Pancasila Mati Suri

PANCASILA MATI SURI?

Sebuah Refleksi Kemerdekaan RI

Oleh : Alif Lukmanul Hakim, S. Fil, M. Phil

Banyak kalangan memberikan kesaksian dan pendapat bahwa Pancasila di Indonesia setelah hampir 63 tahun bangsa ini merdeka, terutama setelah kekuasaan Orde Baru tumbang dan proses reformasi bergulir, cenderung makin tersisih, termarginalkan, tidak lagi menjadi wacana penting dalam kehidupan publik dan politik. Bagaimana menjelaskan gejala ini? Apakah daya tarik Pancasila yang semakin menurun dalam kehidupan publik dan politik dewasa ini merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan? Atau apakah kekhawatiran ini berlebihan?

Benarkah Pancasila masih bisa dijadikan sebagai falsafah, pandangan hidup bangsa atau bahkan ideologi bangsa Indonesia? Ataukah hanya sekadar mitos an sich yang kini makin atos (keras) – dalam terminologi Dawan Rahardjo — untuk mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari? Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang semakin tidak peduli terhadap Pancasila. Maksudnya ada atau tidak adanya Pancasila bukan menjadi persoalan. Pancasila, dengan kata lain, telah mati suri! Berbeda halnya dengan negara-negara lain di dunia, sebut saja negara tanpa ideologi, seperti beberapa negara Uni Eropa – beberapa negara skandinavia yang mendasarkan pada paham negara kesejahteraan (welfare state) — banyak yang maju, masyarakatnya memiliki tingkat kesejahteraan yang baik dan merata. Hal ini karena tidak terikat oleh doktrin yang totaliter yang membatasi kebebasan berpikir. Akhirnya merekapun bisa bebas berkreasi dan berdialektika dalam ranah pengetahuan serta ranah dan aspek kehidupan yang lain sebagai pengganti dari ideologi semacam Pancasila.

Lantas, seperti apakah Pancasila ’ala Indonesia’ itu harus diterapkan. Dalam kerangka dan nilai seperti apa ia bisa membangun masyarakat, bangsa dan negara. Jawabannya bahwa Pancasila itu harus dapat menjadi semacam korelasi nilai di negara yang plural dan majemuk seperti Indonesia. Sebab, negara yang plural dan majemuk memerlukan landasan nilai dan panduan moralitas serta etika dalam berbangsa dan bernegara. Tanpa Pancasila sebagai sistem nilai, dalam negara, seolah tidak ada lagi penjaga gawang, garis demarkasi dan wasit moral.

Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan esensi Pancasila itu sebagai lima aksioma politik dari nasionalisme Indonesia. Nasionalisme bukanlah filsafat dalam artian yang lazim difahami. Nasionalisme adalah suatu semangat, suatu tekad, dan suatu program aksi atau praksis politik, suatu das Sollen. Sesungguhnya Pancasila memang adalah nasionalisme, yaitu suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa  membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Seperti dikatakan Benedict Anderson, nasion adalah suatu imagined community (Bahar, 2002: 5).Di tengah telikungan kapitalisme global yang dicirikan kondisi pasar dan kekuatan modal yang monopolistik serta arus sosialisme yang dicirikan intervensi total pemerintah, Pancasila sebenarnya merupakan sumber ideologi alternatif. Sifat dan karakter alternatif Pancasila terletak pada beberapa hal.

Pertama, Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka, walaupun tesis yang pertama ini dibantah oleh Onghokham: Pancasila jelas merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’, dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis (Onghokham, 2001: 5). Kedua, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila sifatnya sangat universal. Ketiga, pola pikir keterkaitan kelima prinsip Pancasila dalam kesatuan, dalam terminologi Prof. Notonagoro – almarhum dan salah seorang filsuf dari Fakultas Filsafat UGM. Ketiganya, secara bersama-sama, menjadi simpul perekat yang di(ter)manifestasikan sebagai cara hidup (way of life), dasar negara dan pokok pikiran dalam hukum, kebiasaan (habitus) yang semestinya mewarnai kepribadian bangsa.

Dalam bahasa simbolis kearifan dan kebijaksanaan kultural ’ala Timur’, kesatuan ketiganya dilukiskan dengan realitas telur yang selalu ada pada setiap acara ritual selametan atau kenduri dalam masyarakat Jawa, contohnya. Sebutan telur sebagai akronim tiga yang berdamai (telu kang akur) atau dalam bahasa Jawa tingkat tinggi (krama inggil) disebut tigan, menggarisbawahi kesatuan bulat tiga elemen dasar, yaitu kuning telur, putih telur,dan kulitnya sebagai satu kesatuan utuh. Dalam kearifan dan kebijaksanaan Timur, satu kesatuan utuh dari realitas telur sekaligus merupakan gambaran signifikansi keterpaduan sempurna dari cipta, rasa, dan karsa yang menciptakan kedamaian hati dan kejernihan pikiran.

Demi ”keberlanjutan” NKRI dan kesatuan seluruh warga Indonesia yang aman dan sejahtera, sudah saatnya kita kembali ke sumber ideologi bangsa, yaitu Pancasila, dengan berupaya menafsirkan, menghayati, dan mengamalkannya secara kultural dan kontekstual dalam segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasi sumber ideologi Pancasila dalam tertib hukum yang tegas dan dijalankan dengan professionalitas, kesungguhan, dan dedikasi tinggi akan mengembalikan kepercayaan diri bangsa, menjadi simpul perekat kesatuan, dan semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa.

Kenneth E. Boulding, seorang filsuf dan ekonom internasional ternama pernah menyatakan, “kebenaran yang diakui benar oleh semua orang bukan ideologi yang patut diperjuangkan. Kebenaran yang diakui benar oleh sebagian orang adalah ideologi yang patut diperjuangkan”. Agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa tetap mempunyai semangat untuk diperjuangkan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia, kita perlu berbesar hati bahwa Pancasila belum diterima sepenuhnya oleh semua elemen dalam masyarakat. Oleh karena itu kita harus terus menggali dan mengkontekstualisaikan nilai-nilai luhur Pancasila dengan konteks perubahan zaman.

Pancasila, yang sejak tahun 1945 telah dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, mungkin memang masih memerlukan pengembangan, pendalaman dan penjabaran konseptual agar dapat menjadi sebuah paradigma dan ideologi yang handal. Pengembangan, pendalaman dan penjabaran  ini ini amat urgen, oleh karena amat sukar membayangkan akan adanya sebuah Indonesia, yang dalam segala segi amat majemuk, tanpa dikaitkan dengan Pancasila.

Pancasila – ditengah usia bangsa kita yang telah menginjak 63 tahun kemerdekaan — perlu disosialisasikan kembali secara kultural agar dipahami oleh dunia sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan, serta demokratis. Pancasila harus menjadi sebuah ideologi yang bertipikal pathfinder (kreatif) dalam menciptakan dan menemukan dataran-dataran baru bagi upaya memahami realitas kebangsaan kita secara lebih menyeluruh (baca: utuh). Hanya dengan mencapai kondisi bangsa yang maju, sejahtera, berkeadilan dan demokratis bangsa Indonesia dapat menjadi salah satu bangsa yang disegani di dunia. Saat itulah Pancasila berpotensi untuk diterima oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia pun akhirnya dapat berperan sentral dalam kehidupan internasional.

Harus menjadi tugas kita bersama untuk mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju melalui upaya kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila harus selalu terbuka dan membuka dirinya untuk diinterpretasi tentunya dalam koridor keilmuan yang kritis dan ilmiah. Dengan demikian, diharapkan Pancasila akan selalu up to date, relevan serta kompatibel dengan kondisi masyarakat dan zaman yang melingkupinya serta mengawal bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan kebangsaannya sebagai sebuah bangsa. Karena itu, Pancasila sebagai perekat bangsa dan sebuah ideologi, dengan penafsiran terbuka masih mampu berperan sebagai jembatan multikultur. Tentu saja dengan membuat penafsiran baru akan semakin memberi nuansa pemikiran yang bisa mempersatukan dalam perbedaan dan membedakan dalam konteks kebersamaan. Semoga.