Nilai-nilai Islam dalam Pancasila

Oleh: Alif Lukmanul Hakim, S.Fil., M.Phil[1]

Pancasila yang dicetuskan oleh Bung Karno, 1 Juni 1945, saat ini menghadapai tantangan yang sangat pelik dan semakin tergerus nilai substansialnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Padahal, seharusnya menjadi spirit yang mengawal bangsa ini menghadapi permasalahan yang ada. Jika melihat sejarah, Pancasila ternyata telah mampu mempersatukan kita menjadi bangsa yang dapat mengelola keberagaman dan menyikapinya dengan baik. Pancasila tidak begitu saja diterima sebagai dasar negara, terjadi dinamika dalam perumusannya, yakni di kalangan negarawan muslim saat itu karena belum terakomodasinya syariat Islam. Tidak hanya tokoh nasionalis saja, ada pula tokoh muslim ikut serta, KH. Wahid Hasyim dari NU dan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah yang  telah memberikan dinamika tersendiri dalam proses di Panitia Sembilan PPKI. Terutama terkait sikap rela berkorban beliau berdua demi persatuan bangsa. Kenyataan sejarah tersebut perlu disampaikan terus agar dapat dipahami seluruh warga, khususnya kalangan yang masih beranggapan bahwa Pancasila baik secara tekstual maupun kontekstual bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, meminjam istilah Gus Dur, kebesaran Islam pada konteks modern saat ini karena memiliki tiga spektrum nilai berikut, yakni syura (demokrasi), ‘adalah (keadilan), dan musawah (persamaan). Ketiganya secara jelas dan tegas ada pada tiap sila Pancasila.

Islam, Pancasila dan Kemanusiaan

Ditetapkannya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila pertama adalah untuk menjamin pemenuhan hak-hak yang selain Islam atau pemeluk agama minoritas, sejauh agama itu diakui secara resmi oleh negara. Meskipun negara kita bukan sebuah negara agama, tetapi agama dan nilai-nilai substansialnya merupakan nilai dasar yang menjadi panduan  hidup kita. Masih menurut Gus Dur, Islam merupakan “welfare religion”, maka sebenarnya seperti apa bentuk dari negara kita adalah hal yang sekunder, asalkan bentuk tersebut dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Argumentasinya berdasarkan pada dalil ushul fiqih tentang tujuan serta cara mencapainya (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan yang diinginkan dapat dicapai maka urusan bentuk dari cara atau alat merupakan hal sekunder, dengan keharusan cara tersebut tidak bertentangan dengan tujuan. Berikutnya, Sila ke-2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang mengedepankan penghormatan atas hak-hak dasariah dalam diri manusia sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran). Karena Allah, menjadi saksi de­ngan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong­ kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, ka­rena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.al-Ma’idah (5): 8).

Trilogi Ukhuwah dan Musyawarah

Sila ke-3, Persatuan Indonesia relevan dengan konsep Trilogi Ukhuwah menurut ulama besar kita, KH. Ahmad Shiddiq yakni, Ukhuwah Islamiyah (persatuan antar sesama muslim), Ukhuwah Wathoniyah  (persatuan sesama bangsa), dan Ukhuwah Basyariyah (persatuan sesama umat manusia). Allah berfirman; “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengerahui lagi Maha Detail.” (Q.S.al-Hujurat [49]: 13). Berikutnya, sila ke-4 memandu kita guna menyelesaikan segala permasalahan yang ada secara musyawarah (syuura) dan mufakat sebagai jalan dalam menemukan solusi. Allah berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron (3): 159).

Pancasila dan Tujuan Syariah

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsepsi Pancasila adalah, sila pertama dan kedua jadi dasarnya, sila ketiga dan keempat adalah cara atau alatnya, sila kelima merupakan tujuannya. Merujuk pendapat Imam al-Mawardi tujuan substantif negara ialah menjaga agama dan mengatur dunia (rahmatan lil ‘aalamiin). Nilai-nilai Islam dalam Pancasila hadir untuk pemenuhan hak-hak dasar atas umat yang dilindungi (daf’u dlarari ma’shum). Siapakah yang harus dilindungi? Semua warga, tanpa kecuali, termasuk non-Muslim. Demi mewujudkan rahmat Allah ini, yang dibutuhkan tentulah Negara Pancasila yang sesuai nilai Islam. Dalam kacamata Gus Dur, bentuk negara inklusif berdasar Pancasila adalah yang bisa mewujudkannya sesuai tujuan syariah menurut al-Ghazali, yakni perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan atau keluarga, dan harta. Jadi, hadirnya Pancasila harus dipahami secara substantif bervisi rahmat bagi sekalian alam melalui akidah-tauhid, hukum, serta perilaku (akhlak).

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara ternyata relevan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Manifestasi konsep rahmatan lil ‘aalamiin ialah dengan cara menjadikannya kontekstual dan kompatibel dengan kenyataan objektif. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila oleh karena itu merupakan upaya pengamalan nyata ajaran-ajaran Islam. Namun, perlu kita ingat dan pahami Pancasila tidak boleh kita sakralkan, karena mesti melekat kekurangan didalamnya sebagai buah ciptaan manusia, agar kita terhindar dari kesalahan tafsir dan juga menjadikan Pancasila sebagai alat kekuasaan atau stempel kebijakan penguasa. Oleh karena itu kontektualisasi dan implementasi Pancasila perlu dilakukan terus-menerus dan disesuaikan dengan konteks dan semangat zaman yang melingkupinya. Semoga.


[1] Dosen Prodi Teknik Industri UII. Mengampu MKWU Kebangsaan, Keagamaan dan Filsafat. Tulisan ini dimuat dalam artikel Khazanah UII News, Juni 2020.

Posted in Tidak Dikategorikan.