An Nissa Romadhonna (13320298)

“Even if you think, you don’t already have a philosophy you actually do”.

Sebelum saya tahu lebih jauh tentang mata kuliah filsafat sebenarnya pada saat kelas 11 SMA saya telah mendengar istilah filsafat dari beberapa orang di sekitar saya. Beberapa orang yang mengatakan kepada saya bahwa filsafat itu bisa membuat orang yang mempelajarinya menjadi atheis, kafir, atau “belajar gila” dan bermacam-macam stereotipe negatif lainnya. Saat duduk dibangku kelas 11 SMA saya mulai berpikir, apa iya filsafat ilmu yang mengajarkan saya menjadi seperti itu? Masa sih filsafat seperti itu? Namun pertanyaan saya pada saat itu tidak dapat terjawab. Saya tidak tahu harus menanyakan pertanyaan ini kepada siapa.

Di bangku kuliah semester dua, saya mendapat mata kuliah wajib salah satunya adalah filsafat. Saya merasa senang karena mendapatkan mata kuliah yang baru dan paling saya tunggu. Awal pertemuan seperti biasa dosen memperkenalkan diri . Dosen filsafat saya bernama Bapak Alif Lukmanul Hakim. Setelah memperkenalkan diri beliau memulai materi dengan bertaya “ Ada yang tahu apa itu filsafat ?“. Saya langsung mengangkat tangan dan beliau menanyakan siapa nama saya dan apa filsafat menurut saya . Saya menjawab “dari yang saya dengar pak filsafat itu katanya membuat gila”. Lalu beliau beralih menayakan pendapat teman satu kelas saya yang lain mengenai apa itu filsafat.

Setelah terkumpulkan beberapa pendapat dari teman saya akhirnya semua pendapat dijlaskan satu persatu. Dengan suara lantang beliau mengatakan “Filsafat itu tidak membuat gila, sama sekali tidak membuat gila” dengan mimik wajah yang menurut saya marah dengan tatapan mata yang tajam dan terbuka lebar. Saya merasa tersudutkan dari jawaban saya sendiri. Entah kenapa saya merasa bersalah atas apa yang saya katakan . Saya berusaha untuk merasa biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.

Setalah beberapa waktu berlalu beliau menjelaskan berfilsafat itu sebenarnya adalah perintah dari Allah, dan dalam Al-Qur’an Allah mengajak umat manusia untuk berpikir. Dan berpikir itu adalah bagian dari filsafat. Antara Ilmu pengetahuan dengan Al-Qur’an itu tidak ada pertentangan sama sekali. Persoalan filsafat pada dasarnya adalah bahasan dari persoalan kehidupan. Filsafat mempertanyakan jawaban dari ilmu. Akhirnya pertanyaan saya sudah terjawab bahwa filsafat sama sekali tidak seperti yang mereka katakan.

Dari penjelasan beliau filsafat di dalam bahasa Arab yaitu “faslafah”. Sementara dalam bahasa Yunani filsafat disebut “philosophia” yang merupakan kata majemuk dari philos dan sophia. Philos artinya cinta, sahabat, atau kekasih. Sophia artinya “kebijaksanaan”. Maka boleh dikatakan bahwa filsafat itu usaha untuk mencintai kebiaksanaan atau kearifan. Luar biasa.

Filsafat mengajarka agar berfikir yang berbeda dengan yang lain, dalam arti berfikir secara outbox. Menggunakan sudut pandang yang luas atau tidak terbatas. Memandang sesuatu menggunakan jarak dan membangun sudut pandang. Dengan melibatkan rasa tahu yang tinggi. Di akhir pertemuan kami di beri tugas untuk membaca halaman 5 pada buku persoalan filsafat. Itu yang saya ingat dari pertemuan pertama.

Pada pertemuan kedua dalam mata kuliah filsafat sangat menarik. Dalam penyampaian materi pak Alif memberi pandangan masalah politik dan ekonomi yang dikaji secarah fislafat. Sebuah permasalahan global yang sedang hangat-hangatnya yaitu hilangnya salah satu pesawat milik Malaysia. Dari paparan penjelasan beliau yang saya tangkap dalam gambaran dan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kehidupan, menuntun,dan mengantarkan seseorang pada dunia pemikiran yang sangat mendasar dan substansial. Sehingga dalam mengkaji permasalahan secara berfislafat dibutuhkan sikap radikal, kritis, rasional, reflektif, konseptual, koheren, konsisten, sistematis, metodis, komprehensif, bebas dan bertanggung jawab. Dalam menjelaskan kepada siswa beliau menggunakan cara yang sangat menarik. You’re awesome , Sir!

Dapat saya simpulkan bahwa filsafat adalah suatu tindakan, suatu aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar. Mengaplikasikan kebiasaan menganalisis segala sesuatu dalam hidup seperti yang diajarkan dalam metode berfilsafat sangat diperlukan bagi saya dan mahasiswa lainnya. Secara langsung akan menjadikan mahasiswa cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam masalah. Dengan berfilsafat mahasiswa selalu dilatih untuk berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan mendalam. Cara berpikir seperti Itulah yang diharapkan dari para generasi penerus bangsa.

 

Mengapa Ganjar & Heru (PDIP) Unggul Telak pada Pilgub Jateng 2013?

Propinsi Jawa Tengah yang terkenal sebagai basis massa PDIP atau “pengikut loyal” sejak dahulu masa Bung Karno dengan PNI nya, pada Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur yang baru saja berlangsung 26 Mei 2013, hari ini, mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko.

Berdasarkan hasil hitung cepat (Quick Count) pasca pencoblosan tadi pagi hingga siang ini berbagai lembaga survey menunjukkan keunggulan telak mereka. Keunggulan telak ini – untuk tidak mendahului penghitungan resmi versi KPUD Jateng – dapat terjadi bisa dilihat dari berbagai analisis.

Pertama, secara hitung-hitungan kursi anggota di DPRD Jawa Tengah, peluang pasangan GAGAH yang diusung sendirian (tanpa koalisi) oleh PDIP adalah yang paling rendah dibanding dua pasangan yang lain yaitu Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo dan Hadi Prabowo -Don Murdono. PDIP yang mengsung GAGAH saat ini di DPRD Jawa Tengah hanya menguasai 23 kursi, sangat sedikit bila dibandingkan dengan koalisi Golkar, PAN, dan Partai Demokrat yang mengusung Bibit-Sudijono menguasai 37 kursi. Apalagi jika dibandingkan dengan koalisi PPP, PKB, Hanura, Gerindra, PKNU, dan PKS, yang mengusung Hadi-Prabowo menguasai kursi terbanyak yaitu 40 kursi. Tetapi konfigurasi atau peta politik penguasaan kursi terbanyak di DPRD tidak menjamin pasangan yang diusung oleh partai atau koalisi partai tersebut dijamin akan memenangi Pilgub. Contoh paling nyata dari hal ini adalah kemenangan pasangan Jokowi-Ahok di Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, dan kini hamper terbukti juga di Pilgub Jateng bukan?

Kedua, walaupun tantangan utama pasangan GAGAH adalah dari petahana (incumbent) dalam hal ini adalah Bibit Waluyo (Sang Gubernur Jateng saat ini) yang berpasangan dengan Sudijono (Rektor Universitas Negeri Semarang). Serta di banyak daerah petahana memiliki kecenderungan memenangi pilgub karena masyarakat sudah melihat hasil kerjanya dan terhadap calon gubernur baru orang belum melihat hasil kerjanya. Namun, perlu diketahui selama ini anggapan bahwa Bibit bersama Rustriningsih berhasil membawa pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah positif dan memperkenalkan semboyan “Bali Ndeso Mbangun Deso” adalah tidak sepenuhnya benar di mata mayoritas masyarakat Jateng. Mengapa demikian? Karena mayoritas menganggap, factor Rustriningsih lah (sang Wakil Gubernur incumbent) yang berperan di belakang layar. Tak kalah menariknya, banyak pendapat yang mengatakan bahwa Bibit punya kelemahan berupa gaya bicaranya yang ceplas-ceplos dan sering memancing kontroversi. Karena pernyataan-pernyataannya maka Bibit sering konflik dengan Jokowi ketika masih menjabat walikota Solo. Dan terbukti, factor “melawan” petahana inipun belum tentu merupakan faktor lemah Ganjar-Heru. Lagi-lagi pengalaman di beberapa daerah menunjukkan bahwa banyak petahana yang kalah. Dan lagi-lagi DKI Jakarta bisa menjadi contoh dimana Fauzi Bowo sebagai petahana dapat kalah karena tak mampu “melawan” desakan “perubahan” dan kuatnya mesin politik partai seperti PDIP berjalan dan bekerja secara optimal.

Faktor ketiga, kita perlu mengingat kembali “manuver cantik” atau langkah yang brilian dari PDIP yang mendongkrak popularitas Ganjar-Heru di dunia maya lewat twitter, Facebook, website, dan blog. Hasilnya pasangan ini paling populer di dunia maya, paling banyak diliput oleh media online, dan memiliki simpatisan yang banyak. Lewat kampanye di dunia maya tersebut (terbukti mampu menggaet kalangan muda/anak muda) pasangan Ganjar-Heru juga unggul dalam semua kategori yaitu trend of awareness, candidate electability, share of citizen, dan media trend, serta competency dan “keberpihakan” pada rakyat kecil (petani dan nelayan terutama, lewat program kartu nelayan dan kartu petani yang ditawarkan). Dan yang tak boleh dikesampingkan sama sekali adalah, Faktor JOKOWI FANS CLUB dan semangat perubahan yang ditawarkan, selain faktor media di dunia maya, di saat masa kampanyepun terbukti dengan magnet Jokowi bisa dilakukan kampanye dan sosialisasi yang efektif untuk memperkenalkan dan menarik minat pemilih terhadap GAGAH. Misalnya lewat penghadiran kembali Jokowi sebagai Juru kampanye. Faktor Jokowi sangat determinan pula untuk menjadi simbolisasi “perlawanan” terhadap arogansi incumbent (Bibit Waluyo sang Gubernur Petahana).

Selain analisis-analisis yang saya hadirkan terkait keunggulan telak sementara Ganjar & Heru versi Quick Count, kita semua harus sama-sama memahami bahwa, mayoritas warga Jateng sudah sangat cerdas, dan juga cukup melek politik. Terutama kalangan marginal seperti Nelayan dan Petani. Mereka pasti secara cerdas akan melihat program yang di usung dan ditawarkan oleh calon mana, yang memiliki keberpihakan terhadap keberadaan dan kelangsungan (ke)hidup(an) mereka sehari-hari. Ingat, jumlah mereka (petani dan nelayan) sangat banyak di jateng, terutama wilayah Pantura (Pantai Utara). Dan sekali lagi Ganjar & Heru (PDIP) berhasil menggaet mereka dengan cerdas. Semoga, jika memang terpilih secara resmi sebagai pemenang Pilgub Jateng 2013 ini, mereka dapat amanah, berpihak, dan mampu mewujudkan janji perubahan yang disampaikan saat kampanye. Semoga.

Tahun 2013: Tahun Revitalisasi Gerakan Pramuka Indonesia

Gerakan Pramuka kita ketahui bersama merupakan wadah untuk membina dan mendidik generasi muda, agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki karakter-kepribadian yang berwawasan kebangsaan, mandiri, terampil dan berpengetahuan, sehat dan kuat jasmani serta memiliki kepekaan sosial tinggi akan realitas sosial yang mengemuka di hadapannya. Karena itu, gerakan Pramuka mempunyai tugas pokok untuk menjadi tunas-tunas bangsa yang progressif-transformatif agar menjadi generasi revolusioner dan bertanggung jawab dalam keikutsertaannya membangun masyarakat.
Para anggota Pramuka harus menyadari bahwa mereka adalah tunas atau pemuda harapan bangsa. Pemuda atau generasi muda menjadi istilah yang begitu populis dan sarat dengan nilai. Hal ini karena keduanya mempunyai makna yang bersifat ideologis, sosiologis dan kultural. Munculnya adagium “Pemuda harapan bangsa”, “Pemuda pemilik masa depan” atau “Pemuda sebagai generasi penentu dan tulang punggung bangsa” yang sering dilekatkan pada istilah di atas semakin menunjukkan, betapa besarnya nilai yang terkandung di dalamnya.
Salah satu tugas gerakan Pramuka Indonesia ke depan, masih tetap saja sama yakni, menyiapkan tunas-tunas bangsa yang berwawasan kebangsaan, serta rangkaian tugas-tugas lain sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Bentang sejarah selama 51 tahun sejak berdirinya, telah banyak hasil yang dicapai oleh gerakan Pramuka. Gerakan Pramuka telah menjadi organisasi kepemudaan yang memiliki kader terbanyak di seluruh tanah air, bahkan di seluruh dunia – jika kita menggabungkan jumlah seluruh anggota pramuka yang ada di dunia tentunya. Ragam warna aktivitas kepramukaan telah menyentuh hampir seluruh tunas bangsa, dari usia SD hingga mahasiswa. Mulai dari tunas siaga, penggalang, penegak dan pandega, serta satuan-satuan karya, menjadi tempat berhimpun tunas-tunas muda bangsa kita. Luar biasa bukan?!
Dibalik modal sosial (social cost) yang sangat besar tersebut, ternyata juga muncul keprihatinan yang mendalam karena mulai berkurangnya minat para tunas bangsa akhir-akhir ini, untuk aktif dalam gerakan Pramuka. Seperti pada tulisan saya sebelumnya – berjudul ”Quo Vadis Gerakan Pramuka Indonesia” yang juga dimuat pada rubrik koran Pikiran Rakyat pada 2008– upaya untuk melakukan “Revitalisasi Gerakan Pramuka” menjadi suatu keniscayaan yang tak terbantahkan lagi. Yakni, revitalisasi pada metodologi dan bentuk kegiatan yang sering kurang sesuai dengan perkembangan anak-anak muda pada masa sekarang. Revitalisasi gerakan Pramuka yang saya maksudkan mencakup upaya yang harus dilakukan secara komprehensif (baca: utuh), teragenda, sistematis dan memiliki keberlanjutan (sustainibility) untuk mengaktifkan kembali, peran, fungsi dan kegiatan pokok gerakan Pramuka yang transformatif. Selain itu, revitalisasi gerakan Pramuka juga harus mampu menjadi sistem pendukung (supporting system) bagi revitalisasi sistem dan manajemen pendidikan nasional yang compatible dengan konteks dan kultur Indonesia.
Melalui revitalisasi yang menyeluruh (baca: utuh) diharapkan gerakan Pramuka dapat diterima dan diminati kembali oleh para tunas muda harapan bangsa. Dengan melakukan revitalisasi ini pula semoga mampu dihasilkan bentuk baru kegiatan Pramuka yang akan secara cerdas dan efektif mampu menjadi penyaring, atau bahkan pencegah dari berbagai masalah yang dihadapi tunas-tunas muda bangsa. Pada tahun 2013 ini gerakan Pramuka harus menemukan formulasi paradigma baru yang akan menjadi bingkai bagi tata kelola organisasinya secara inovatif-transformatif. Tidak boleh dilupakan pula kualitas individu dan kelembagaan harus ditingkatkan terus-menerus melalui dibukanya saluran partisipasi dan keikutsertaan yang lebih luas.
Selanjutnya, yang lebih terpenting lagi adalah, penghayatan Satya dan Dharma dari gerakan Pramuka sesungguhnya terletak pada kemampuan para anggota gerakan Pramuka dalam menggali pesan-pesan moral dan spiritual yang terkandung didalamnnya serta terkodifikasi pada kode etik dan Prinsip-prinsip Dasar Metodik Pendidikan Kepramukaan (PDMPK) . Dengan demikian, gerakan Pramuka akan menjadi wadah dan sarana yang ideal dan efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual para tunas muda bangsa. Gerakan pramuka memang bukanlah organisasi yang baru seumur jagung. Gerakan pramuka adalah organisasi kepemudaan yang bersifat universal tanpa ada pengkotak-kotakan. Agar gerakan Pramuka tetap eksis di Indonesia, gerakan pramuka tidak hanya berbasis di sekolah-sekolah saja, namun juga harus mampu melebarkan sayap di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Selain itu, gerakan pramuka harus terus menyesuaikan dengan konteks zaman kekinian yang melingkupi kehidupan tunas muda bangsa.
Last but not least. Pada tahun 2013 ini, upaya untuk menghasilkan suatu undang-undang tentang gerakan Pramuka yang baru yang merevisi ulang UU No. 10 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka harus terealisasikan. Seharusnya Kwartir Nasional gerakan Pramuka memiliki inisiatif ekstra untuk segera merealisasikannya dengan mengajukan draft rancangan undang-undang kepramukaan baru yang lebih komprehensif kepada lembaga eksekutif (pemerintah) dan lembaga legislatif (DPR). Langkah ini harus segera dilakukan, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sebenarnya telah mencanangkan revitalisasi gerakan Pramuka Indonesia pada peringatan hari Pramuka 14 Agustus 2006. Rentang waktu hampir tujuh tahun semoga tidak menyurutkan langkah kita untuk segera merealisasikan cita-cita luhur tersebut. Mampukah kita mewujudkannya? Semoga.
Tulisan asli dari artikel ini pernah dimuat dalam Koran Pikiran Rakyat Bandung tahun 2008. Beberapa hal penulis ganti, untuk menyesuaikan waktu di masa kini.