas utilitarianisme, prinsip kebahagiaan terbesar tadi justru mencakup semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Berbeda dengan hedonisme Epikurus, utilitarianisme tidak mencitakan kebahagiaan bagi diri sendiri saja, melainkan kebahagiaan semua.[3] Seluruh gagasan ini diterima dengan pujian dan penyembahan, karena inilah yang selalu didambakan oleh setiap manusia. Ide Utilitarian adalah usaha untuk mengejar kebahagiaan yang puncak. Yang dimaksud kebahagiaan puncak adalah segala hal yang bisa dikejar untuk kita bisa menikmati dunia ini. Itu sebabnya timbul perdebatan aspek moral dari filsafat ini. Pertama, bagaimana konsep utilitarian ini dilukiskan dan diaplikasikan dengan tepat, dan kedua, apakah implikasi moral dari utilitarianisme ini bisa diterima atau harus ditolak. Utilitarianisme di dalam tangan John Stuart Mill dibungkus dengan satu slogan yang luar biasa indah yaitu “The greatest benefit for the greatest among the people.” Maksudnya carilah manfaat sebanyak-banyaknya untuk sebanyak-banyaknya orang. Melalui slogan ini dia pikir cocok dengan sifat demokrasi. Utilitarianisme dengan kalimat yang kelihatannya begitu indah diterima secara begitu merebak, begitu disukai termasuk banyak orang kristen dewasa ini tergila-gila dengan pikiran tersebut.

2. Konsep Bahagia Utilitarianisme

a) Menganut sifat hedonisme, di mana kesenangan dan tidak adanya kepedihan adalah utility dan nilai intrinsik yang perlu dikejar. Nilai intrinsik ini bernilai untuk kepentingannya sendiri dan tidak ada hubungan atau konsekwensi terhadap yang lain.

b) Tetapi sebagian utilitarian menganggap pandangan pertama terlalu sempit. Mereka melihat bahwa utilitarianisme ideal adalah sesuatu atau pengalaman tertentu, seperti pengetahuan atau menjadi mandiri, secara intrinsik bernilai atau bersifat baik, entah orang menghargai atau tidak, ataupun lebih berbahagia atau tidak dengan itu.

c) Persoalannya adalah perbandingan nilai kebaikan itu sendiri. Pada utilitarian, nilai perbandingan itu dapat dinilai berdasarkan diri sendiri, yang membandingkan beberapa tindakan yang berbeda untuk mencari nilai tertinggi (intrapersonal utility comparison), atau nilai perbandingan itu juga diperbandingan dengan kepentingan dan kebaikan bagi orang-orang lain (interpersonal utility comparison).

d) Pada umumnya, para utilitarian menuduh para moralis telah menciptakan kesusahan bagi manusia karena tuntutan moral seringkali membuat orang tidak bisa hidup nikmat. Misalnya timbulnya rasa bersalah bila kita pergi nonton atau pesta makan, karena uang yang kita pakai bisa kita berikan kepada orang miskin yang tidak bisa makan. Maka bagi utilitarian, setiap orang harus menjadi agen bagi dirinya sendiri. Kalau ia gagal mencapai kebahagiaannya, maka tidak ada tuntutan moral dari orang lain untuk menolong dia.

Para utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut, contohnya berkaitan dengan pembenaran euthanasia (mercy killing):

(1). Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.

(2). Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa dicapai melalui euthanasia.

(3). Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat dibenarkan secara moral.

Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan agama, Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak, sudut-pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar memegang pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.

Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen-eksperimen saintifik tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bisa merasakannya — terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi-lagi, buat mereka, melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral. Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut: Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar/baik atau salah/jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibatnyanya. Kedua, dalam menilai konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibat itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan-tindakan yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan kalkulasi untuk memilih tindakan.

Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Nah, Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam kehidupan. Istilah Hedonisme sendiri berasal dari kata Yunani yang bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari kesenangan-kesenangan yang akhirnya akan berujung pada penderitaan. Utilitarianisme tindakan berpendapat bahwa tiap tindakan yang spesifik dengan segala rinciannya, adalah yang seharusnya menjadi pengujian dalam utilitarian. Hal ini berarti terlepas dari apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan peraturan-peraturan yang ada. Atau dapat didefinisikan sebagai berikut: bertindaklah sedemikan rupa sehingga tindakanmu itu menghasilkan akibat-akibat baik yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya.[4]

3. Bahaya Utilitarianisme

a) Semua dilihat dari aspek kepentingan manusia, sehingga seperti telah diungkap diatas, terjadi konflik kepentingan dan timbul masalah moral yang sulit diselesaikan. Semangat hedonistis yang mewarnai citra utilitarianisme menjadikan sifat moral dikesampingkan ataupun diganti dengan nilai moral yang sangat relatif dan rendah sifatnya. Disini sifat dosa diumbar dan dipuaskan tanpa ada penghalang yang membatas lagi.

b) Di sini terjadi kesalahan fatal. Utilitarian telah memutlakkan yang relatif. Ketika manusia mengejar kebahagiaan pribadi dengan batasan dan perbandingan nilai yang relatif, tanpa standardisasi yang sejati, telah kehilangan basis kemutlakkan yang sesungguhnya. Akibatnya, diri dijadikan basis mutlak, dan itu berarti akan menolak Tuhan sebagai penentu dan standard bagi kemutlakkan yang sebenarnya.

c) Hidup hanya mengejar kekinian yang akan meniadakan aspek kekekalan. Karena utilitarian hanya bisa melihat nilai-nilai yang ada di dunia ini, maka seluruh pengharapan akan kekekalan dan sifat-sifat ilahi diabaikan.

Selain itu ada beberapa bahaya lain dari utilitarianisme yakni,  pertama, utilitarianisme memberi peluang besar terjadinya kekacauan, penipuan argumentasi pemikiran yang sangat mengerikan. Mengapa? karena ditengah-tengah dunia modern ketika orang mengatakan manfaat terbesar bagi semakin banyak manusia, ini merupakan kalimat yang sangat fiktif. Ini baru bisa terjadi orang tersebut tidak berdosa. Padahal utilitarianisme dikembangkan oleh orang berdosa dan dijalankan ditengah dunia berdosa. Jadi dengan kondisi seperti ini slogan tersebut menjadi slogan yang fiktif. Misalnya, orang yang mengatakan kedaulatan ditangan rakyat padahal rakyat hanya naik sepeda dia sendiri naik mercedez. Kedua, utilitarianisme, akhirnya menyebabkan semua minoritas menjadi tertindas. Mengapa? karena jika kita bukan orang yang terbanyak maka kita mati. Apabila matipun itu tidak salah, karena ini demi orang banyak. Jadi minoritas mati tidak apa-apa. Disini prinsip “Survival of the fittest” atau yang kuat yang menang dari utilitarianisme dinyatakan. Ketiga, dibelakang asas manfaat dari utilitarianisme ini adanya satu format ekonomi yang sangat mengerikan sekali yaitu mereka mengatakan mari kita mencari manfaat yang sebesar-besarnya dengan asumsi untuk mendapat manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau tidak kita akan rugi. Jadi prinsipnya kalau saya tidak untung ya saya rugi. Oleh karena itu saya harus mengejar keuntungan dengan cara apapun, pokoknya untung. Prinsipnya hanya dua, kenikmatan atau penderitaan.

4. Homo Humini Lupus

Istilah “homo homini lupus” berarti: manusia adalah pemakan sesamanya. Ada anekdot yang mengatakan bahwa orang miskin akan bertanya “hari ini kita makan apa?”, sedangkan orang menengah bertanya “hari ini kita makan dimana?, dan orang kaya bertanya “hari ini kita makan siapa?” Anekdot di atas mau menggambarkan bahwa orang menjadi kaya karena telah memakan atau mengorbankan sesamanya.

Hal ini merupakan realita kehidupan di dunia. Jika kita tidak berhasil menggunakan kesempatan di dunia, pastilah kita akan “dimakan” oleh orang lain. Maka di dalam dunia hanya ada satu hukum utama, yaitu memakan atau dimakan. Maka dalam hal ini, pilihan haruslah diletakkan pada yang pertama. Dimakan berarti mengalami pain, dan itu tidak sesuai dengan asas hidup, maka kita lebih baik memakan demi untuk mencapai pleasure. Konsep di atas secara logis membenarkan jika seseorang memakan sesamanya demi untuk mencapai apa yang dianggapnya sebagai pleasure.[5]

Tentu munculnya anekdot seperti itu bukanlah tanpa alasan. Hal itu terjadi karena di dalam dunia berdosa ini begitu banyak orang yang menjadi kaya akibat “memakan” sesamanya. Tentu tidak semua demikian. Namun, rupanya pola mengorbankan sesamanya untuk mencari keuntungan dan kekayaan bagi diri sudah merupakan suatu “ciri” dalam kehidupan manusia. Mengapa demikian?

5. Sifat Manusia Humanistis

Sifat manusia yang memuncakkan diri dan menganggap diri sebagai makhluk yang tertinggi dan termulia, telah menjadikan manusia menyingkirkan posisi Tuhan sebagai posisi mutlak. Hal ini dianggap sebagai kemenangan Humanisme. Tetapi sebenarnya, justru disinilah kekalahan dan kehancuran manusia. Ketika manusia memutlakkan diri, manusia lupa bahwa “manusia” itu bukanlah tunggal, bukan multi-tunggal tetapi murni plural. Manusia mutlak adalah makhluk relatif. Akibatnya, terjadi pemutlakkan relativisme. Situasi ini menjadikan semangat Humanisme memukul manusia balik. Manusia yang sebenarnya harus memikirkan sesamanya dan tidak boleh memutlakkan diri, kini menjadikan dirinya sebagai “Tuhan” untuk mengganti posisi Tuhan yang sesungguhnya, yang telah disingkirkannya. Maka, ketika ia memutlakkan diri, orang atau manusia lain akan menjadi obyek yang harus memenuhi kemutlakkan dirinya. Disini terjadi semangat manipulatif. Manusia mulai dengan menganggap dirinya sebagai kebenaran yang mutlak sehingga orang lain yang berbeda pandangan dengan dia selalu tidak disukainya dan begitu sulit bagi dia untuk menerima pandangan yang kontras dengan dia. Ketika situasi seperti itu terjadi, tidak ada basis penentu kebenaran yang menjadi tolok ukur baginya untuk menguji siapa yang benar. Maka kemungkinan terbesar adalah orang lain dianggap salah olehnya.

Lebih jauh lagi, ketika ia sudah mulai memikirkan dirinya, maka ia mulai melangkah kepada kebutuhannya. Ketika kebutuhannya berkonflik dengan kebutuhan orang lain, maka ia merasa bahwa kebutuhan dirinyalah yang harus dipenuhi terlebih dahulu, barulah orang lain. Kalau perlu, biarlah orang lain dirugikan asalkan diri menjadi untung. Disini semangat utilitarian mulai mengusik dan masuk dalam pikiran orang. Maka orang tidak rela jika ia harus berkorban dan dirugikan demi kepentingan orang lain, kecuali jika ia memiliki kepentingan lain yang lebih besar atau menghindari kerugian yang lebih besar lagi.

6. Argumentasi Utilitarian

a) Manusia harus pandai-pandai memanfaatkan situasi

Seorang utilitarian tidak pernah mengerti adanya rencana Tuhan atau ketaatan kepada kehendak Tuhan. Yang dipikirkan adalah manusia perlu pandai-pandai memanfaatkan situasi, karena hidup matinya manusia tergantung kepada manusia itu sendiri. Maka, cara terbaik bagi manusia adalah hidup memanfaatkan situasi yang ada. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan. Sejauh kebahagiaan itu bisa dicapai, maka manusia harus mengejarnya, karena itulah sasaran akhir hidup manusia. Seperti Bentham tegaskan, bahwa tidak perlu terlalu dirisaukan dengan berbagai pertimbangan yang akhirnya hanya menyusahkan kita (pain), seperti berbagai pertimbangan moral, karena moral adalah kesenangan (pleasure). Maka manusia harus mengejar kesenangan ini.

b) Korban adalah akibat kesalahan sendiri

Dalam kaitan dengan kesenangan yang manusia kejar, terkadang terjadi konflik sehingga ada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, maka yang salah adalah pihak yang dirugikan. Jika ia rugi, berarti ia gagal mencari kesempatan atau menggunakan kesempatan secara tepat, sehingga ia telah menjadi korban dari kelemahannya. Akibatnya ia mengalami kepedihan (pain). Jadi untuk seseorang bisa mencapai kesenangan, tidak ada salahnya jika orang lain sampai dirugikan, karena itu tidak ada kaitannya dengan obligasi moral sama sekali.

7. Kritik Terhadap Utilitarianisme

a) Benarkah bahagia identik dengan pleasure?

Kesalahan utilitarian adalah mengidentikkan bahagia dengan pleasure. Kebahagiaan adalah suatu kondisi akibat dari menjalankan kehendak Tuhan dan mendapatkan “credit point” dari Tuhan sebagai upahnya. Pleasure adalah kenikmatan yang dikaitkan dengan kedagingan, entah secara pribadi, kelompok atau masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, sering terjadi konflik antara pleasure dengan kehendak Tuhan, maka tidak mungkin pleasure bisa identik dengan kebahagiaan. Di dalam faktanya, justru pleasure seringkali hanya merupakan kenikmatan sesaat yang membawa seseorang pada ketidakbahagiaan.

b) Benarkah ketika kita memakan orang lain itu pleasure?

Problem kedua dari utilitarianisme adalah mengabaikan aspek moral manusia. Manusia adalah makhluk yang dicipta dengan sifat moral. Bentham dan Mills lupa bahwa mereka bukanlah kuda atau anjing. Jika binatang memang tidak memiliki obligasi moral, tidak memiliki akal budi dan pertimbangan moral, maka manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa Tuhan, memiliki akal budi dan pertimbangan moral. Itu alasan, sifat moral ini tidak bisa ditiadakan begitu saja. Hanya manusia yang sudah kebinatangan yang tidak lagi memiliki pertimbangan moral. Sifat moral inilah yang menjadikan manusia bisa memiliki tuntutan keadilan dan hukum. Apabila tidak ada moral, tidak perlu ada hukum dan pengadilan.

Aspek moral manusia menjadikan manusia tidak pernah bisa tenang apabila ia telah merugikan dan menghancurkan orang lain. Tuduhan moral akan tiba padanya dan hal itu akan membuat manusia kehilangan kebahagiaannya. Mungkin ia bisa menikmati sukacita di atas kesusahan dan pengorbanan orang lain, tetapi hal itu akan mendatangkan tuntutan keadilan kepadanya, paling tidak nanti di dalam kekekalan. Hal itu yang menyebabkan orang berdosa akan begitu takut mati, karena ia sadar tidak bisa lepas dari tuntutan keadilan yang harus dipertanggungjawabkan.

c) Tidak sadarnya realita dosa

Seperti telah diungkapkan sepintas, maka kelemahan utama utilitarianisme adalah penyangkalan akan adanya dosa atau penyimpangan tindakan. Utilitarian justru menganggap dosa sebagai kewajaran, karena dosa telah menjadi “mayoritas” dalam kehidupan masyarakat. Disini utilitarian yang ingin mencapai kebahagiaan justru gagal mengerti kaitan antara kebahagiaan dan kebenaran, serta perlawanan terhadap dosa dan kedagingan. Maka, sebenarnya yang dibutuhkan oleh dunia ini adalah pertobatan. Memang dunia sudah jatuh ke dalam dosa, dan sifat makan-memakan antar manusia berdosa telah menjadi ciri dunia yang berdosa. Itu alasan di dunia ini perlu ada polisi, pengadilan, dan penjara. Jika memang dunia ini baik, seperti asumsi utilitarianisme, maka tentulah polisi dan pengadilan tidak akan banyak pekerjaan. Sikap dan prinsip utilitarianisme justru akan menjadikan dunia ini semakin penuh dengan dosa, kepedihan dan kesengsaraan.

d) Para penggugat Utilitarianisme mengajukan sejumlah keberatan.

Antara lain, pertama Asas Kegunaan itu sering bertentangan dengan aturan-aturan moral yang sudah mapan, seperti Jangan Berbohong, Jangan Mencuri, Jangan Membunuh. Kedua, Utilitarianisme cenderung mengunggulkan Asas Kegunaan (the Principle of Utility) atas Asas Keadilan atau Hak-hak seseorang. Misalnya, bila ada dua pihak yag bertikai di depan hukum. Salah satunya lebih kuat dan berkuasa daripada yang lain, sehingga kekalahan pihak yang lebih berkuasa akan mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan yang lebih besar pada pihak lawan dan orang-orang di sekitarnya; kaum Utilitarian akan memenangkan pihak yang lebih kuat demi mencapai sesedikit mungkin penderitaan, sekalipun untuk itu asas keadilan atau hak seseorang harus dikorbankan.

Gugatan lain: karena Utilitarianisme secara eksklusif mengambil pertimbangan tentang konsekuensi yang akan terjadi, maka pandangannya selalu melupkan masa lalu. Misalnya, bila seseorang berjanji kepada adiknya untuk melakukan sesuatu, lalu mendadak dia harus mengerjakan sesuatu lain yang juga sama-sama penting dengan janji tersebut, tetapi pekerjaan itu lebih menyenangkan baginya, maka kaum utilitarian akan memilih untuk melanggar janji itu. Dengan demikian, kaum utilitarian mengabaikan apa yang disebut dengan kawajiban-kewajiban moral.

Untuk menjawab gugatan-gugatan tersebut, kaum Utilitarian membedakan Utilitarianisme-Tindakan (Act-Utilitarianism) dengan Utilitarianisme-Kaidah (Rule-Utilitarianism). Utilitarianisme-Kaidah berpijak pada pandangan bahwa ‘Semua aturan perilaku umum yang cenderung memajukan kebahagiaan terbesar bagi orang terbanyak’ harus dikukuhkan. Jadi, dalam kasus aturan Jangan Berbohong, Utilitarianisme-Kaidah menyatakan bahwa tindakan yang berdasarkan aturan moral ini lebih sering menghasilkan konsekuensi kebahagiaan ketimbang Berbohonglah. Dengan demikian, aturan Jangan Berbohong sesuai dengan Utilitarianisme-Kaidah.

Namun, para penggugat kembali menyatakan bahwa gagasan Utilitarianisme-Kaidah terbalik dalam menilai banyak hal. Misalnya, persahabatan adalah sesuatu yang baik dan benar, sekalipun seringkali ia tidak menyenangkan atau membuat kita menderita. Kita memiliki sahabat dan menghargai persahabatan karena memang itulah tindakan yang baik dan benar, sekalipun kita tidak tahu konsekuensi atau akibat dari persahabatan kita. Jadi, terbalik dengan gagasan Utilitarianisme yang mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan, dalam situasi ini kita pertama-tama melihat bahwa persahabatan itu baik dan kita bahagia karena mengerjakan hal yang baik, dan bukan kita mencari sahabat karena dengan persahabatan itu kita dapat mencapai kebahagiaan.

Selain itu, pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh kaum Utilitarian adalah: Apakah hakikat kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu hasil dari suatu tindakan, atau dirasakan saat tindakan berlangsung? Apakah kebahagiaan yang dituju di sini bersifat permanen ataukah sementara, seringkali kebahagiaan yang bersifat sementara berlawanan dengan kebahagiaan yang bersifat permanen? Bukankah moralitas Utilitarian itu berpijak pada sesuatu yang akan terjadi atau sesuatu yang belum tentu terjadi untuk memutuskan tindakan yang seharusnya segera terjadi?

DAFTAR PUSTAKA

De Vos., DR., H, 1987, Pengantar Etika, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Bentham, Jeremy, 1789, An Introdction to the Principles of Morals and Legislation.

Bertens, K., 1990. Filsafat Barat Abad XX. Gramedia. Jakarta.

De Vos., DR., H, 1987, Pengantar Etika, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2001.

Mill, John Stuart, On liberty (etika politik) pembelaan kebebasan individu terhadap segala usaha.

Mill, John Stuart, Principles of political economy.

Mill, John Stuart, Considerations on Representative Government.

Mill, John Stuart, Subjection of Women.

Sudarminta, J,  SJ, 1997. Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Franz Magnis, 1999,  13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Franz Magnis, 1995, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta.

Titus, Nolan dan Smith, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj. H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.

Zubair, Achmad Charris, 1990, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta.


[1] Franz Magnis – Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 173.

[2] Charris Zubair, 1990, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Press. Hlm: 45.

[3] Ibid., Magnis Suseno, 173.

[4] Sudarminta, J,  SJ, 1997. Etika Umum, Yogyakarta: Kanisius.

[5] Titus, dkk, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, hlm: 98.