Pengetahuan Manusia

PENGETAHUAN MANUSIA
oleh: Alif Lukmanul Hakim

Sekadar Pengantar
Salah satu keunikan yang menjadi ciri khas dan menjadi lambang kemanusiaan dari manusia adalah berpikir. Berpikir merupakan kegiatan yang selalu dilakukan manusia. Hampir selalu problematika dan permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia dan alam semesta selalu dijadikan objek yang tidak terlepas dari kegiatan ini, sehingga tidaklah mengherankan bila manusia disebut sebagai homo sapiens.
Dengan berpikir inilah manusia berusaha menunjukkan eksistensi dirinya untuk selalu dinamis, bergerak, dan tidak pernah puas dengan apa yang telah dihasilkan oleh pikirannya. Proses berpikir ini lambat laun akan menghasilkan pengetahuan yang kelak sangat besar kontribusinya dalam menghasilkan pengetahuan yang lebih lanjut atau yang dinamakan dengan ilmu.
Berbeda halnya dengan Aristoteles yang mengawali metafisika dengan pernyataan ”setiap manusia dari kodratnya ingin tahu.” Ia begitu yakin mengenai hal itu sehingga dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tetapi benar-benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri (Hardono Hadi, 1994: 13).
Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut. (www.wikipedia.co.id).
Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional. Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia yang terjadi berulangkali. Misalnya, seseorang yang sering dipilih untuk memimpin organisasi dengan sendirinya akan mendapatkan pengetahuan tentang manajemen organisasi.
Selain pengetahuan empiris, ada pula pengetahuan yang didapatkan melalui akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat apriori; tidak menekankan pada pengalaman. Misalnya pengetahuan tentang matematika. Dalam matematika, hasil 1 + 1 = 2 bukan didapatkan melalui pengalaman atau pengamatan empiris, melainkan melalui sebuah pemikiran logis akal budi. Pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakit adalah pengalaman seseorang tentang keadaan sehat dan sakitnya seseorang yang menyebabkan seseorang tersebut bertindak untuk mengatasi masalah sakitnya dan bertindak untuk mempertahankan kesehatannya atau bahkan meningkatkan status kesehatannya. Rasa sakit akan menyebabkan seseorang bertindak pasif dan atau aktif dengan tahapan-tahapannya.
Hakikat Pengetahuan Inderawi dan Kebenaran
Kita telah terbiasa mendengar dan mengatakan bahwa manusia berbeda dari mahluk lain di dunia ini berkat kemampuannya untuk memiliki pengetahuan. Namun di dalam pergaulan harian kita jarang sekali membicarakan secara mendalam dan memberikan pertanggungjawaban yang memadai atas pengandaian tersebut. Pengandaian ini begitu saja diterima kebenarannya tanpa dijelaskan artinya, dasar-dasar yang mendukungnya, serta jangkauannya (Hardono Hadi, 2003: 131).
Pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh kebenaran. Pengetahuan dipandang dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Pengetahuan Biasa (ordinary knowlwdge/common sense knowledge). Pengetahuan seperti ini bersifat subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal.
2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan di anatara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, karena kandungan kebenaran jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan pendapatkan persetujuan oleh para ilmuwan sejenis
3. Pengetahuan Filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati. Sifat pengetahuan ini mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis dan spekulatif.
4. Pengetahuan Agama yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu didasarkan pada keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makana dari kandungan kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolute.
Menurut Soejono Soemargono pengetahuan dipandang atas dasar kriteria karakteristiknya dapat dibedakan sebagai berikut (Soejono Soemargono, 1987):
1. Pengetahuan Indrawi : yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas sense (indra) atau pengalaman manusia sehari-hari.
2. Pengetahuan akal budi : yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas kekuatan rasio.
3. Pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif: yaitu jenis pengetahuan yang dibangun atas dasar kredibilitas seorang tokoh atau sekelompok orang yang dianggap profesional dalam bidangnya.
Sedangkan menurut Hardono Hadi secara umum filsafat membedakan dua sumber pengetahuan, yaitu indera dan budi. Maka pengetahuan yang dimiliki manusia berdasar kedua sumber tersebut, yakni pengetahuan inderawi dan pengetahuan intelektif (Hardono Hadi: 2003: 132). Untuk Binatang persepsi inderawi merupakan puncak dari daya abstraksi yang dimilikinya. Kesan-kesan inderawi ditarik dari kegiatan badani di masa lampau dan diterapkan pada objek-objek yang dialaminya sekarang. Ada tiga hubungan kebenaran terkait dengan kategori ”benar” dan ”Salah” bila diterapkan dalam persepsi inderawi mennurut Hardono Hadi yakni, pertama perlu ditekankan bahwa kesan-kesan sebagai kualifikasi subjektif harus tidak dilupakan. Kesan-kesan itu diwarisi sebagai penangkapan tertentu oleh subjek melalui indera, dan kemudian diterapkan kepada objek sebagai kualifikasi objektif. Perlu diperhatikan bahwa penangkapan subjektif yang diterima sebagai kesan tersebut sudah mendapat pengolahannya dengan cara tertentu oleh si subjek di dalam menanggapi objeknya. Hal ini perlu ditekankan, karena subjek tidak pernah hanya bersifat pasif. Kalau memang terjadi kesesuaian antara pengalaman subjektif dengan keadaan objektif, maka terdapat suatu hubungan yang benar antara kenyataan dan penangkapan subjektif. Kedua, adalah hubungan-hubungan antara kesan dan kenyataan yang ditampilkan oleh hubungan antara persepsi inderawi dengan objeknya, sebagaimana pada umumnya binatang dari species tertentu akan bereaksi secara tertentu pula terhadap rangsangan tertentu dari luar (Hardono Hadi, 132-133). Ketiga, hubungan kebenaran ketiga adalah bersifat lebih kabur dan lebih tidak langsung dibanding dengan jenis kedua. Jenis ini disebut ”kebenaran simbolis.” Hubungan antara kesan dan kenyataan di dalam kebenaran simbolis ialah bahwa kesan yang diperoleh penerima tertentu dari suatu objek akan membawanya kepada penangkapan mengenai kenyataan lain, sehingga terdapat kesesuaian antara cara subjek menangkap dengan kenyataan yang dimaksudkan. Tetapi tidak ada hubungan kausal anatara kesan dan kenyataan, sehingga tidak bisa dikatakan secara tepat bahwa kesan merupakan sebab dari objeknya atau objek merupakan sebab dari kesannya (Hardono Hadi, 133).
Kebenaran Pengetahuan Inderawi
Yang kita inginkan adalaha kebenaran pada dirinya (an sich = in se = in itself), tanpa kualifikasi. Kita bermaksud mencari pembenaran utama yang dijamin oleh kenyataan, yang lain merupakan tambahan saja. Terlepas dari kebenaran yang tegas, kehidupan kita tenggelam di tengah-tengah kekaburan isyarat dan sugesti. Kebenaran yang kita cari terletak pada korespondensi atau kesesuaian dari kesan-kesan yang jelas dan lain dengan kenyataan. Di dalam pengalaman manusia, kesan yang jelas dan terpilah – clear and distinct – terutama adalah persepsi inderawi (Hardono Hadi, 134).
Pengetahuan Intelektif
Pengetahuan intelektif adalah pengetahuan yang dicapai oleh manusia dan tidak adapat dicapai oleh mahluk lain di dunia ini. Pengetahuan ini dicapai oleh rasio atau inteligen. Untuk dapat memahami pengetahuan, kita perlu merinci hal-hal apa yang terlibat di dalam kegaiatan intelek, yakni; pertama, sifat progressif pengetahuan, kedua, intelegensi manusia tidak pernah dalam keadaan kosong, pengetahuan tertentu mengandaikan dasar pengertian yang telah dimiliki lebih dahulu.. Misalnya, untuk belajar geometri harus tahu mengenai bilangan dan matematika. Maka dapat dikatakan ’pra-pengertian’ tertentu mendasari pengetahuan lebih lanjut. Juga pemahaman yang mendalam atau radikal atas sesuatu tidak dapat dicapai dengan seketika. Ketiga, budi tidak pernah terlepas dari dunia yang melingkupinya. Perkembangan budi seseorang juga tergantung dari perkembangan hasil budi orang lain. Dalam arti dimensi sosialitas manusia tidak pernah dapat diabaikan. Jadi dapat dikatakan bahwa pengetahuan bersifat progressif dalam interaksi dengan masyarakat sosialnya (Hardono Hadi, 134).
Bentuk-bentuk Kegiatan Intelektif
Bentuk-bentuk pengetahuan intelektif adalah sebagai berikut, pertama adalah persepsi merupakan tingkat kegiatan intelektif yang paling sederhana. Didalamnya kemampuan intelektif manusia digerakkan secara tidak sadar dan pra-reflektif. ”Pengetahuan” yang dihasilkan adalah pengetahuan yang bersifat spontan, pra-sadar, dan pra-pribadi. Kedua, jenis pengetahuan yang terjadi bila suatu gagasan muncul dengan tiba-tiba di dalam pikiran kita. Ketiga,pada tingkat yang lebih tinggi lagi terdapat yang disebut aprehensi di mana sudah terdapat kesadaran, meskipun pasif menerima apa yang terjadi pada dirinya. Peristiwa yang terjadi pada manusia lebih disadari sebagai sesuatu yang menimpanya daripada sebagai sesuatu yang ingin dipahaminya. Keempat, insight yang merupakan penangkapan intelektual secara mendadak mengenai objek. Dapat juga dikatakan bahwa insight itu merupakan ilham dalam suatu kondisi tertentu. Kelima, kegiatan bernalar budi yang bersifat diskursif. Kegiatan budi ini lebih mendalam daripada sekedar insight yang ditangkap secara intuitif. Terakhir, adalah taraf keputusan sebagai keyakinan akan kebenaran atau kesalahan dari hasil penyelidikan tertentu. Putusan ini lebih bersifat reflektif, sebab affirmasi yang diberikan sungguh-sungguh didasarkan pada landasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekaligus keputusan ini lebih bersifat objektif, sebab yang ditangkap adalah benar-benar inti dari objek yang dilandaskan pada nalar atau pikiran daripada sekedar pengetahuan intuitif. Putusan in juga lebih bersifat pasti, karena pelaku tahu bahwa ia tahu, bukan hanya kurang lebih (Hardono Hadi, 135-138).
Prinsip-prinsip Pertama
Di dalam kenyataan mengenai nilai yang tak tereduksikan dari pernyataan utama, yaitu bahwa ”sesuatu ada” terdapat kemajemukan prinsip. Kepastian tanpa syarat dari prinsip-prinsip ini didasarkan pada nilai tanpa syarat dari pernyataan utama sendiri. Prinsip-prisnip tersebut juga sering disebut sebagai prinsip tradisional yakni:
1. Prinsip Identitas atau prinsip kontradiksi: Apa yang ada, ada; apa yang tidak ada, tidak ada. Tidak ada sesuatu pun yang sekaligus berada dan tidak berada.
2. Prinsip alasan memadai: Apapun yang ada memiliki alasan yang memadai untuk adanya.
3. Prinsip kausalitas/penyebaban efisien: Apapun yang mulai ada, menuntut adanay suatu sebab efisien. Secara metafisis menurut Hardono Hadi prinsip kausalitas ini harus sampai kepada pengertian bahwa tata ’ke-menjadian’ dan keberadaan harus dapat dimengerti. Maka eksistensi kontingen selalu merupakan eksistensi relatif, artinya menunjuk kepada sesuatu yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, P. Hardono, Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Hadi, Hardono, 1994, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Santoso, Listiyono, et.al., 2003, Filsafat Ilmu Sosial: Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-ilmu Sosial. Yogyakarta: Gama Media.