Fenomena Pluralitas Agama

FENOMENA PLURALITAS AGAMA

Oleh : Alif Lukmanul Hakim, S. Fil

Dewasa ini kenyataan pluralisme agama semakin disadari oleh banyak pihak. Namun kesadaran semacam ini tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan lewat perkembangan pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa. Sejarah mencatat banyaknya perang dan perebutan kekuasaaan ataupun perebutan pengaruh antara agama-agama di masa lampau. Itu berarti bahwa kemajemukan (keberagaman menurut penulis) agama sudah lama dialami oleh bangsa-bangsa, meskipun dalam perspektif pemikiran yang berbeda dari sekarang (Dhavamony, 1973)

Pengantar
Selama ini, jika berrbicara tentang tema pluralitas atau kemajemukan agama, maka persepsi kita pertama-tama selalu pada usaha untuk menciptakan hubungan dialogis antarumat bergama melalui dialog demi tercapainya kerukunan antarumat beragama. Dan satu hal yang paling ditonjolkan adalah masalah iman (kepercayaan). Sebenarnya pluralitas menurut Diana Eck (Diana Eck adalah seorang guru besar di Harvard University dan juga tokoh wanita dalam kepengurusan Dewan Gereja-gereja se- Dunia di Genewa, Swiss), mengandung pengertian : “pluralitas” tidak sama dengan “kemajemukan”. Menurutnya, “pluralitas” mengacu pada adanya hubungan saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda, sedang “kemajemukan” (diversitas) mengacu kepada tidak adanya hubungan seperti itu di antara hal-hal yang berbeda. Dengan demikian pluralitas meniscayakan adanya dialog antar semua umat beragama. Dalam The Oxford English Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai Keberadaan atau toleransi keberagaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Pengertian di atas melekat (inherent) didalamnya agama sebagai sebuah entitas yang mempunyai keberagaman (pluralitas) dengan karakteristik tersendiri.
Atas dasar pandangan di ataslah, banyak para agamawan, praktisi dan para intelektual berpendapat, sangat signifikan dalam konteks kali ini bagi kita untuk melakukan perubahan dalam berteologi. Dengan demikian, iman atau kepercayaan akan berakar pada pengalaman sejarah masing-masing agama, dan pluralitas agama menjadi dasar historis bagi terciptanya spirit (semangat) dan dinamika dalam agama-agama untuk tetap eksist dan mampu menjawab isu-isu kontemporer. Untuk mewujudkan dan mendukung konsep pluralisme dalam beragama tersebut, mutlak diperlukan adanya toleransi dalam beragama. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya keberagaman dalam dimensi sosial, budaya, politik, dan dimensi kehidupan lainnya, pada kenyataannya permasalahan toleransi sebagai salah satu fundamen bagi pluralisme agama masih belum menemukan pijakan yang mantap dan kokoh. Oleh karena itu sudah menjadi sebuah konsekuensi logis apabila pluralitas harus mengacu kepada adanya kebersamaan dan keutuhan. Dengan demikian kita tidak lagi dapat membatasi diri pada pembicaraan tentang pluralitas itu sendiri. Memang, walaupun terdapat beragam faktor perbedaan di antara agama-agama, terdapat sejumlah kesamaan yang cukup berarti di antara mereka. Hal ini terbukti ketika pengertian terhadap saling ketergantungan (pluralitas) telah mengukuhkan suatu paradigma atau cara pandang tentang kesatuan dalam bentuknya yang baru. Salah satu indikasinya adalah, agama mmembawa dampak yang luas terhadap kehidupan seseorang, baik dalam hal pemenuhan kebutuhan fisik, ekonomi, politik dan sebagainya.

Motif dan karakteristik Pluralitas dalam Agama
Secara teologis-normatif – dalam terminologi Amin Abdullah — setiap agama pasti memiliki kepercayaan dan konsep teologisnya sendiri-sendiri, yang tak mungkin dipersatukan dengan agama dan atau kepercayaan yang lainnya. Semua agama memiliki kebertujuan — dimensi teleologis – sendiri-sendiri dalam konteks memberikan arah jalan keselamatan bagi pemeluknya. Namun bukan berarti agama-agama yang ada tidak akan mendapatkan titik persinggungan atau perjumpaan secara konseptual. Bisa jadi, di antara titik-titik persinggungan dan titik pemisah (dimensi-dimensi teologis-normatif) yang terdapat dalam hubungan antaragama lebih banyak titik-titik persinggungannya. Namun titik-titik persinggungan antar agama ini menurut Alwi Shihab tidak dimaksudkan sebagai sebuah model sinkretis, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari berbagai agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut atau bahkan upaya eklektik, melainkan membangun sebuah model atau proses dialog yang “sadar” antar umat agama (Alwi Shihab, 1998: 42).
Melalui model dialog antar agama seperti itu diharapkan akan dapat mengantarkan teologi antar agama yang didasarkan atas pemahaman akan adanya hubungan kebenaran relatif dalam agama-agama dengan kebenaran absolut yang melibatkan dan melampaui kebenaran relatif tersebut. Inilah yang dinamakan oleh para ahli studi perbandingan agama (comparative religions) dan para agamawan transformatif sebagai teologi atau konsep inklusif beragama dalam kaitannya dengan hubungan antar agama.

Orientasi Fenomena Pluralitas dalam Agama
Kita harus menetapkan orientasi atau arah tujuan bersama dalam menciptakan kehidupan keberagamaan yang menghargai pluralitas, menjunjung kebersamaan dan menghilangkan sekat-sekat primordialistik dalam beragama. Pada masyarakat plural, multireligius atau interreligius, tuntutan akan lahir dan munculnya spiritualitas keberagamaan yang sejuk, ramah, dan saling me-ngayomi satu sama lain, sangatlah didamba-dambakan. Untuk mewujudkan itu semua, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah membuka pintu dialog secara terbuka, rasional, dan lepas dari tendensi serta kecurigaan yang tak beralasan. Mampukah kita mewujudkannya?Semoga.

DAFTAR PUSTAKA
.
Dhavamony, Mariasusai. 1973. Fenomenologi Agama. Diterjemahkan oleh Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Knitter, Paul F., 2003. Satu Bumi Banyak Agama. Diterjemahkan oleh : Nico A. Likumahuwa. Jakarta: PT. BPK GUNUNG MULIA.
Kuswanjono, Arqam. 2001. Titik temu Pemahaman Ketuhanan. Dalam Revitalisasi Islam. Editor : Arqam Kuswanjono, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar&UGM.
Shihab, Alwi., 1998. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.

Makna Agama Ditinjau dari Definisi Agama

MAKNA AGAMA DITINJAU DARI DEFINISI AGAMA
Agama Sebagai Fitrah Manusia

Oleh : Alif Lukmanul Hakim

Agama dan Fitrah Manusia : Sebuah Pengantar

Seperti anggapan beberapa ahli sejarah agama, bahwa agama telah ada dan sama tuanya dengan umur masyarakat manusia di dunia ini, dari sejak masyarakt primitif sampai masyarakat modern. Dengan semakin banyaknya kunci-kunci pengetahuan modern, yang dapat membuka pintu-pintu tertutup masa lampau, maka semakin banyak kita dapat mempelajari – bahkan tentang agama-agama purba – dalam masyarakat manusia di muka bumi ini. Semakin banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa semua masyarakat pada zaman lampau telah memiliki satu hal yang sama yaitu beberapa bentuk agama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah agama adalah sejarah usaha manusia untuk memurnikan dan memperdalam pengertian tentang Tuhan (agama).
Bentangan pandangan kesejarahan di atas sudah tentu benar bilamana dikorelasikan serta direlevansikan dengan pengertia “agama” dalam ruang lingkup yang lebih luas, tetapi dalam ruang lingkup yang lebih sempit, maka masih diperlukan analisis yang lain, karena – dalam pengertian atau ruang lingkupnya yang sempit – agama diartikan sebagai “wahyu dari Allah (Tuhan) an sich. Akan tetapi hampira sebagian besar agama sepakat dan berpendapat bahwa masyarakt manusia mulai timbul sejak turunnya Adam dan Hawa dari Surga ke dunia, maka berarti masyarakat pertama (Adam dan Hawa beserta anak-anaknya) telah beragama dengan tuntunan kewahyuan dari Allah (Tuhan).(H.M. Arifin, 1987: 7).
Dalam perkembangannya, agama selalu ada bersama-sama dengan masyarakat. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya — sepanjang rentang kesejarahan manusia – manusia senantiasa beragama, karena manusia adalah manusia yang memiliki “fitrah beragama” yang oelh C.G. Jung di sebut Natuliter Religiosa (bakat beragama) itu. Dalam konteks Filsafat dan Teologi ada yang memandang manusia sebagai “homo divinans” (mahluk ber-Tuhan) atau “homo religios” (mahluk beragama) karena di dalam kehidupan psikologisnya memiliki suatu bakat alam atau instink agama. Instink agama termasuk ke dalam instink pokok manusia. Atau dengan kata lain beragama termasuk salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, yakni kebutuhan biologis, kebutuhan spiritual, dan kebutuhan sosial.

Untuk Siapa Kita Beragama

Salah satu pertanyaan paling fundamental ketika kita memperbincangkan masalah agama dan keberagamaan sesungguhnya adalah : untuk siapa kita beragama? Ini kelihatannya merupakan permasalahan sepele tetapi sebenarnya memiliki dua implikasi sekaligus, yakni teologis dan sosiologis.(Umaruddin Masdar, 2001: 135). Munculnya permasalahan atau paling tidak gejala sektarianisme dan sikap tidak menghargai toleransi dalam beragama berpangkal dari ketidakmampuan dan ketidakseriusan dalam merumuskan jawaban atas dua pertanyaan di atas tadi.
Oleh karena itu kita harus menghindari dua tipikal keberagamaan yang dapat menyebabkan ketidakrukunan atau tiadanya toleransi akan pluralitas dalam beragama yang sangat tidak sesuai dengan fitrah agama itu sendiri. Kita harus menghindari eksklusivitas atau elitisme dalam beragama. Merasa diri paling benar dalam beragama (truth claim) harus kita buang jauh-jauh
Penutup
Agama sebagai fitrah manusia memiliki dua cakupan penting, yaitu 1) agama adalah untuk diri kita (manusia) sendiri dan 2) agama adalah untuk kemanusiaan (as humanity). Dua cakupan ini mengandung arti bahwa agama bukan untuk agama itu sendiri! Mengapa? Karena keberagamaan – seperti yang telah dikemukakan di awal – merupakan suatu konstruksi sosial, artinya selalu berada bersama-sama denga adanya masyarakat. Beragama (keberagamaan) – yang merupakan fitrah manusia – merupakan proses dialog yang panjang dalam kehidupan dalam memahami teks-teks agama untuk kemudian diyakini dan diamalkan. Fastabiqul Khairaat.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M. 1987. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar.Jakarta: Golden Terayon Press.
Dhavamony, Mariasusai.1998. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Masdar, Umaruddin. 2001. Agama Orang Biasa. Yogyakarta: KliK.
Rasjidi, H.M., 1983. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Konsepsi Tentang Tuhan dan Masalah Immortalitas Jiwa

KONSEPSI TENTANG TUHAN DAN MASALAH IMMORTALITAS JIWA : SEBUAH DISKURSUS YANG TAK KUNJUNG USAI

Oleh : Alif Lukmanul Hakim, S. Fil

Sekadar Pengantar

Kepercayaan kepada Tuhan, dalam berbagai bentuk dan variannya, telah mendapat tempat yang sangat penting dan substansial dalam kepercayaan agama dan kehidupan manusia. Bentangan kesejarahan manusia telah menunjukkan begitu bergantungnya manusia terhadap sesuatu di luar diri dan jangkauannya dalam lingkup kehidupan mereka. Kebergantungan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, menurut tingkat kemajuan intelektual dan kondisi kultural, sosiologis, antropologis serta geografis dimana manusia berada. Mulai dari hanya sekadar mitos-mitos atau takhyul sampai kepada konsepsi-konsepsi agama yang lebih dapat diterima oleh akal dan berkesesuaian dengan ajaran agama yang bersangkutan.
Dalam membicarakan tentang atau kepercayaan kepada Tuhan, ada tiga hal yang jangan sampai terlupakan oleh kita. 1) Kita harus membedakan antara Tuhan dan ide tentang Tuhan. Manusia sebagai Animal Sybolicum menggunakan simbol-simbol dalam segala dimensi kehidupannya, dan simbol akan berubah karena adanya perkembangan intelektualitas manusia dan pengetahuannya. Tetapi jika seseorang mengatakan jika Tuhan itu ada dan bereksistensi, hal ini berarti bahwa ide tentang Tuhan bukan hanya ide yang terdapat dalam pikiran manusia akan tetapi menunjukkan sesuatu Dzat yang real, yang ada dan tidak bersandar kepada apapun yang ada di dunia ini. 2) Manusia telah menyembah Tuhan sebelum munculnya doktrin dan persoalan-persoalan filsafat tentang Tuhan. Ketika manusia menemukan kelompok-kelompok masyarakat lain yang mempunyai ide dan konsepsi tentang Tuhan yang berbeda dengan konsepsinya, maka akan timbul perdebatan dalam dirinya manakah konsepsi tentang Tuhan yang yang paling benar? Dari sinilah mulai muncul tesis dan antitesis baru tentang konsepsi Tuhan yang saling bersinggungan seiring perkembangan pengetahuan dan kecerdasan manusia dalam bingkai kesejarahan manusia tentunya. 3) Tidak adanya pandangan atau ide tentang Tuhan yang paling benar dan valid, atau dengan kata lain tidak ada finalitas atau argumentasi yang memadahi dalam menghadirkan kosepsi tentang Tuhan. Yang ada adalah kebenaran-kebenaran yang sifatnya parsial dan temporal dan menuju kepada Kebenaran Mutlak (dalam K besar) atau kebenaran Ilahiah.

Pembahasan
I. Perbincangan Seputar Sifat-sifat Tuhan dan Konsepsi tentang Tuhan
A. Sifat Tuhan sebagai Person.
Berbicara tentang Tuhan sebagai Person berarti masuk kepada terminologi Theisme atau keprcayaan kepada Tuhan yang bersifat person, yang menciptakan dunia dan berpartisipasi secara imanen dalam proses-proses alam. Jadi ada hubungan “Aku” dan “Kamu” antara Tuhan dan mahluknya. Monotheisme dan Polytheisme adalah varian dari Theisme.

B. Sifat Tuhan yang transenden atau paham Deisme.
Sifat Tuhan yang memberikan izin kepada alam untuk bertindak dan berjalan tanpa adanya campur tangan atau partisipasi Tuhan setelah Ia menciptakannya. Tuhan ibarat seorang pembuat jam. Aliran atau konsepsi tentang Tuhan ini begitu digandrungi oleh orang-orang pada abad ke-18 yang menekankan transendensi Tuhan (Titus, Smith, Nolan, 1984: 467).
C. Sifat Tuhan yang bereksistensi secara total atau Pantheisme.
Tuhan dianggap berada dalam segala sesuatu, dan segala sesuatu berada didalam Tuhan. Pantheisme mungkin bersifat personal atau non-personal. Eksistensi total adalah realitas yang mengandung segala sesuatu (Titus, Smith, Nolan, 1984: Ibid. Hlm. 467).
D. Tuhan itu baik dan bertindak baik atau Beneficent
Percaya kepada Tuhan menunjukkan keyakinan manusia bahwa ada kebaikan abadi. Jika ada yang disuruh memilih antara memberi definisi Tuhan sebagai Yang Baik dan Yang Maha Kuasa, mereka yang disuruh memilih tentunya akan meilih yang pertama. Yakni, bahwa Tuhan itu Maha Baik. Dengan begitu maka orang akan merasa bahwa Tuhan berjuang dengan kita dan untuk kita (Ibid. Hlm. 467).

II. Sebab-sebab Tidak Percaya Kepada Tuhan

A. Adanya kejahatan dan ketidakadilan di dunia telah menjadi rintangan bagi kepercayaan akan konsep Tuhan Yang Maha Baik dan konsep tentang Tuhan dan keagamaan lainnya.
B. Alasan Mendasar lainnya bagi ketidakpercayaan akan Tuhan adalah keyakinan bahwa kepercayaan hanya merupakan hasil dari pikiran harapan atau proyeksi manusia saja (wishful thinking) – dalam bahasa Titus, Nolan, Smith – dan kebiasaan yang ada dan terjadi dalam masyarakat manusia.
C. Rintangan lain untuk mempercayai adanya Tuhan adalah kenyataan faktawi bahwa kata Tuhan hanyalah ekspresi bahasa atau simbol dan bahkan asumsi semata yang telah kehilangan arti dan makna apalagi telah kehilangan daya pikatnya pada kehidupan mansuia modern yang sangat positivistik dan mekanistik-reduksionistik.

Penutup
Immortalitas Jiwa : Kelangsungan Hidup Setelah Mati
Diskursus mengenai ada atau tidak adanya kehidupan setelah mati telah menghiasi bingkai kesejarahan manusia semenjak dahulu kala. Apakah ada kehidupan setelah mati – atau dengan kata lain apakah ada kehidupan yang abadi? – merupakan pertanyaan yang memang belum dapatdijawab secara tuntas oleh manusia. Dalam teologi kristiani dan teologi Islam sangatlah penting dan perlu untuk mempercayai adanya kehidupan setelah mati yang bersifat abadi (Kenny, Anthony, 2003: 3. Terjemahan Fakhruddin Faiz).
Kepercayaan terhadap hidup personal sesudah mati mungkin mengandung beberapa arti : 1) Arti biologi, sosial, atau hidup kembali secara personal atau impersonal. 2) Pandangan keagamaan Barat dicontohkan oleh sikap setuju dari agama Yahudi, Kristen dan Islam terhadap kelangsungan hidup personal setelah mati. Tentunya kesemuanya akan kembali lagi kepada kita selaku manusia yang bebas untuk memilih untuk percaya atau tidak percaya. Fastabiiqul Khairaat.

DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie, Musa. 1999. Filsafat Islam : Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.

Hammersma, Harry. 1986. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Kenny, Anthony. 2003. Bertuhan ala Filsuf. Diterjemahkan oleh Fakhruddin Faiz. Yogyakarta: Qalam.

Solomon, Robert. C., Kathleen M. Higgins. 2002. Sejarah filsafat. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Yogyakarta: Bentang.

Syarif, M.M., 1993. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Titus, Smih, Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat. Diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.